[PORTAL-ISLAM.ID] Kita kerap mendengar bagaimana para pemimpin kita menyatakan agar memisahkan agama dan politik ketika mereka terpojok dipertanyakan nilai-nilai moral yang mereka anut dalam menjalankan kepemimpinan. Tentu saja patut disayangkan respon seperti ini. Seolah agama dalam kehidupan sebagai sesuatu yang salah jika dijadikan landasan dalam hidup berdemokrasi dan berpolitik.
Kepemimpinan itu, sangat indah kalau dianalogikan seperti teh manis hangat di pagi hari. Kita tentu tak ingin dan tak bisa, hanya mencicipi hangatnya saja, atau rasa tehnya saja atau manisnya saja. Cita rasanya juga menjadi percuma ketika dicicipi di panas yang sangat terik. Teh manis hangat di pagi hari menjadi nikmat luar biasa dan rasanya menjadi paripurna ketika semua unsurnya hadir dan saling melengkapi.
Demikian pula kepemimpinan, kita tentu tak berharap sang pemimpin cuma punya cukup ilmu untuk memahami persoalan rakyat, tapi kita juga ingin dia memiliki keterampilan manajemen dan memimpin yang cukup, serta dibekali moral iman yang memadai. Sehingga kepemimpinannya hadir membawa solusi dengan cara yang terencana dan tidak melanggar tuntunan moral beragama. Artinya demokrasi pancasila akan menjadi penuh kenikmatan nyata jika dipimpin oleh pemimpin yang berilmu, bermoral, memimpin dengan benar dan penuh kesungguhan demi kejayaan Indonesia. Itulah demokrasi pancasila yang paripurna.
Karenanya, kita jangan terlena ketika melihat calon pemimpin berkampanye berkunjung ke masjid, pesantren dan perayaan agama, lalu menasehati agar umat memilihnya tapi sambil dia atau mereka menuduh-nuduh pihak-pihak yang berbicara amar ma'ruf nahi munkar sebagai penjual ayat dan pemecah belah umat. Padahal faktanya merekalah yang sedang mengelabui umat agar memilihnya dengan menciptakan kesan seolah dia atau merekalah yang perduli umat atau rakyat kecil.
Merekalah sebenarnya sedang memfitnah para ulama dan ustadz sebagai pihak yang merusak umat. Tentu saja bukan artinya tak ada orang yang dikesankan sebagai ustadz/ulama yang tidak berlaku jahat dan menipu. Tapi adalah salah jika menggeneralisir para ustadz/ulama sebagai perusak umat karena adanya satu dua badut. Misalnya kita tahu ada badut-badut yang akhirnya terbongkar kedoknya pada talkshow sebuah televisi. Ternyata mereka hanyalah mengaku-aku ustadz, mengaku pembela Islam dan mengaku pemikir Islam, padahal tak lebih dari penipu umat, tokoh liberal, pembela lgbt dan sebagainya.
Umat harus belajar mencerdaskan diri untuk bisa mengamati, siapa-siapa tokoh publik yang kerap seolah-olah berbicara atas nama kemanusiaan, persatuan, persamaan hak dan sebagainya, yang padahal tak lebih dari urusan membela kelompoknya. Mereka minoritas yang menuduh mayoritas menindas, padahal faktanya dengan memaksakan pendapat mereka sebagai kelompok minoritas, terang benderang mereka anti demokrasi. Bukankah demokrasi artinya suara terbanyak? Bukankah artinya mereka suara kelompok kecil yang angkuh yang mau menang sendiri dan betul sendiri? Mereka memaksakan pikiran dan kehendaknya kepada kaum mayoritas. Ini jelas bukan demokrasi pancasila, ini demokrasi palsu.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berlandaskan ketuhanan. Pancasila menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pondasi awal dari nilai-nilai pancasila. Pancasila butuh jiwa moral, lebih khusus dan utama hal itulah yang perlu ada pada jiwa para pemimpin negara dan bangsa Indonesia. Hanya pemimpin yang bergerak berdasarkan moral yang bisa membuat moral positif bagi bangsa dan negara. Bukan pemimpin yang siang malam berpikir bagaimana cara terbaik mengelabui rakyatnya.
Negara dan bangsa ini harus dikawal dengan nilai-nilai moral dalam perjalanan demokrasinya. Bukan malah dianjurkan untuk memisahkan agama dan politik. Hanya penipu demokrasi pancasila atau tokoh demokrasi palsu yang keberatan dengan hadirnya nilai-nilai agama. Itulah yang perlu disadari oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa demokrasi pancasila memiliki pesan yang sangat kuat bahwa yang pantas, wajib dan diperlukan di Indonesia adalah para pemimpin yang bertakwa, bukan yang pura-pura bertakwa. Demokrasi Pancasila butuh pemimpin yang religius, yakni pemimpin yang penuh ketakwaaan.
Penulis: Teuku Gandawan