[PORTAL-ISLAM.ID] Jateng jelas bukan Jakarta dan itu sudah jelas jauh berbeda.
Polemik yang terjadi saat ini adalah penggiringan isu Pilkada Jateng akan dibuat sama seperti Pilkada Jakarta.
Opini digiring ke sana. Dimasak digoreng ditambah bumbu jahat, campur bahan pedas, dan rasa gurih. Lalu disajikan oleh para haters Sudiirman Said.
Padahal Kapolri sendiri memprediksi Pilkada Jateng tidak sepanas di DKI Jakarta.
Sejak awal pencalonan, Sudirman Said memang diusung oleh Prabowo Subianto. Hal ini tentu membuat haters gerah. Ditambah lagi saat deklarasi Pak Dirman menjadi cagub Jateng, Pak Dirman nampak berdampingan dengan Anies Baswesdan dan Prabowo Subianto. Momen ini tentu tak luput dari jepretan kamera juru warta.
Sejak foto kebersamaan tiga tokoh nasional yang kerap memancing naiknya tensi lawan politik itu menyebar luas, banyak yang memprediksi, kebersamaan ketiga tokoh ini akan gencar digoreng haters. Sama halnya dengan saat Anies Baswedan diusung Prabowo sebagai Gubernur pilihan Prabowo.
Kedekatan antara Anies Baswedan dan Sudirman Said juga digoreng dan dijadikan bancakan. Kecurigaan ini berlebihan karena kedekatan Anies dan Dirman adalah ibarat seorang murid dan guru.
Meski, seandainya, Pilkada Jakarta dan Pilkada Jateng memiliki kesamaan, hal ini tidak serta merta membuat Jateng akan di-"Jakartakan" seperti embusan aroma gosong tak sedap dari isu yang digoreng terus menerus oleh haters.
Polemik Pilkada Jakarta memang sarat dengan unsur SARA. Dipicu oleh ucapan Ahok, dan mencapai puncaknya saat Aksi Bela Islam digelar berturut-turut menuntut agar Ahok diadili. Aksi Bela Islam yang digelar berturut-turut ini sangat fenomenal. Demo nasional melibatkan 7 juta lebih mujahid dan mujahidah dari seluruh daerah yang berbondong-bondong datang ke Jakarta menuntut agar Ahok diadili memang menjadi tonggak pernyataan sikap rakyat
Banyak yang melalaikan alasan munculnya Aksi Bela Islam. Padahal, aksi ini terjadi karena rakyat (tak hanya umat Islam) menilai kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok terasa dalam lindungan pemerintah. Amarah rakyat pun memuncak dan akhirnya mampu menggerakkan sebuah aksi berskala nasional menolak ketidakadilan hukum.
Sedangkan polemik Pilkada Jateng muncul karena salah satu Paslon (Pasangan Calon) Cagub yang juga petahana, Ganjar Pranowo, masuk dalam pusaran Kasus Suap KTP Elektronik. Dan Kasus e-KTP ini juga banyak melibatkan nama-nama pejabat dan politisi di partai penguasa.
Pengusutan kasus korupsi e-KTP hingga saat ini masih terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga tulisan ini dibuat 'bola panas' kasus korupsi e-KTP pun yang tadinya berada di tangan Setya Novanto kini telah dilemparkan ke kubu PDI P, kubu pengusung Ganjar Pranowo.
Jadi, bila dua panggung pemilihan Gubernur ini mau disamakan, bisa jadi karena keduanya memiliki kesamaan polemik. Sama-sama ada paslon yang tersandung persoalan hukum.
Perbedaannya, Ahok dituntut karena kasus penistaan agama dan sekarang sudah dalam tahanan Mako. Sedangkan Ganjar statusnya masih menjadi saksi. Walaupun saksi karena Kasus Korupsi EKTP.
Jadi, tidak mungkin Jateng akan dijadikan Jakarta kedua. Itu cuma giringan opini haters cagub Sudirman Said yang sudah ketakutan akan terjadi demo berjilid dan mayat yang tidak disalatkan.
Mereka ketakutan kalau Ganjar akan kalah dalam Pilkada karena kiprahnya selama menjadi Gubernur 5 tahun menuai rapor merah ditambah dengan kasus suap e-KTP yang menyeret namanya.
Jadi jelas di Jateng tidak ada Ahok dan di Jakarta tidak pernah ada Ganjar. Itu hanya FRAMING panas yang dimainkan para buzzer petahana untuk mencuri simpati warga Jateng. Nyatanya memang tidak pernah terbukti upaya demo berjilid ada di Jateng.
Penulis: Hanuka Dewi
Judul asli: Mana Ada Ahok di Jateng