[PORTAL-ISLAM.ID] Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Sofyan Jalil disebut kurang memahami persoalan atas penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Terkait belum disikapinya surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenai permohonan pembatalan sertifikat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta.
"Pak menteri kurang paham etika pemerintahan atau kalap dengan menjawab surat resmi dari sebuah instansi pemerintah dengan cara konferensi pers," ujar Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (FAKTA) Anhar Nasution kepada wartawan di Jakarta, Ahad, 14 Januari 2018.
Menyimak pengakuan Anies saat pelantikan Dewan Mesjid Indonesia pada Jumat kemarin, 12 Januari 2018 bahwa Menteri Sofyan menyarankan kepadanya agar mengajukan surat permohonan pembatalan sertifikat Pulau D. Atas saran dan arahan itu kemudian Anies melayangkan surat permohonan pembatalan. Bahkan saat surat tersebut sampai ke meja Menteri Sofyan mereka pun masih sempat saling berkabar.
"Jika kita menyimak dengan cermat kasus ini maka akan terlihat jelas ada dugaan kuat jika beliau (Menteri Sofyan) paham etika tersebut namun sengaja melakukan konferensi pers. Hal ini akan berdampak politis dan kegaduhan yang sasarannya adalah presiden yang dikesankan tidak mampu mengatur manajemen pemerintahan. Jika alasan ini benar adanya maka perlu ditindaklanjuti," papar Anhar.
Menurut Anhar yang pernah memimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR periode 2004-2009, penerbitan sertifikat HGB di atas HPL tidak salah dan sah secara hukum. Bahkan, negara memberi kewenangan kepada instansi pemerintah yang memegang HPL untuk memanfaatkannya, termasuk melakukan kerja sama dengan pihak ke tiga.
"Tapi yang perlu diperhatikan untuk terbitnya HGB perlu ada perjanjian antara pemegang HPL, dalam hal ini Pemda DKI dengan penerima HGB. Dalam perjanjian tersebut diatur antara lain hak dan kewajiban pemegang HGB diantaranya RUTR yang mengatur fasos, fasum dan amdal tentunya," jelasnya.
Selanjutnya diterbitkan peraturan daerah sebagai payung hukum dalam pelaksanaan pembangunan di atas HGB tersebut.
"Kita sama-sama mengetahui bahwa untuk lahirnya perda yang mengatur pemanfaatan pulau reklamasi itu telah jatuh korban mantan anggota DPRD DKI dan pihak pengembang dan telah divonis penjara. Itu artinya perda atas pulau reklamasi tersebut belum terbit, kalaupun ada pastilah cacat hukum. Lebih anehnya, saat ini sudah terbit sertifikat HGB yang luasnya sama dengan luas HPL seluas 31,2 hektare, bagaimana bisa diterima akal sehat," beber Anhar.
Jika dicerna secara logika, maka penerbitan HGB di atas HPL tersebut salah dan melawan hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri 1/1977 junto Permen Agraria/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
"Bisa dipastikan seorang pejabat pemerintah yang telah melakukan pelanggaran Hukum yang mengarah kepada penyalahgunaan jabatan berindikasi kuat memperkaya orang lain. Sanksi hukum pidananya sangat berat," tegas Anhar.