Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Anies Rasyid Baswedan, penantang terkuat Jokowi. Itulah analisis hasil survey CSIS dan LSI. Elektabilitas Jokowi tak aman. Di bawah 50%. Dengan catatan, belum ada lawan. Jika muncul lawan yang kuat, elektabilitas Jokowi bisa ambruk.
Tiga faktor yang menjadi ancaman elektabilitas Jokowi (Survey LSI Denny JA). Pertama, memburuknya kondisi ekonomi. Harga kebutuhan pokok makin mahal (52,6%). Lapangan pekerjaan makin sulit (54%). Tingkat pengangguran bertambah (48%). Sepuluh juta tenaga kerja baru yang dijanjikan Jokowi saat kampanye 2014 belum juga terbukti.
Kedua, isu primordial. rakyat menganggap Jokowi berpihak. Isu kriminalisasi dan pencekalan ulama, dicurigai publik sebagai bagian dari sikap tidak fair kepada mereka yang berbeda politik dengan istana.
Ketiga, banjir pekerja Cina. 58,3% rakyat mempersoalkan banyaknya tenaga asing (tenaga kasar Cina) yang datang ke Indonesia. Kelonggaran ini dianggap oleh sejumlah pihak sebagai ancaman terhadap dasar dan prinsip kedaulatan negara. Pilihan kerjasama pembangunan infrastruktur dengan Cina, bukan dengan Jepang atau Korea Selatan misalnya, menyisakan banyak pertanyaan. Ada apa? Tidakkah Cina dikenal kurang/tidak kredibel soal komitmen kerja dan integritas. Di aspek inilah tulisan berjudul “widodo”s smoke and mirrors hide hard truth” oleh wartawan senior Australia John Mcbeth menggoda dan ramai pembaca di Indonesia. Seolah tulisan itu telah mengkonfirmasi temuan survei itu.
Menurut LSI, tiga faktor di atas menjadi ancaman serius elektabilitas Jokowi. Jika ini tidak cepat dan cerdas diatasi, Jokowi besar peluangnya untuk dikalahkan. Siapa yang paling potensial mengalahkan Jokowi? Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini diprediksi paling besar dan kuat peluangnya.
Anies adalah satu-satunya tokoh yang direkomendasikan CSIS untuk bertanding melawan Jokowi di pilpres 2019. Kenapa bukan Prabowo? Prabowo sudah selesai masanya. Ia adalah seorang negarawan yang sudah tidak waktunya lagi untuk turun langsung. Lebih pas dan cocok jadi ‘King Maker”. Layaknya dunia sepak bola, Prabowo adalah Maradona. Dia lebih layak menjadi pelatih di luar lapangan. Dan satu-satunya pemain, masih menurut CSIS, yang layak dipasang Prabowo adalah Anies Rasyid. Baswedan. Orang kepercayaan Prabowo.
Sebagai gubernur DKI, Anies punya panggung. Banyak momentum yang memberi keberuntungan kepada Anies untuk selalu diperhitungkan publik. Berbagai program DKI yang diljalankan Anies akan terus membayangi -dan menjadi ancaman terhadap- elektabilitas Jokowi. Terlebih jika setiap program dan kebijakan Anies dibully dan dikritik. Ini malah justru mendatangkan berkah bagi Anies. Makin dikritik, nama Anies makin naik (Tempo).
Jokowi vs Anies adalah pertarungan politik yang sudah ditunggu-tunggu. Tidak saja oleh rakyat Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Ibarat tinju, ini pertarungan satu kelas. Selevel. Pertama, sama-sama tokoh nasional. Yang satu presiden, satunya lagi mantan menteri. Kedua, sama-sama pernah menjadi gubernur DKI. Ketiga, tingkat popularitasnya berimbang. Keempat, Jokowi lebih dekat dengan Cina, Anies lulusan Amerika. Sama-sama punya jaringan internasional.
Jika Anies vs Jokowi jadi digelar, keduanya akan menjadi rival yang seimbang. Pertarungannya akan sangat ketat. Lalu, siapa pasangan mereka?
