Oleh: Hersubeno Arief
(Konsultan Media)
Teka-teki apakah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan mendeklarasikan diri sebagai capres mulai terjawab. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyatakan Prabowo masih pikir-pikir, jadi maju atau tidak. Prabowo masih mempertimbangkan banyak hal.
Pernyataan Muzani ini agak mengejutkan. Apalagi disampaikan pada sebuah forum resmi ulang tahun Gerindra ke-10 yang diselenggarakan oleh DPD Gerindra DKI Jakarta. Sepekan sebelumnya Muzani menyatakan bahwa akhir Maret ini Prabowo akan deklarasi pencapresan. Partner koalisi juga sudah siap.
Kendati tidak menyebut partai apa, namun hampir dapat dipastikan yang dimaksud Muzani adalah PKS. Wakil Ketua Umum Gerindra Fadlizon sudah pernah menyebut soal ini, sementara Presiden PKS Sohibul Iman juga sudah menyatakan kesiapannya untuk mendukung Prabowo.
Karena itu banyak yang menduga peringatan ulang tahun Gerindra yang digelar sejumlah DPD di seluruh daerah akan menjadi forum awal deklarasi. DPD Gerindra DKI juga sudah dengan tegas mendorong agar DPP mempercepat pencapresan Prabowo.
“Di tengah masalah Indonesia yang makin berat, beliau masih berpikir apakah nanti sanggup membangun Indonesia yang berjaya,” tutur Muzani. Satu hal yang pasti, tambah Muzani bangsa Indonesia membutuhkan kepala negara yang baru, karena kehidupan rakyat semakin berat.
Ada dua hal yang bisa kita simpulkan dari pernyataan Muzani. Pertama, Prabowo dan Gerindra sampai pada satu kesimpulan mereka tidak akan mendukung Jokowi, dan menyiapkan presiden pengganti. Kedua, siapa capres yang akan diusung Gerindra menjadi penantang Jokowi, belum diputuskan.
Posisi Prabowo dan Gerindra pada Pilpres 2019 dalam beberapa pekan belakangan ini memang banyak dipertanyakan. Apakah akan bergabung menjadi cawapres Jokowi, atau tetap menjadi penantang.
Sejumlah petinggi partai pendukung Jokowi secara terbuka sudah menyatakan keinginannya untuk menjodohkan Jokowi dengan Prabowo. Utusan Jokowi juga secara gencar melakukan lobi dan menjadi mak comblang, agar keduanya bisa berpasangan.
Namun bila perjodohan itu terjadi, dampaknya akan sangat buruk secara internal Gerindra, maupun dalam proses demokrasi di Indonesia.
Pertama, dari sisi internal. Berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa hampir semua pemilih Gerindra tidak akan memilih Jokowi. Survei Median mendapatkan temuan hanya 1.7% yang akan memilih Jokowi. Artinya bila Prabowo bergabung dengan Jokowi, Gerindra akan mengalami bencana elektabilitas. Soal ini pasti tidak diinginkan internal Gerindra, utamanya mereka yang menjadi calon anggota legislatif.
Hal itu menjelaskan mengapa muncul dorongan yang begitu kuat dari kalangan internal agar Prabowo segera mendeklarasikan diri. Dalam berbagai jajak pendapat, elektabilitas Gerindra terus menanjak, dan bersaing dengan PDIP. Posisi sebagai partai oposisi menjadi faktor utama naiknya elektabilitas Gerindra.
Kedua, dari sisi proses demokrasi. Bila Prabowo bersedia, maka pada Pilpres 2019 Jokowi kemungkinan akan melawan kotak kosong. Kalau toh tidak kotak kosong, Jokowi akan melawan capres boneka. Dua skenario tersebut, dua-duanya buruk bagi proses demokrasi di Indonesia.
Dengan presidential threshold 20% (112 kursi), perolehan kursi Gerindra sebanyak 73 menjadi sangat penting dan menentukan. Bersama PKS (40), mereka bisa mengajukan pasangan capres/cawapres. Namun bila Prabowo, memutuskan menjadi capres Jokowi, maka PKS akan kesulitan mengajukan calon. Kalau toh PKS bergabung bersama PAN (49), jumlah kursinya tidak akan cukup.
Di luar partai-partai yang sudah menyatakan akan mengusung Jokowi (Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PDIP), tinggal Demokrat (61), PKB (47), dan PAN yang belum menyatakan mendukung Jokowi.
