Jokowi Didukung 212?
Oleh: Dr Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Tidak ada yang mustahil dalam politik. Sekejab bisa berubah. Sesaat peta gampang bergeser. Yang semula dianggap tidak mungkin, ternyata terjadi. Yang awalnya sudah matang didesign, berubah juga. Itulah politik.
Jokowi vs kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi), itu fakta. Sejak demo 212, kelompok ini makin menunjukkan identitasnya. Konsolidasi dan gerilya perlawanan politik terus digalang. Pilkada serempak jadi ajang.
Demikian juga dengan para pendukung Jokowi. Sejumlah kiyai sepuh dikumpulkan, ormas-ormas didekati, partai-partai politik disiapkan, hingga pasukan cyber dikondisikan untuk menghadang perlawanan kelompok ABJ ini.
Sejumlah tindakan yang dikesankan represif menambah perseteruan kedua pihak. Bumbu-bumbu ideologi dan tafsir agama ikut menguatkan. Sempurna!
Tapi, dalam politik, tak ada kemutlakan. Kawan bisa jadi lawan, dan lawan mudah berubah jadi kawan. Hal biasa. Ini juga bisa terjadi di pengkubuan Jokowi vs kelompok ABJ.
Jika elektabilitas Jokowi stagnan, dan lawan yang muncul adalah tokoh yang elektabilitasnya mengancam, maka pilihan yang cerdas dan strategis bagi Jokowi adalah mengakuisisi tokoh dari kubu lawan untuk menjadi cawapresnya.
Saat ini, kekuatan politik terbelah ke dalam dua kubu yaitu koalisi penguasa dan koalisi oposisi. Dengan catatan Jokowi bisa berkompromi dengan PDIP. Jika tidak, maka akan muncul kubu ketiga yang dikomandoi PDIP. Meski ini menjadi langkah yang sulit bagi PDIP mengingat koalisi partai penguasa nyaris berada di tangan Jokowi. Terutama sejak Golkar dikuasai.
Jika posisi elektabilitas Jokowi tak bisa di-upgrade lagi, sementara elektabilitas pihak lawan yang notabene mendapat dukungan dari kelompok ABJ terus naik dan menjadi ancaman, maka strategi akusisi menjadi pilihan terbaik.
Jokowi bisa saja mengakuisisi Ahmad Heryawan atau Tuan Guru Bajang (TGB). Lebih dramatis lagi, jika Prabowo atau Sandiaga Uno yang dipinang. Mungkinkah? Tak ada yang tidak mungkin. Politik itu dinamis.
Akusisi ini tidak akan terlalu berarti jika Jokowi tidak sekaligus membawa gerbong ABJ. Gerbong ini kuncinya ada di Habib Rizieq. Diakui atau tidak, faktanya Rizieq saat ini pegang peranan umat karena konsistensinya dan keberanian menanggung risiko perjuangan untuk umat. Tanpa Habib Rizieq, akusisi tak banyak membantu suara. Sebaliknya, tokoh yang diakuisisi akan dianggap sebagai oportunis dan pengkhianat umat.
Upaya Jokowi dan tim bernego dengan Habib Rizieq selama ini gagal. Sejumlah petinggi negara yang kabarnya telah menemui Habib Rizieq di Makkah tidak berhasil membuat Rizieq pulang. Ini menunjukkan betapa peran dan kekuatan Rizieq disadari oleh penguasa dan tak bisa diremehkan.
Jika Jokowi bisa bernego dengan Rizieq dalam mengakuisisi tokoh umat, maka nyaris Jokowi tak punya lawan berarti di pilpres 2019. Kendati kinerja dan integritas Jokowi menuai banyak kritik. Terutama jika dikaitkan dengan komitmen janji, keberpihakan dan pertumbuhan ekonomi.
Potensi dan optimisme kemenangan melalui strategi akuisisi itu sangat besar bagi Jokowi dengan catatan Indonesia tidak dihajar krisis ekonomi di akhir tahun 2018 hingga awal 2019. Artinya, dalam situasi normal dan aman.
Jika saja Jokowi berhasil mendekati Rizieq, tentu akan ada syarat dan ketentuan berlaku. Kemungkinan diantara syarat itu adalah: pertama, terbit SP3. Kedua, rehabilitasi nama Rizieq. Ketiga, pasangan ini tidak lagi diusung PDIP. