[PORTAL-ISLAM.ID] Istana blunder lagi. Untuk kesekian kalinya. Setelah “mati-matian” dukung Ahok dan kalah, lalu ngotot ingin lanjutkan reklamasi. Tapi terhadang oleh aturan. Kali ini, Anies yang dihadang. Paspampres menahannya saat Anies mau turun dari tribun ke podium yang ada di lapangan.
Kok bisa? Persija juara, tapi gubernurnya tak boleh ikut mendampingi anak asuhnya. Ironis. Baru terjadi di sepanjang sejarah sepakbola. Dan itu ada di Indonesia. Tepatnya di Jakarta.
Lalu, atas perintah siapa? Panitia? Atau atasannya panitia? Sopo iku? Spekulasi publik makin liar. Berbagai alasan dan bantahan dibuat, tapi susah diterima nalar.
Ada tiga kemungkinan, pertama, karena Paspampres salah SOP, seperti kata Fahri Hamzah. Benar lalaikah? Moso sih? Publik tahu, Paspampres adalah pasukan pilihan. profesionalisme tak diragukan. Kecil kemungkinan mereka lalai. Apalagi salah SOP. Kedua, mungkin masih ada sisa kekecewaan sejumlah orang. Kekalahan di Pilgub masih terasa sakitnya. Masuk akal juga. Ketiga, takut nama Anies makin berkibar. Apalagi ada pesaingnya. Dua matahari tak mungkin bersama dan ada di satu panggung gembira. Bisa terjadi tragedi politik atau muncul drama.
Anies gak dipanggil. Namanya dicoret di detik-detik akhir. Mau turun, paspampres menghadang. Alias tak diijinkan. Ada apa dengan Anies? Banyak dugaan, ada yang takut Anies akan jadi saingan.
Atas perintah siapa pencoretan nama Anies? Itu misteri. Tapi telunjuk rakyat terlanjur terarah. Meski tak ada kata. Semua paham kemana telunjuk itu dialamatkan.
Anies tak memaksa. Ia mundur beberapa langkah. Meski kehormatannya terabaikan. Seorang gubernur yang ingin menyambut kemenangan rakyatnya mendapat penghadangan. Anies tegar dan berjiwa besar. Tak ada kemarahan, apalagi dendam. Meski panggung miliknya diambil sejumlah orang.
Pemain Persija melihat itu, dan tak sabar. Usai terima piala, mereka lari dan menghampiri gubernurnya, Anies Rasyid Baswedan. Ini bagian dari sportifitas. Mereka tak tahu ada dinamika dan intrik politik yang dianggap publik telah menodai persija dan Jack Mania.
Selesai acara, Anies turun dari tribun. Menyapa semua pemain dan penonton dengan penuh senyum. Seolah tak pernah terjadi tragedi memalukan. Jack Mania menyambutnya dengan teriakan: Anies-Sandi… Anies-Sandi….Anies Sandi…. suara itu membahana. Memenuhi seluruh telinga penonton di GBK. Kok bukan nama lain? Tidakkah di situ ada sejumlah tokoh-tokoh hebat dan para pejabat. Masyarakat Jakarta tahu siapa yang mesti harus diberikan penghargaan.
Hari berikutnya, minggu, 18/2/2018 medsos dibanjiri empati. Dari meme, karikatur hingga video. Tidak hanya di Jakarta, tapi masyarakat di seluruh pelosok nusantara. Rakyat Indonesia tersedot perhatian. Sekedar menyampaikan simpati atau melakukan pembelaan. Bahkan tak sedikit yang menuliskan: Anies Baswedan, Presidenku di masa depan.
Anies seperti bola, makin ditekan, makin tinggi melambungnya. Setelah berulangkali dikritik, bahkan dibully, nama Anies makin melambung tinggi. Tinggal menyundulnya jadi goal kemenangan. Publik berharap 2019 adalah momentumnya.
Rakyat sepenuhnya sadar: Anies adalah gubernur Indonesia. Gubernur beraroma presiden maksudnya. Kecerdasan konsep dan oralnya, kematangan komunikasinya, jaringan globalnya, stabilitas emosinya, keberpihakannya kepada tukang becak dan rakyat kecil, bahkan terakhir adalah popularitas dan elektabilitasnya terus dapat perhatian. Apa ini penyebabnya? Allahu A”lam.
Yang pasti, tragedi GBK berpotensi mengancam elektabilitas istana.yang semakin tidak aman.
Penulis: Tony Rasyid