Melihat posisi PKB yang saat ini berada dalam kubu pemerintah, kemungkinan besar akan mendukung Jokowi. Sementara Demokrat yang biasanya menjalankan politik “in between,” tidak ke kiri, tidak ke kanan, sudah menunjukkan gelagat dan tanda-tanda, juga akan mendukung Jokowi.
Dengan posisi semacam itu, Prabowo menjadi semacam pemain kunci, kartu Joker yang sangat menentukan. Kubu penentang, maupun pendukung Jokowi, sangat bergantung kepada Prabowo.
Siapa yang akan diusung Gerindra
Setelah Prabowo dan Gerindra memutuskan akan mencari presiden pengganti Jokowi, siapa kira-kira yang akan disiapkan.
Pilihan pertama yang paling logis tentu saja mencalonkan kembali Prabowo. Pemilih Gerindra mayoritas menghendaki Prabowo sebagai Presiden (69.5%). Yang jadi masalah ternyata elektabilitas Prabowo belum bisa menandingi Jokowi. Sejumlah survei menunjukkan Prabowo akan dengan mudah dikalahkan Jokowi, bila head to head.
Simulasi yang dilakukan oleh Poltracking, Jokowi akan menang telak 57.6%-33.7% bila melawan Prabowo. Survei yang dilakukan indikator juga menunjukkan hal yang sama. Jokowi 58.9%, Prabowo 31.3%. Dalam survei Alvara Jokowi 46.1%, Prabowo 26.5%.
Temuan berbagai survei jelas menunjukkan Jokowi akan merasa nyaman bila berhadapan Prabowo. Jadi bila terpaksa harus memilih lawan, maka Prabowo adalah pilihan terbaik.
Soal ini harus benar-benar di pertimbangkan oleh internal Gerindra. Apakah akan tetap ngotot mencalonkan Prabowo dengan pertimbangan soliditas internal, atau mulai berpikir untuk mempertimbangkan calon alternatif.
Sejumlah data survei juga menunjukkan, kendati memiliki elektabilitas teratas, dan diprediksi menang mudah bila melawan Prabowo, namun sesungguhnya posisi Jokowi masih belum aman. Dia berpeluang dikalahkan, bila muncul figur alternatif.
Dalam berbagai pernyataan terbuka, elektabilitas Jokowi berada di bawah angka 40% dengan trend menurun. Untuk seorang incumbent jelas elektabilitas seperti itu posisi Jokowi sudah lampu kuning. Sebagai pembanding, setahun menjelang Pilpres 2009, elektabilitas SBY di atas 60%. SBY kemudian terpilih untuk periode kedua.
Bila dibandingkan dengan SBY, posisi Jokowi kian tidak aman, karena pada saat itu SBY tidak menghadapi problem politik domestik yang berat seperti Jokowi. Hubungan SBY dengan umat Islam sangat harmonis. Partai-partai Islam seperti PPP, PKB, PAN, PBB, bahkan PKS berada di kubu SBY.
Siapa calon alternatif yang patut dipertimbangkan? Ada dua nama yang digadang-gadang oleh koalisi keumatan, dan setidaknya bisa diterima oleh internal Gerindra. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Gubernur DKI Anies Baswedan. Dalam survei Median, Gatot didukung oleh 5.5% pemilih Gerindra, dan Anies 4.5%. Diperkirakan bila Prabowo memutuskan tidak maju, maka suara pemilih Gerindra akan beralih kepada keduanya.
Di luar itu Prabowo bisa memilih beberapa nama yang disodorkan calon mitra koalisi PKS, dan PAN. PKS sudah menyiapkan sembilan (9) nama, dua diantaranya yang paling potensial mantan Presiden PKS Anis Matta, dan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. PAN mengusung Ketua Umum Zulkifli Hasan. Mereka bisa dipertimbangkan sebagai capres, ataupun cawapres.
Tentu Prabowo akan mempertimbangkan dengan cermat keputusannya agar bisa mengamankan perolehan suara Gerindra, sekaligus memenuhi harapan para pemilihnya akan hadirnya presiden baru. Dalam politik kalkulasinya harus benar-benar rasional, tidak bisa hanya pertimbangan emosional.
12/3/2018
Sumber: hersubenoarief.com