[PORTAL-ISLAM.ID] Partai baru besutan mantan jurnalis televisi Grace Natalie, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dinilai membawa perubahan positif bagi kancah perpolitikan di Indonesia.
Diisi dengan kader-kader muda, PSI mengusung slogan "Anti Korupsi, Anti Intoleransi". Selain itu, PSI juga getol berkampanye melalui media sosial dan memviralkan tagar alias hashtag tertentu.
Seorang warganet bernama Ardi Wirdamulia rupanya tertarik dengan kampanye yang dilakukan PSI.
Ardi pun menantang PSI dalam adu gagasan mengatasi korupsi.
Berikut gagasan sekaligus tantangan dari Ardi untuk PSI yang ditulis di laman web pribadinya ardiwirdamulia.com
Korupsi itu konsekuensi dari hukum yang dapat dibeli. Dan dagang itu ya ada saat untung, ada saat rugi. Jadi, kosakata koruptor kalau tertangkap adalah kena musibah. Dengan uang, musibah selalu bisa diubah. Penjara saja bisa dibikin nyaman. Asal korupsinya jangan nanggung. Begitu, kan?
Bagaimana agar hukum tidak bisa dibeli? Ya harus diurus di lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dan pembuatan hukum. Itu fokus utamanya. Cegah korupsi dari situ. Bagaimana caranya? Sebelum sampai ke situ, mari lihat dulu faktanya.
Penegakan hukum kita ini terpusat. Strukturnya komando. Padahal keadilan itu punya lokalitas. Bentuk yang kita miliki ini warisan Belanda. Dipertahankan oleh pemerintah fasis Soeharto. Tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan. Korbannya ya kita. Pencari keadilan.
Dengan polisi dan jaksa distrukturkan secara komando dari atas, akan sangat mudah bagi negara untuk melakukan kontrol. Namun apa ongkosnya? Banyak.
Penempatan polisi dan jaksa itu adalah penugasan pusat. Tuannya ada di sana. Perlindungan dan pelayanan masyarakat di lokal itu tidak akan jadi perhatian saat ada konflik kepentingan. Polisi itu tidak berakar ke bawah. Ia menggantung ke atas.
Hubungannya dengan jual beli hukum? Saya sih takut dituduh mencemarkan nama baik kepolisian atau dibilang memfitnah. Namun harusnya aman untuk bilang, “Lapor ke polisi kehilangan ayam bisa bikin kita jual kambing”. Toh semua orang juga bilang begitu. Persoalannya kenapa?
Karena sistem sentralisasi ini membuat rentang jabatan polisi ini begitu lebar. Padahal tidak diperlukan juga. Kebutuhan untuk meniti jenjang karir inilah yang bikin rentan terhadap jual beli hukum.
Yang terjadi adalah, perwira-perwira muda polisi disebar ke seluruh penjuru. Semua mereka punya satu cita-cita. Ke Jakarta. Jadi Jendral. Caranya gimana? Ya kumpulin duit. Rasanya ini rahasia umum. Saya jangan ditangkep ya.
Mereka ini tidak punya ikatan dengan tempat bertugasnya. Bukan orang lokal. Punya rencana keluar dari sana dalam waktu 4-5 tahun. Apa peduli mereka kalau hukum tidak tegak? Sepanjang bisa mengumpulkan uang dan pujian atasan, kelar perkara.
Dengan rentang dari prajurit dua sampai Jendral, kepolisian kita jelas sangat tidak efisien. Jika kepolisian didesentralisasi, banyak problem jual beli hukum dan ineffisiensi bisa diatasi. Tapi siapa yang berani berinisiatif?
Saya tadi ambil contoh polisi. Tapi logika yang sama berlaku untuk jaksa dan hakim. Sistem sentralisasi membuat mereka tidak berakar dalam masyarakatnya. Orang juga tidak memiliki rasa segan atau hormat pada jaksa dan hakim selain karena jabatannya. Mereka tidak dilihat sebagai tokoh atau pilar-pilar dalam masyarakat. Suram.
Mari kita kontraskan ini dengan pemuka-pemuka adat pra republik. Mereka dipercaya untuk menyelesaikan persoalan (hukum) di masyarakat itu. Modalnya cuma pemahaman hukum adat dan kehormatan. Yang terakhir ini tidak ada yang bisa beli.
Saat sekarang kehormatan tidak lagi menjadi taruhan, ya mudah untuk menemukan jaksa dan hakim yang memperjualbelikan hukum. Tidak ada yang peduli toh?
Jawaban pertama untuk mengatasi jual beli hukum yang berujung pada korupsi adalah desentralisasi lembaga” penegak hukum. Apakah ini cukup? Belum.
Korupsi bisa dicegah dengan melakukan pengawasan. Tugas ini sekarang dilakukan di inspektorat-inspektorat di setiap kementrian atau lembaga pemerintahan. Tidak efektif. Kenapa?
Sederhananya ini terkait pada rotasi jabatan. Mereka yang hari ini ada di inspektorat, bisa saja besok dimutasi ke direktorat yang lain. Atau sebaliknya. Bisa jadi yang sekarang diperiksa dulu adalah teman sejawatnya. Atau orang yang dia takut akan jadi atasannya. Banyak faktor psikologis yang bermain.
Padahal saya tidak melihat pentingnya suatu inspektorat harus memiliki rotasi jabatan pada kementrian atau lembaga pemerintah yang sama. Harusnya mereka adalah kementrian tersendiri. Dengan pemisahan ini, jenjang karir mereka jelas cuma satu. Pengawasan pada berbagai tingkat lembaga pemerintah. Mereka bisa punya rotasi jabatan di situ. Cukup banyak tangga untuk meniti karir.
Pola pikir yang sama juga bisa diterapkan pada penegakan hukum. Saat in ada komisi-komisi negara yang terkait dengan itu. Ada komisi kepolisian nasional, komisi kejaksaan dan komisi judicial. Namun lembaga-lembaga ini tidak diberikan gigi dalam pengawasan. Mereka cuma dilibatkan dalam proses “penghakiman”. Sayang.
Dalam bayangan saya, provost-nya polisi itu tidak perlu bertanggung jawab pada Kapolri. Tapi pada komisi kepolisian nasional. Mereka juga tidak di rotasikan jabatannya dengan badan kepolisian yang lain. Hanya di-provost/internal affair. Namun tanpa adanya desentralisasi kepolisian ya tidak mungkin.
Tentang jual beli hukum dilingkungan pembuat hukum (eksekutif dan legislatif) sedikit lebih kompleks. Agak sulit untuk memisahkan, seorang wakil rakyat memilih teruskan reklamasi karena dia percaya itu yang baik buat konstitutuennya atau karena dia menerima suap dari pengusaha reklamasi. Untuk yang seperti ini ya tetap butuh KPK.
Jejak koruptif dari eksekutif dan legislatif itu lebih terlihat dalam persoalan anggaran. Jadi badan anggaran DPR itu yang harus dibuat setransparan mungkin.
Khusus untuk pejabat negara mereka harus diancam pidana jika mereka tidak melaporkan harta kekayaan. Hanya dengan cara ini kita bisa memastikan mereka bersih dari harta korupsi.
Demikianlah, ada 3 gagasan yang saya ingin terus dipelihara dan disempurnakan. Desentralisasi penegakan hukum, pembentukan kementrian pengawasan dan pidana bagi pejabat negara yang tidak melaporkan harta kekayaan setelah periode tertentu. @psi_id punya apa? Hestek? Duh!
Namun sayangnya, hingga saat ini PSI tidak berani menanggapi tantangan Ardi.
"Tantangan saya dicuekin ama @psi_id. Kalo ada yang beneran anti korupsi di partai itu, monggo disanggah. Blog war kita", tulisnya, 21 Februari 2018.
Meskipun memiliki slogan Anti Korupsi, apakah PSI memiliki gagasan bagaimana mengatasinya, atau semua hanya retorika dan permainan tagar di media sosial demi meraup suara menuju pilpres 2019? Kita lihat nanti.Tantangan saya dicuekin ama @psi_id. Kalo ada yg beneran anti korupsi di partai itu, monggo disanggah. Blog war kita. :p https://t.co/O1uRWXjkU1— Pelan-pelan, Ardi! (@awemany) February 21, 2018