[PORTAL-ISLAM.ID] Ketika sedang sangat populer, pasangan Jokowi-Basuki pada Pilkada Jakarta 2012, hanya mampu menang dengan persentase suara 53,82% (2.472.130 pemilih). Jika dibandingkan dengan hasil Pilkada Jakarta 2017, dimana Anies-Sandiaga menang 57,96% (3.240.987 pemilih) dapat disimpulkan bahwa pada saat populer pun Jokowi tidak tinggi-tinggi amat elektabilitasnya.
Sedangkan pada Pemilu Presiden 2014, pasangan Jokowi-JK meraih suara sebanyak 53,15%. Kembali terlihat bahwa ketika dahulu dipandang penuh harapan dan angan-angan, Jokowi itu elektabilitasnya tak pernah melewati angka 54%. Maka berbagai survei dan opini yang kini masih ngotot menonjolkan Jokowi bakal menang mudah pada Pemilu Presiden 2019, patut diduga tak lebih dari upaya internal semata. Kalaupun ada pihak eksternal yang melakukannya, tak lebih dari upaya mencari peluang mendulang uang dalam ‘bisnis politik’.
Rakyat tentu sudah sangat melek dalam hal ini. Sejak kekalahan Ahok di pilkada Jakarta, pelan tapi pasti, massa pendukungnya yang beririsan sangat besar dengan massa pendukung Jokowi mulai hilang. Berbagai aksi yang coba dibiayai untuk memunculkan bahwa mereka masih ada, tak lagi terbukti. Cuma ada puluhan hingga ratusan orang yang hadir. Jika dibandingkan dengan massa reuni 212, tentu saja tak mungkin tertandingi.
Kalau mau dilihat dinamikanya di sosial media, sama saja. Muslim Cyber Army dan orang-orang cerdas jernih, kini mendominasi opini. Akun-akun yang dulu begitu mendominasi sosmed dengan puja-puji atas Jokowi perlahan tapi pasti menghilang. Tinggal grup-grup kecil pendukung yang pengisi postingnya loe lagi loe lagi. Artinya semua telah sadar, bahwa Jokowi bukanlah New Hope. Kini Jokowi malah menimbulkan situasi Hopeless. Segala sesuatu menjadi carut
Pilkada Jakarta 2017 sudah menunjukkan bahwa uang bukan lagi segala-segalanya. Rakyat tidak lagi gampang dibujuk dengan rayuan-rayuan sesaat. Apalagi sebagai petahana, tentu Jokowi tak bisa berjanji lagi. Sebelum berjanji baru, dia harus bercerita terlebih dahulu, apa hebatnya dia sepanjang 2014 hingga 2018. Sayangnya, terlalu minim prestasinya. Artinya apa? Jokowi akan kalah telak!
Sudah waktunya semua partai, bahkan PDIP sekalipun, untuk mengkaji ulang dukungannya kepada Jokowi. Untuk apa mendukung sesuatu yang berdasarkan data akan cenderung kalah? Tentunya silahkan saja partai manapun untuk mendukung Jokowi jika mereka memang berniat menjadi partai gurem pada Pemilu 2019.
Pencoblosan Pilkada Serentak 2018 pada 27 Juni 2018 memang masih menyediakan waktu bagi para partai untuk beralih dukungan jika hasil defenitif pada bulan Juli 2018 menunjukkan kekalahan pada partai-partai yang berkuasa. Tapi waktu sebulan sebelum penetapan dukungan paslon capres-cawapres pada Agustus 2018 tentu akan membuat publik semakin jeli melihat, partai-partai mana saja yang cuma jadi oportunis dan layak semakin ‘dihukum’ dengan tegas pada 2019.
Tak ada pilihan lain, sekaranglah justru waktu yang tepat untuk merebut hati para pemilih. Lebih baik saat ini menguji kekuatan dengan berpihak kepada rakyat dan melihat hasilnya, daripada sekarang menolak opini publik lalu terjungkal habis pada Pilkada Serentak 2018, Pemilu Legislatif 2019 dan Pemilu Presiden 2019. Sekaranglah saat yang tepat bagi semua partai untuk meninggalkan Jokowi. Joko Widodo sudah menjadi bagian dari sejarah, dia tak lagi menjadi bagian masa depan Indonesia.
Sudah waktunya para partai fokus kepada membesarkan diri masing-masing. Jaman now adalah jaman informasi yang tidak bisa lagi disumbat atau dikelabui. Ada peluang suara rakyat yang kecewa yang perlu dijemput oleh semua partai. Kecuali mereka memang ingin melepas semua suara itu kepada Gerindra, PAN, PKS dan PBB (jika lolos sengketa).
Selamat tinggal Jokowi, terima kasih sudah mencoba membangun Indonesia, walau sayangnya anda gagal.
Jokowi akan kalah telak, para partai jangan sampai salah pilih gerbong. Saatnya menjadi lokomotif atas diri sendiri. Saatnya bagi seluruh partai untuk berburu Calon Presiden Baru 2019.
Penulis: Teuku Gandawan