Oleh: Wido Supraha*
(Mantan Sekjen BEM)
Diskusi Mata Najwa kemarin malam (7/2/2018) yang dikhawatirkan mengulangi 'kebiasaan buruk' Najwa memotong pembicaraan para tamu diundang tidak terjadi malam ini. Apresiasi untuk Mata Najwa.
Seluruh audiens terlihat satu suara dan tidak berani berbeda dengan suara masyarakat dan fakta yang terjadi sebenarnya di Indonesia, khususnya terkait Asmat dan kebijakan pemerintah lainnya. Namun masing-masing terlihat tetap berbahasa hati-hati.
Jika Pak Nasir selaku Menristekdikti tetap mengapresiasi kartu kuning sebagai aspirasi positif, demikian juga Bang Adian Napitupulu selaku mantan aktivis tetap mengapresiasi kartu kuning sebagai hal yang biasa saja di era zaman now. Namun posisinya sebagai aktivis PDIP (Pendukung Penguasa) sepertinya memang mengharuskannya agak sedikit berbeda dari yang lain dengan membuat versinya sendiri terkait LEGITIMASI MORAL.
Legitimasi Moral versi Adian Napitupulu pun segera ditolak oleh kesetiakawanan sesama BEM dengan logika cerdas ala mahasiswa. Bagaimana mungkin 'Live-In' (tinggal/merasakan langsung) di Papua jika mahasiswa 'dijebak' oleh sistem pendidikan yang memaksa mahasiswa tidak melakukan apapun, termasuk menjalankan fungsi 'agent of change'-nya, dengan sistem perkuliahan yang sangat ketat. Mahasiswa 'dipaksa' hanya masuk ruang kelas, lab, dan kemudian lulus cepat. Menjadi aktifis mahasiswa tentu sudah menjadi prestasi sendiri di lingkungan kampusnya. Dengan demikian, membersamai rakyat dalam konteks rambu pendidikan saat ini tidak harus 'Live-In' hidup bersama rakyat di Papua, namun data faktual yang diperoleh tentang kondisi rakyat sejatinya menggambarkan perasaan rakyat. Bersama rakyat dengan tidak mengabaikan data faktual sejatinya bagian dari LEGITIMASI MORAL yang harus terfikirkan oleh aktifis sekelas Adian Napitupulu dari PDIP.
'Live-In' usulan Adian Napitupulu pun dibantah oleh kolega DPR-nya terkait kemampuan mahasiswa dalam mengatasi KLB (Kejadian Luar Biasa). Tugas Mahasiswa adalah menyuarakan, tugas pemerintah yang sejatinya menyelesaikan. Jika Presiden yang telah 8x bolak balik Papua, belum mampu menemukan inti masalah, maka apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa yang dana kuliah pun masih kembang kempis. Usulan Presiden untuk membawa BEM UI ke Papua pun dapat dimaknai sekedar untuk meredam suara mahasiswa.
Jenderal (Purnawirawan) Moeldoko terlihat memang harus menjalankan perannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Alih-alih membahas Papua, beliau mengambil slot 'kampanye Presiden' di Mata Najwa dengan membacakan prestasi. Namun, sebagaimana penegasan panelis dari DPR, Moeldoko lupa membacakan berapa hutang pemerintah yang terus menggembung untuk membiayai infrastruktur, dan lupa untuk membangun infrastruktur ke 200-an titik persoalan di Asmat dengan dana hutang tersebut. Logika cerdas ini ditanggapi Moeldoko dengan mengalihkan tanggung jawab kepada Gubernur Papua.
Tentu apa yang dilakukan mahasiswa tidak tepat jika disebut berdasarkan IMAJINASI KOSONG, karena mahasiswa bergerak berdasarkan data terbatas yang mereka miliki. Data bagaimanapun bukanlah imajinasi. Mahasiswa telah mendapatkan momentumnya untuk kembali bersuara. Dunia akademik bukanlah dunia sekedar kelas dan lab, karena kampus adalah miniatur kehidupan bernegara. Dunia pendidikan Indonesia harus melahirkan pribadi manusia Indonesia seutuhnya yang terbiasa dengan multi-tasking dan punya konsep 'nafi'un li ghairihi' (bermanfaat untuk orang lain, mengobati penyakit masyarakat).[]
*Sumber: fb penulis