[PORTAL-ISLAM.ID] Adegan kartu kuning Ketua BEM UI untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), rupanya berlanjut. Pak Jokowi membalas dengan mengatakan bahwa beliau akan mengirim Zaadit Taqwa dan anggota BEM UI ke Kabupaten Asmat supaya si mahasiswa ini tahu bagaimana beratnya medan yang dihadapi dalam upaya menangani kejadian luar biasa (KLB) berupa penyakit campak dan gizi buruk. KLB ini menelan korban lebih 70 orang meninggal dunia.
Pemerintah Jokowi sudah mengalokasikan dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua yang jumlahnya Rp8.2 triliun untuk tahun 2017 dan Rp8 trilun untuk 2018. Dalam bahasa Ketua DPR Bambang Soesatyo, jumlah ini cukup besar tetapi belum menunjukkan perbaikan kondisi hidup rakyat di Papua. Fakta alokasi dana otsus ini memicu pertanyaan, mengapa kondisi masyarakat bisa seperti sekarang ini?
Para pejabat, termasuk dua menteri (Mensos Idrus Marham dan Menkes Nila Moeloek) mengatakan kondisi geografis Papua, sangat berat. Untuk sampai ke lokasi yang dilanda KLB, cukup menguras stamina dan waktu. Apalagi kalau perjalanan dimulai dari Jakarta. Untuk sampai ke lokasi terpencil yang dilanda KLB, Anda harus menggunakan pesawat kecil dari Timika. Sampai di bandara dekat Agats, Anda kemudian menggunakan speedboat. Turun dari speedboat, Anda harus menggunakan sepedamotor melewati rawa-rawa.
Intinya, medan yang ditempuh sangat berat dengan fasilitas transportasi yang tidak memadai.
Nah, kita kembali ke kartu kuning untuk Pak Jokowi. Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, mengatakan dia menunjukkan kartu kuning antara menuntut agar Presiden menangani KLB dengan cepat dan serius. Kertu kuning juga dimaksudkan sebagai kritik.
Sehari setelah mendapat kartu kuning, Presiden Jokowi mengatakan dia akan mengirim Zaadit dan teman-temannya ke Asmat. Tidak bisa dipastikan apakah Pak Jokowi cuma bercanda atau sekadar cara beliau menunjukkan kekesalannya. Tetapi, publik kemungkinan besar akan menafsirkan “kirim Zaadit ke Asmat” itu sebagai ekspresi kejengkelan. Dalam bahasa gaul anak-anak muda, kalimat Pak Jokowi itu mirip dengan “Kamu sok tau”.
Pertanyaannya, apakah kritik Zaadit itu tidak proporsional dan tidak pada tempatnya? Kalau Zaadit berpendapat bahwa tindakan pemerintah dalam masalah KLB di Asmat sangat lambat, kelihatanya sah-sah saja. Sebab, pemerintah pusat memiliki sumberdaya yang relative sangat lengkap dan bagus. Baik itu fasilitas transportasi maupun kelengkapan medis.
Artinya, kekuatan finansial negara seperti sekarang ini tidak memberikan ruang untuk berlasan bahwa kondisi georgrafis Asmat sangat berat. Mengapa? Karena pemerintah memiliki perlengkapan TNI AU, TNI AL dan TNI AD yang pasti bisa mempercepat proses penangangan KLB. Dalam hal ini, kritik atau tuntutan Zaadit tidaklah berlebihan.
Lagi pula, wabah penyakit menular dan gizi buruk di Asmat sudah berlangsung sejak September 2017, seperti dikatakan bupati Asmat, Elisa Kambu. Artinya, ada rentang waktu yang seharusnya mencukupi untuk mengirimkan berbagai keperluan medis ke lokasi-lokasi (ada 23 titik) terpencil itu kalau pemerintah daerah dan pemerintah pusat membuat kalkulasi tentang kemungkinan epidemi KLB.
Jadi, dengan segala kekurangannya, kritik dari Zaadit Taqwa masih berada dalam batas-batas yang wajar. Andaikata pun Zaadit tidak menunjukkan kartu kuning, masyarakat umum tetap pantas mempertanyakan gerak pemerintah yang sangat wajar disebut lambat. Bukankah instansi-instansi pemerintah memang harus antisipatif terhadap daerah-daerah terpencil? Bukankah negara yang sudah “resourceful” ini harus siap setiap saat?
Bisa dipahami mengapa Pak Jokowi merasa tak enak menerima kritik dari “anak bau kencur” seperti yang ditunjukkan oleh Zaadit. Tetapi, reaksi Presiden dengan mengatakan bahwa beliau akan mengirim ketua BEM UI ke Asmat, menorehkan kesan lain di kalangan publik.
Bagi masyarakat, bukan soal Zaadit “masih bau kencur” yang tampak di permukaan. Yang lebih menonjol adalah kesan, “jangan kritik saya”.
Penulis: Asyari Usman