Oleh: Hersubeno Arief
(Wartawan senior, Konsultan media)
Pencapresan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto kian serius. Gerindra bahkan sudah mulai menggodok siapa yang akan dipasang menjadi cawapresnya. Dari perkembangan terakhir, tampaknya yang sedang serius dipersiapkan menjadi mempelai Prabowo adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Gubernur yang diusung oleh Gerindra, PKS, dan PAN itu juga sudah hadir dalam pertemuan internal Gerindra yang berlangsung di rumah Prabowo Jalan Kertanegara, Jakarta pekan lalu. Namun kepada media Anies menyatakan pertemuan tersebut tidak membahas soal pencapresan. Hanya syukuran atas pengangkatan Sekjen Gerindra Ahmad Muzani sebagai Wakil Ketua MPR.
Pilihan Anies sebagai cawapres Prabowo memang paling masuk akal bagi Prabowo. Anies merupakan salah satu kandidat yang tengah moncer. Dalam beberapa survei bersama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Anies bahkan dinilai berpeluang sebagai capres alternatif yang bisa mengalahkan Jokowi.
Anies paling potensial untuk dikapitalisasi. Sebagai Gubernur DKI kemunculan di media (media appearance) paling tinggi diantara para calon penantang Jokowi. Modal ini sangat penting untuk terus mendongkrak popularitasnya.
Dilihat dari monitoring di media dan percakapan di medsos, nama Anies paling banyak dibicarakan. Frekuensinya hanya sedikit di bawah Jokowi. Tak salah bila Rocky Gerung menyebutnya sebagai matahari baru dari Jalan Merdeka Selatan (Gedung Balaikota DKI) yang sinarnya mulai mengalahkan matahari dari Jalan Merdeka Utara (Istana negara).
Modal semacam itu sangat dibutuhkan Prabowo yang dalam berbagai survei, elektabilitasnya tidak pernah bisa bersaing dengan Jokowi. Dia perlu semacam booster yang bisa mendongkrak elektabilitasnya, bila benar-benar serius mau mengalahkan Jokowi. Namun bila kemudian dipasangkan sebagai cawapres Prabowo apakah trend elektabilitas Anies linier, atau malah sebaliknya? Ini yang masih jadi pertanyaan.
Sebelum nama Anies muncul, yang diincar Gerindra adalah Gatot Nurmantyo. Seperti diakui sejumlah fungsionaris Gerindra, Gatot telah bertemu dengan Prabowo dan ditawari menjadi cawapres. Namun yang bersangkutan menolak, dan hanya mau bila menjadi capres. Padahal sebelumnya Gatot sudah mengambil ancang-ancang untuk bergabung menjadi kader Gerindra begitu resmi pensiun 31 Maret 2018.
Faktor PKS
Siapa yang akan digandeng Prabowo, dan apakah dia akhirnya benar-benar maju menjadi capres? Di luar poros Jokowi, di atas kertas poros Prabowo/Gerindra paling berpeluang mengusung kandidat. Prabowo telah bertemu dan membangun kesepakatan dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufrie. Gabungan kursi keduanya sebanyak 113 sudah mencukupi syarat presidential threshold 20% kursi di DPR (112).
Keduanya juga sudah menandatangani kontrak untuk berkoalisi, namun siapa yang akan diusung, belum ada kesepakatan. Ketika bertemu Salim, Prabowo menyatakan sudah mempunyai cawapres. Prabowo tidak menyebut siapa cawapres tersebut. Diduga nama yang dipersiapkan adalah Gatot.
Tawaran ini tidak disepakati PKS. Sebab bagaimanapun PKS sudah mempunyai calon sendiri. Mereka telah menyiapkan sembilan nama sebagai capres. Secara kalkulasi masuk akal bila salah satunya dilamar sebagai cawapres.
Sebagai sekutu, PKS sudah bersama Gerindra sejak Pilpres 2014. Saat itu PKS yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi tulang punggung (back bone) pasangan Prabowo-Hatta (Gerindra-PAN). Dalam Pilkada DKI 2017 PKS juga bersedia menarik kadernya Mardani Ali Sera yang sebelumnya dipasang sebagai cawagub Sandiaga Uno demi memberi jalan masuknya Anies Baswedan. Di Jawa Barat PKS sampai harus rela menceraikan Deddy Mizwar demi tétap bersekutu dengan Gerindra.
Rasanya agak sulit membayangkan PKS bersedia kembali mengalah, dan menyerahkan tiketnya secara cuma-cuma kepada figur di luar kader. Di internal PKS saat ini berkembang keyakinan sangat kuat bahwa Jokowi bisa dikalahkan, dan inilah saat yang paling tepat bagi kader PKS untuk tampil. Mosok PKS terus mengalah untuk Prabowo.
