[PORTAL-ISLAM.ID] Kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk tidak mengizinkan warga non pribumi memiliki tanah di Yogyakarta terus menuai reaksi keras.
Reaksi itu umumnya datang dari mereka yang memaknai kata "non pribumi" secara sempit. Mereka juga biasanya bukan warga asli Yogyakarta yang memahami keputusan Sri Suktan sebagai bentuk kearifan lokal untuk menjaga dan menjamin kesejahteraan warga asli Yogyakarta.
Keputusan Sri Sultan, tentu bersasar pada pengalaman panjang beliau ketika menghadapi warga dengan berbagai karakter khas mereka.
Keputusan Sri Sultan yang dulu dianggap sebagai hak prerogatif Raja, kini dipersoalkan sebagai bentuk intoleransi. Maka mulailah berbagai isu dilancarkan untuk menghajar Sri Sultan. Tak berhenti sampai di situ, serangan dalam bentuk fisik dan teror sosial pun terus dilancarkan untuk menggoyang kokohnya prinsip Raja Yogya ini.
Namun sayang, berbagai serangan itu tak mampu menghancurkan kepercayaan publik Yogyakarta kepada raja mereka. Isu, serangan, dan upaya adu domba hilang begitu saja. Tak berhenti sampai di situ, upaya hukum pun dilakukan untuk menggugat Sri Sultan.
Kali ini, seorang warga bernama Handoko berupaya menggugat dengan dalih keputusan Sultan mengandung unsur diskriminasi.
Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang didasarkan pada keputusan ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan dituangkan secara formal dalam Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di DIY digugat oleh Handoko pada 7 September 2017.
Gugatan Handoko ternyata ditolak mentah-mentah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Putusan ini dibacakan majelis hakim yang diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Nuryanto dan Sri Harsiwi dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada Selasa, 20 Februari 2018.
Dalam persidangan, seluruh permohonan penggugat ditolak karena kebijakan yang dituangkan dalam Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975.
Menurut pendapat majelis hakim, berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan, kebijakan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena bertujuan melindungi kepentingan umum, yakni masyarakat ekonomi lemah.
Hal ini terkait pula dengan Keistimewaan DIY yang secara tegas memberikan kewenangan istimewa di bidang pertanahan serta menjaga kebudayaan khususnya keberadaan Kasultanan Ngayogyakarta dan juga menjaga keseimbangan pembangunan dalam rangka pengembangan perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.
Sementara itu, Handoko, si penggugat, menyampaikan akan mengambil langkah banding yang akan diajukan 14 hari setelah putusan sidang kemarin.
"Saya akan mengajukan banding," tuturnya saat dihubungi.
Handoko menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975.
"Saya menganggap pejabat yang menjalankan Surat Instruksi (Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975) itu melanggar hukum. Instruksi itu juga saya menilai mengandung diskriminasi," ujarnya.
Dia mengatakan, dasar dari gugatan tersebut adalah karena Instruksi yang terbit pada 5 Maret 1975 tersebut melawan hukum karena melanggar Instruksi Presiden 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Selain itu, menurut Handoko, kebijakan itu juga bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi "Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik".
"Saat ini saya sedang mempelajari dan menyusun alasan-alasan untuk pengajuan banding," pungkasnya.
Kasus ini viral di media sosial dan warganet mendukung penuh keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Kini kalian paham mengapa Sri Sultan DIHAJAR dengan isu intoleransi dan penyerangan tempat ibadah.— Warta🌐Politik™ (@wartapolitik) February 22, 2018
Semata karena Sri Sultan TEGUH memegang prinsip untuk tidak menjual tanah di bumi Ngayogyakarta ke tangan taipan. https://t.co/d9loRtuJHU
Sudi kiranya kita untuk mendukung kebijakan Sri Sultan di DIY, karena menyangkut kebaikan daerah tsb dan juga untuk Indonesia seharusnya! Mari gaung kan ✊#KamiBersamaSriSultan pic.twitter.com/eol1KfqiCb— Kian_Sensitive (@kian_sensitive) February 23, 2018
Banyak lahan-lahan Kraton yg dimanfaatkan utk tujuan publik, yg lebih luas, seperti kampus.— #KendaliTutur (@papihamlet) February 22, 2018
Justru keistimewaan Jogja itu pada pengaturan setempat dgn kedepankan budaya lokal. Jadi perlu dipertahankan kebijakan Sultan.@herry_zudianto @mohmahfudmd
Ketahuan gak ngerti sejarah itu yg nggugat Sri Sultan!! Sblm msk NKRI, hampir seluruh tanah jawa ini milik Kesultanan Mataram dan Sultan Jogja adlh pewaris sahnya!! Apa @kratonjogja gak bisa usir satu bangsat itu dari bumi Jogja?!#KamiBersamaSultan— ANAKTANGSI (@djokoism) February 22, 2018