[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak benar-benar serius menolak Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) hasil revisi oleh DPR. UU hasil revisi ini menuai kontroversi, berpotensi merugikan masyarakat dan membuat DPR jadi lembaga super body.
Di antara poin kontroversial yang dimaksud adalah Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 huruf (k) tentang contempt of parliament dan Pasal 245 ayat 1 tentang imunitas DPR.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan indikasi Jokowi tak serius adalah ia tidak mengambil langkah apa pun pasca menyatakan ketidaksetujuan pada UU MD3. Pada 21 Februari lalu, Jokowi bilang kalau ia "memahami keresahan-keresahan yang ada di masyarakat", dan memutuskan untuk tidak menandatangani peraturan ini meski drafnya sudah "ada di mejanya".
Namun selebihnya adalah pasif, hingga pada akhirnya draf aturan ini naik status sesuai Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 yang mengatakan bahwa Undang-undang yang belum ditandatangani presiden akan tetap berlaku sejak 30 hari disahkan DPR, Rabu, 14 Maret 2018 kemarin.
"Tidak bisa tanggung begitu saja [hanya mengatakan tidak akan menandatangani aturan] karena orang bisa menilai [sikap tersebut] hanya pencitraan," kata Lucius, Rabu 14 Maret 2018.
Seharusnya Jokowi mampu mengambil sikap yang lebih tegas bila memang benar-benar menolak UU MD3. Hal itu memungkinkan dalam sistem hukum Indonesia, tepatnya berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, bahwa presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."
"Tapi kan nyatanya sampai saat ini belum ada sikap tegas yang bisa kita saksikan dari Jokowi," kata Lucius.
Senada dengan Lucius, PPP dan Nasdem, sebagai dua fraksi di DPR yang menolak UU MD3, juga mendesak Jokowi segera mengeluarkan Perppu sebagai bentuk keseriusan menolak UU MD3. Memang, tidak ada batasan waktu untuk mengajukan Perppu.
Perppu bisa diusulkan bahkan bertahun-tahun setelah sebuah UU berlaku, misalnya dalam kasus UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang kemudian diganti dengan Perppu 2/2017. Namun alangkah lebih baik jika dikeluarkan lebih cepat.
"Kalau presiden mau mendengarkan respons dari masyarakat dia harus mengeluarkan Perppu," kata Ketua Fraksi PPP, Reni Marlinawati.
Fraksi PPP, siap mendukung Perppu yang dikeluarkan Jokowi. Menurutnya itu sudah menjadi sikap dan komitmen partainya. Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam masa sidang pertama setelah Perppu ditetapkan. Jika Perppu disetujui, maka akan dijadikan UU.
Sementara itu, Ketua DPP Nasdem, Irma Suryani Chaniago, menyatakan "sampai hari ini kami tetap mendorong presiden mengambil sikap tegas."
Sembari menunggu sikap Jokowi, partainya juga akan mendorong uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK) bersama masyarakat sipil.
"Karena uji materi yang paling mungkin kami lakukan," kata Irma.
Direktur Populi Centre, Usep S Ahyar, menilai sikap Jokowi yang tampak tidak serius menolak UU MD3 adalah karena ia terjebak kepentingan partai politik pendukungnya di Pilpres 2019.
"Bagaimana pun dukungan partai politik paling penting untuk maju di Pilpres. Karena tidak bisa jadi capres independen," kata Usep.
Dari lima partai pendukung Jokowi saat ini, hanya PPP dan Nasdem yang menolak UU MD3, sedangkan PDIP, Golkar dan Hanura menerima dengan suara bulat. Jokowi tidak mungkin maju hanya dengan dukungan dua partai kelas menengah tersebut.
"Mungkin Jokowi tidak ingin ada kegaduhan sampai pendaftaran presiden Agustus nanti," kata Usep.
Sejak pernyataan Jokowi pada 21 Februari 2018 lalu, belum ada pernyataan apa-apa lagi dari Jokowi soal UU MD3. Namun menurut juru bicara presiden, Johan Budi, mantan Wali Kota Solo tersebut akan segera menyampaikan alasannya mengapa sampai saat ini ia diam.
"Nanti presiden akan memberikan penjelasan," kata Johan.
Johan tidak menjelaskan garis besar penjelasan yang tengah dipersiapkan Jokowi.
UU MD3 revisi disahkan DPR setelah melalui persetujuan pemerintah dan delapan fraksi, yakni PDIP, PKB, Hanura, Gerindra, Demokrat, PKS, Golkar, dan PAN. Terdapat 15 poin perubahan UU MD3, termasuk pasal 73, 122 huruf K dan 245 ayat 1 yang dianggap kontroversial oleh publik.
Sumber: TirtoID