Keyakinan itu setidaknya terlihat dari kampanye yang digalang oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera #JokowiBisaDikalahkan, dan sekarang bahkan lebih fokus dan massif dengan jargon #GantiPresiden2019.
Keyakinan Mardani bukan slogan kosong. Semua lembaga survei menunjukkan elektabilitas Jokowi sudah lampu kuning. Rata-rata hanya di bawah 40%. Jadi Mardani benar Jokowi bisa dikalahkan dengan syarat lawannya adalah figur alternatif, bukan Prabowo.
Siapa calon PKS yang paling kuat? Mardani menyebut tiga nama, yakni Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher), Presiden PKS Sohibul Iman, dan mantan Presiden PKS Anies Matta. Namun bila dilihat realitas politik dan kekuatan di lapangan, nama yang paling kuat adalah Anis Matta, dan Aher. Penyebutan Sohibul oleh Mardani tampaknya hanya semacam fatsoen politik karena secara resmi bagaimanapun dia adalah pimpinan PKS.
Anis Matta kualitas kepemimpinan, dan jaringan politiknya tidak perlu diragukan. Dia juga didukung oleh kader dan relawan yang sangat militan di dalam dan luar negeri. Dari sembilan capres PKS Anis Matta dan para pendukungnya menunjukkan bahwa mereka yang paling siap tempur menghadapi kompetisi sekelas pilpres. Tidak Hanya butuh sekedar nyali, tapi juga amunisi dan pasukan yang solid dan tangguh.
Relawan Anis Matta tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sampai diluar negeri. Di beberapa daerah bahkan sudah terbentuk relawan sampai level dusun. Baliho dan berbagai alat peraganya sangat massif di seluruh Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir viral di medsos relawan Anis Matta tampak berfoto di sejumlah kota di Eropa seperti di Berlin, Praha, Paris, sampai Madrid.
Aher juga tak perlu diragukan. Gubernur Jabar dua periode yang sangat sukses, dan dinobatkan sebagai salah satu gubernur terbaik oleh Kemendagri. Mendagri Tjahjo Kumolo menyebutnya sebagai gubernur yang memenuhi 90% janjinya. Nyaris sempurna.
Jabar memiliki kantong pemilih terbesar. Pada pilkada serentak ini jumlah pemilihnya sebanyak 32.8 juta, atau sekitar 20.5% dari total pemilih seluruh Indonesia sebanyak 160 jt. Etnis Sunda (15%) merupakan etnis terbesar kedua, setelah Jawa. Sayangnya sejauh ini Aher belum menunjukkan gerakan yang berarti. Dia belum menunjukkan tajinya.
Gabungan antara kepemilikan hampir separuh tiket dan ketokohan kader yang cukup kuat, nampaknya tidak akan membuat PKS begitu saja menyerah dan tunduk kepada kemauan Prabowo. Pimpinan PKS pasti tidak ingin disalahkan, bahkan dihujat oleh kader PKS karena kembali menunjukkan kelemahan dalam bernegosiasi. Belum lagi realitas kedekatan dengan umat yang tentu saja lebih dimiliki oleh PKS ketimbang Gerindra. Bagi kebanyakan kader PKS, inilah waktunya. Now or never.
Dalam konteks inilah mengapa kemudian Prabowo tidak serta merta menerima desakan kader Gerindra untuk segera mendeklarasikan diri sebagai capres. Seperti kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Prabowo masih harus mendengar dan menimbang pendapat dari partner koalisi, dalam hal ini PKS.
Bagaimanapun PKS menjadi faktor yang sangat menentukan, apakah Prabowo bisa maju atau tidak. Dia tidak bisa mengabaikan begitu saja aspirasi kader dan pengurus PKS yang menginginkan faktor keterwakilan kadernya. PKS selama ini selalu taken for granted, pasrah bongkokan terhadap Prabowo.
Bila Prabowo bersikeras, bahkan sampai harus berpisah jalan dengan PKS, belum tentu dia bisa mudah mendapatkan partner koalisi lain. Elektabilitas Prabowo yang selalu kalah jauh dari Jokowi, membuat posisi tawarnya rendah dan tidak menarik bagi partai lainnya.
Persoalan lain yang tak kalah seriusnya bila elektabilitas terus stagnan, maka para penyandang dana juga tidak akan bersedia mendukung Prabowo. Money always follow the prospect.
Pilihan-pilihan itu sungguh tak mudah bagi Prabowo. Dia tidak boleh kembali salah dalam mengambil keputusan. Dua kali kekalahan dalam pilpres sebelumnya harusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bahwa dia pernah gagal dalam tugas memenangkan sebuah pertempuran.
Bagi prajurit komando seperti Prabowo ada sebuah prinsip yang dijunjung sangat tinggi "Lebih baik pulang nama, daripada gagal dalam menjalankan tugas".
28/3/18
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/galaunya-prabowo-dan-dilema-pks/