[PORTAL-ISLAM.ID] Dogma bahwa utang dalam kondisi aman karena masih dibawah 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai digugat. Pemerintah berulang kali menjelaskan ke publik bahwa tak ada salahnya untuk menambah utang. Tentu hal itu disertai gambaran akan jalan tol, jembatan dan bendungan yang sedang dibangun lewat utang.
Mantra ajaib bak kaset tua selalu diputar-putar, “Jika berutang untuk pembangunan infrastruktur maka utang tersebut sesungguhnya utang produktif”.
Sedangkan bagi pihak yang meragukan efektivitas utang pemerintah akan dianggap sebagai penghasut yang berbahaya bagi stabilitas perekonomian nasional. Cap menakutkan tersebut dengan nada emosional terlontar dari pimpinan di Lapangan Banteng. Justru hal ini jadi aneh, kenapa pemerintah takut sekali jika utang dibilang memburuk, tidak efektif dan kurang produktif? Seharusnya kritik ditanggapi dengan kepala dingin bukan tudingan tukang hasut.
Lalu bagaimana seharusnya mengukur risiko dan produktivitas utang? Hal yang paling sederhana adalah mengukur utang terhadap PDB. Didalam UU Keuangan Negara No.13 Tahun 2003 disebutkan bahwa batasan maksimal utang adalah 60 persen terhadap PDB. Tanpa tafsiran yang macam-macam, kesimpulannya kalau utang Pemerintah per Februari 2018 masih Rp4.034 triliun maka sama dengan 29,2 persen dari PDB alias jauh di bawah ambang batas 60 persen.
Tapi perkembangan utang nampaknya harus di-update kembali, batasan utang terhadap PDB menjadi terlalu sederhana. Fakta di Eropa ketika krisis utang tahun 2013-2015 menjadi titik balik keraguan antara batas utang terhadap PDB. Beberapa negara di Eropa yang memiliki rasio utang diatas 100 persen seperti Italia dan Belgia tidak masuk dalam program bailout troika Dana Moneter Internasional (IMF). Sementara negara seperti Irlandia dan Spanyol tahun 2008 memiliki rasio utang 43 persen dan 39 persen masuk menjadi daftar pasien IMF yang harus ditolong. Bukan berarti rasio utang irelevan, namun harus dilengkapi dengan indikator lain agar membaca utang tidak oversimplified (terlalu menyederhanakan).
Indonesia juga sering dibanding-bandingkan dengan Jepang. Betul memang Jepang punya rasio utang di atas 200 persen. Tapi lebih dari 50 persen utang Jepang dipegang oleh bank Sentral Jepang. Sementara sisanya di kisaran 30 persen dipegang oleh residen atau penduduk Jepang. Artinya penduduk Jepang dan Bank Sentral Jepang yang memberi pinjaman ke Pemerintahnya. Apa manfaatnya? Ketika ekonomi global memburuk dan mengakibatkan panic sellout di pasar surat utang, Pemerintah Jepang tak terlalu khawatir. Ibu-ibu rumah tangga dan karyawan yang membeli surat utang tinggal mencairkan surat utang tapi uangnya tidak lari ke luar negeri, melainkan berputar-putar di dalam ekonomi Jepang.
Kondisi di Indonesia cukup berbeda. Sebesar 38,7 persen surat utang Pemerintah dipegang oleh investor asing. Artinya, kondisi global seperti tren kenaikan bunga acuan Fed rate, instabilitas geopolitik, dan gelombang proteksionisme negara-negara maju sangat sensitif terhadap pasar surat utang di Indonesia. Karena pasar keuangan sangat dangkal, sekali goncangan eksternal terjadi kaburlah dana-dana asing di surat utang. Jadi tidak perlu heran kok rupiah bisa anjlok hingga 13.700-13.800 bulan Maret ini.
Indikator lain yang harusnya dibandingkan adalah rasio pajak tiap negara berbeda. Perlu dicatat dan dipahami bahwa utang bukan dibayar menggunakan PDB. Jadi rasio utang terhadap PDB sebenarnya hanya gambaran umum. Faktanya utang dibayar dengan penerimaan pajak. Sementara rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di Indonesia hanya 11 persen. Jangan jauh-jauh membandingkan dengan negara maju. Dengan negara di ASEAN saja rasio pajak kita salah satu yang terendah, Malaysia sudah 14,2 persen dan Thailand 15,7 persen.
Kalau penerimaan pajak kita masih loyo karena rata-rata realisasinya hanya tumbuh 4 persenn dalam 2 tahun terakhir, bagaimana membayar utang plus bunganya? Munculah apa yang disebut sebagai defisit keseimbangan primer, total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang.
Artinya kalau terjadi defisit maka utang dicicil melalui penerbitan utang baru. Sejak 2012 tercatat defisit keseimbangan primer sebesar Rp52,7 triliun. Angkanya tahun 2017 menjadi Rp178 triliun. Gali lubang tutup lubang, tapi lubangnya saat ini makin dalam.
Yang jelas Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff, dua profesor Harvard University ini juga pernah dirisak (dibully, red) karena berani memaparkan soal debt overhang (bergantung utang). Bahwa utang yang terus meningkat berpotensi menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Kasus di negara-negara maju yang diteliti Reinhart dan Rogoff mungkin masih jauh dari Indonesia.
Tapi setidaknya kita bisa banyak belajar, bahwa secara teori utang yang awalnya berbentuk leverage (mengungkit modal) bisa berubah menjadi risiko yang membahayakan ekonomi. Karena saat Pemerintah tahun 2017 lalu menambah 14 persen utang luar negeri, faktanya tidak bisa dipungkiri ekonomi kita hanya tumbuh 5 persen. Kisah ini menyisakan kekonyolan soal ambruknya beberapa toko ritel modern dan indikator lemahnya daya beli masyarakat yang diprediksi masih terjadi hingga 2018 ini.
Penulis: Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef)