[PORTAL-ISLAM.ID] Sekarang ini, para pengkritik penguasa mulai takut menyebut atau menuliskan nama Presiden. Mereka takut ditangkap polisi.
Para pengkritik itu —baik wartawan, penulis medsos, aktivis sosial-politik, dlsb— tidak menyembunyikan perasaan mereka dalam menghadapi “crack down” alias penggerebekan yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Mereka takut. Takut masuk sel penjara. Bagi yang berumah tangga, mereka khawatir situasi yang bakal dialami anggota keluarga jika mereka ditangkap polisi.
Kalaulah ini tujuan penguasa melakukan penggerebekan terhadap pengkritik sekarang ini, maka keinginan itu sudah tercapai. Saya juga takut, seperti mereka. Hanya saja, alhamdulillah, saya dan mereka tidak ketakutan. Tentu ada perbedaan makna “takut” dan “ketakutan”.
Para pengkritik takut karena proses hukum yang dijalankan bisa menguras tenaga dan dana. Apalagi saya, khususnya, bukanlah orang yang memiliki sumberdaya finansial yang melimpahruah untuk melayani kemungkinan proses hukum yang panjang atau yang dipanjang-panjangkan.
Saya yakin, semua penulis yang kritis terhadap pemegang kekuasaan, sekarang menjadi ragu-ragu terhadap tulisan mereka. Bahkan tulisan yang mereka sadari betul tidak mengandung unsur pidana. Terus terang, sekarang ini para penulis sudah mulai tidak berani lagi mencantumkan nama Joko Widodo atau Jokowi di dalam tulisan mereka. Padahal, nama Presiden yang mulia ini dicantumkan di dalam kalimat-kalimat yang sama sekali tidak mengandung penghinaan, penistaan, apalagi pencemaran nama baik. Namun, mereka tetap takut.
Sungguh sangat memprihatinkan! Sungguh manjur strategi penguasa, sampai-sampai banyak penulis tak berani lagi menyebut nama Jokowi. Takut ditangkap polisi.
Bagi saya, suasana yang diciptakan melalui kebijakan tangkap, tangkap, tangkap, dengan menggunakan pasal-pasal ITE sekarang ini sama seperti atmosfir ketika, dulu, penguasa memberlakukan UU Antisubversi (Penpres 11/1963). Tidak ada yang berani mengkritik secara terbuka, waktu itu. Karena, siapa saja dapat ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan melakukan tindakan subversif. UU Antisubversi itu sangat kuat dalam menanamkan rasa takut.
Entah kenapa, UU ITE sekarang ini bagaikan bermutasi menjadi UU Subversi. Begitu disebut pasal ITE, langsung saja terasa sesuatu yang mengerikan. Ada perasaan bahwa yang dikenai UU ITE pasti akan masuk penjara. Ada perasaan bahwa seseorang yang dikenai pasal-pasal ITE, akan menghadapi proses hukum yang menakutkan. Seolah-olah orang itu telah melakukan perbuatan untuk menggulingkan pemerintah. Melakukan makar, bahkan serasa melakukan aksi terorisme. Intinya, UU ini cukup ampuh menebarkan rasa takut dan ketakutan.
Lantas, apakah suasana seperti ini yang diinginkan penguasa? Rasanya tak mungkin. Tatapi, kalau disebut tak mungkin, belum tentu tak mungkin. Bisa jadi mungkin. Bagi saya, kemungkinan mungkin itu sangat besar kemungkinannya.
Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah di dalam sistem demokrasi penuh seperti di Indonesia saat ini bisa diciptakan suasana takut?
Bisa atau tidak bisa, itulah fakta yang terjadi. Demokrasi ala Indonesia memang unik. Di sini, pemilik modal dan bisnis besar bisa ikut mengendalikan jalannya kekuasaan sampai ke hal-hal yang detail. Kebetulan, sebagian pemilik modal adalah pemilik media besar juga. Nah, di sinilah persoalannya. Suasana takut yang diciptakan oleh penguasa malahan didukung oleh media besar. Mereka mendiamkan langkah-langkah penguasa yang menciptakan rasa takut itu. Bahkan, mereka mendukung penangkapan terhadap para pengkritik.
Sekarang ini, apa saja yang dilakukan oleh penguasa terhadap pengkritik hampir tidak ada media besar mempersoalkannya. Media besar berada di belakang penguasa. Mereka secara berama-sama membentuk opini yang menyudutkan kalangan pengkritik yang jumlahnya kecil. Dan ini semua berlangsung di dalam bingkai demokrasi. Sangat luar biasa!
Totally, unbelievable!
Suka atau tak suka, beginilah praktik demokrasi di negeri kita ini. Para penguasa yang dipilih lewat mekanisme demokratis, bisa berubah menjadi sewenang-wenang yang kemudian disusul oleh munculnya rasa takut di kalangan rakyat khsusnya di kalangan pengkritik. Meskipun kesewenangan itu akan terbatas dalam rentang waktu lima tahun atau paling lama 10 tahun.
Di belahan dunia lainnya, proses demokrasi juga dapat dipengaruhi secara tak langsung oleh pemilik uang dan bisnis. Tetapi, peranan mereka di sana tidaklah sampai ke hal-hal mikro. Mereka paling-paling akan mempengaruhi kebijakan makro suatu pemerintahan. Misalnya, langkah-langkah pemerintah seringkali memihak pemilik duit dan bisnis. Seringkali memihak sponsor.
Penulis: Asyari Usman