Soal wakil, Jokowi bergerak lebih cepat. Bahkan sangat gesit. Sejumlah tokoh kabarnya sudah mulai dijajagi. Mulai dari Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar sampai Zulkifli Hasan diajak komunikasi. Ketiganya nampak bersemangat. Ada yang pasang baliho. Ada juga yang coba melakukan manuver untuk dapat simpati Jokowi. Ketiganya bersaing.
Selain ketiga tokoh di atas ada Agus Harimurti Yudhoyono dan Romuharmuzy. Tokoh yang terakhir ini nampak mengikuti jejak Muhaimin. Terlihat sama-sama genit. Ikutan memasang sejumlah baliho “cawapres” di sejumlah sudut jalan.
J. Kristiadi, pentolan CSIS menyarankan Jokowi untuk tetap maju bersama Jusuf Kalla. Seorang negarawan dan dianggap merepresentasikan Islam moderat. Pilihan lain adalah Said Agil Siraj, Ma’ruf Amin atau Mustofa Bisri. Ketiga ulama ini dianggap merepresentasikan kelompok Islam moderat dan mampu manghadang isu primordial Jokowi.
Rekomendasi ini seolah menjelaskan pertama, faktor primordial dianggap sebagai ancaman serius. Kedua, sejumlah bakal cawapres dari unsur partai koalisi diasumsikan tidak mampu mengurai isu primordial yang sedang memblokade Jokowi.
Anehnya, J. Kristiadi tidak merekomendasikan Puan Maharani atau Budi Gunawan yang notabene “confirmed” bisa mendapatkan rekomendasi atau tiket dari PDIP. Partai terbesar saat ini dan memiliki mesin politik cukup baik. Di sini nampak bahwa hasil survey dan ekspektasi partai belum sejalan. Tetapi, peluang tak tertutup sebelum pasangan caores-cawapres itu didaftakan resmi di KPU.
Lalu, siapa yang cocok berpasangan dengan Anies? Ada sejumlah nama yang diperkirakan bisa memperkuat posisi elektabilitas Anies. Ini prediksi yang bisa dijadikan rekomendasi survey. Pertama, Gatot Nurmantyo. Unsur tentara dan antitesa Jokowi. Hadirnya Gatot bisa mengimbangi pengaruh lima jenderal purnawirawan AD yang mengelilingi istana.
Kedua, Kiyai Ma’ruf Amin. Tokoh NU dan ketua majlis ulama ini bisa diterima banyak pihak. Jika Anies berhasil digandengkan dengan Ma’ruf Amin, pasangan ini diprediksi akan mendapatkan dukungan dari mayoritas kekuatan Umat Islam. Tidak hanya kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) dan kelompok Islam perkotaan, tapi juga Islam tradisional.
Ketiga, Tuan Guru Bajang (TGB). Luar jawa dan tokoh Islam moderat (NU). Anies yang nasionalis akan menguat jika didampingi TGB dari kelompok islamis.
Keempat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Anak muda yang potensial mengambil suara dari kelompok milenial dan “kaum hawa”. Punya partai kelas menengah dan bisa mengambil pengaruh SBY.
Kelima, Ahmad Heryawan. Dua kali jadi gubernur dan mengakar jaringannya di Jawa Barat. Sebuah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
Dengan siapa capres akan berpasangan biasanya diputuskan injury time. Hasil survei dan lobi partai paling besar pengaruhnya dalam membuat keputusan. Di titik inilah “branding cawapres” sejumlah tokoh menemukan logikanya. Langkah ini akan mendorong survei elektabilitas dan bisa membuka peluang yang lebih besar untuk masuk nominasi cawapres. Kenapa tidak branding capres? Jawabnya: “mesti tahu diri”. Kendati sebagian tokoh ada yang melakukan branding capres, tapi tujuan sesungguhnya untuk membidik posisi cawapres.
Formasi bakal capres bisa berubah-rubah. Bisa dua, bisa juga tiga. Begitu pula dengan prediksi pasangan. Yang jelas, dengan siapa capres itu berpasangan, akan punya pengaruh suara yang signifikan. Inilah faktor yang mendorong “bursa cawapres” menjadi ramai menjelang 2019.
Jakarta, 14/2/2018