[PORTAL-ISLAM.ID] Siapa “orang gila” spesialis penyerang ulama, secara perlahan mulai terungkap. Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menduga ada kelompok tertentu yang berada di balik aksi tersebut . “Ini kan permainan lama. Jangan-jangan ada yang bermain-main,” tegasnya.
Sebagai pembantu dekat Presiden Jokowi, pernyataan Moeldoko tidak bisa dianggap main-main. Apalagi Moeldoko adalah mantan Panglima TNI. Tentu dia punya pengalaman, pengetahuan, dan akses yang sangat kuat di kalangan intelijen.
Pernyataan Moeldoko ini menjadi semacam tabir pembuka, sekaligus penegasan bahwa penyerangan terhadap ulama yang cukup masif —terutama di Jawa Barat—dilakukan secara terencana. Dalam bahasa Moeldoko “ada yang menyetir.” Ada agenda tertentu yang sedang dimainkan.
Para pelaku bukanlah “orang gila,” seperti yang selama ini disampaikan polisi. Mereka adalah orang “gila” baru, alias gila jadi-jadian. Kalau kita mau positive thinking, khusnudzon, polisi menyampaikan hal itu agar jangan sampai masyarakat panik.
Tapi bagaimana tidak panik, kalau kejadian terus menerus dan mulai menyebar ke beberapa daerah lain. Sudah ada korban yang terbunuh seperti yang menimpa Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis) Ustaz Prawoto, di Bandung.
Situasinya kian mencekam, karena aksi itu kemudian dibarengi dengan penyebaran kabar bohong (hoax), seolah terjadi penyerangan dimana-mana. Penyebaran hoax yang massif ini diduga juga merupakan bagian tak terpisah dari operasi intelijen “orang gila” dengan tujuan menambah situasi mencekam. Targetnya adalah efek takut (fear effect).
Sebelumnya Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan juga sudah menyatakan bahwa penyerangan tersebut sebuah operasi terencana. BIN sudah lama mendeteksinya. Gerakan itu merupakan bagian dari kampanye hitam, menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Mereka mencoba memprovokasi dan adu domba warga. Wujudnya bisa isu PKI, isu SARA, dan agama.
Siapa yang bermain?
Baik Moeldoko maupun Budi Gunawan tidak secara tegas menyebut siapa yang tengah bermain. Namun dari pernyataan keduanya, setidaknya kita bisa mendapat petunjuk.
Pertama, ada kaitannya dengan Pilkada Serentak dan Pilpres 2019. Yang masuk dalam kelompok ini adalah para kandidat, para pendukungnya, terdiri dari Parpol dan kelompok-kelompok kepentingan di belakangnya. Mulai dari kelompok kepentingan asing, maupun kelompok kepentingan di dalam negeri.
Kepentingan asing bisa negara, maupun kelompok-kelompok bisnis yang menginginkan kandidat yang didukungnya berkuasa, atau tetap berkuasa. Mereka bisa bekerjasama dengan elemen-elemen di dalam negeri yang selama ini menangguk kepentingan dengan terjaganya kepentingan asing di Indonesia.
Kelompok kepentingan dalam negeri bisa berasal dari para kelompok oligarki–penguasa, pengusaha, akademisi, penegak hukum, media dll—yang berkepentingan adanya status quo. Sebaliknya kepentingan dalam negeri juga bisa datang dari kelompok baru yang ingin berkuasa, dan mengubah status quo. Pendek kata ini berkaitan dengan permainan kekuasaan (power game).
Kedua, permainan lama. Yang paling lekat dalam ingatan publik adalah peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, dan beberapa daerah di Jawa Timur (1998-1999). Dalam peristiwa itu sejumlah ulama NU menjadi korban.
Komnas HAM saat itu mencatat ada sekitar 200 orang korban. Namun tim investigasi yang dibentuk Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim menyebut jumlahnya lebih besar, yakni 253 orang. Korban tersebut tersebar di Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, Pasuruan, Pamekasan dan Sampang di Madura.
Sebagian besar adalah ulama/kyai NU tingkat desa. Menurut catatan Pengurus Wilayah NU Jatim, korban dari kalangan ulama/kyai NU sebanyak 148 orang, terbanyak di Banyuwangi.
Investigasi yang dilakukan oleh Majalah Forum Keadilan Edisi 15/Oktober 1998 mendapatkan temuan, ada tiga pola pembunuhan di Banyuwangi.
Pertama, kelompok masyarakat yang melakukan pembunuhan terhadap dukun santet. Para pelaku kelompok ini banyak yang berhasil ditangkap dan mengakui perbuatannya.
Kedua, para eks aktivis PKI yang membalas dendam terhadap kyai/santri NU yang dulu terlibat dalam aksi pembantaian G30S/PKI (1965).
Ketiga, kelompok ninja. Kelompok ini merupakan orang terlatih yang bergerak cepat, dan sistematis. Beberapa di antaranya diketahui sebagai personil militer. Di antara mereka yang tertangkap juga berpura-pura gila.
Ketua Umum PBNU Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Ketua PWNU Jatim Hasyim Muzadi menyebut peristiwa Banyuwangi sebagai “Operasi Naga Hijau.” Namun versi investigasi NU menyebut tidak ada bukti keterlibatan PKI dalam kasus pembunuhan tersebut.
Gus Dur justru menyebut aparat pemerintah terlibat dengan menggunakan isu PKI untuk menggilas warga NU. Saat itu menjelang Pemilu 1999 dan BJ Habibie baru saja menjadi presiden menggantikan Soeharto. Gus Dur mempunyai hubungan yang buruk dengan Habibie yang didukung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Gus Dur termasuk kelompok yang menentang kehadiran ICMI.
Siapa yang bermain dalam kasus kali ini, dan apakah ini merupakan sequel dari “Operasi Naga Hijau, sebuah operasi bentuk lama, dengan para pemain lama? Atau pemain baru dengan menggunakan pola permainan lama?
Kita masih harus menunggu hasil investigasi tim yang dibentuk oleh pemerintah. Namun belajar dari berbagai kasus sebelumnya, kasus semacam ini sulit diungkap secara tuntas karena banyak kepentingan yang terlibat. Kalau ada yang tertangkap dan diungkap, mereka biasanya adalah “pemain” pinggiran, alias yang gila beneran.
Penulis: Hersubeno Arief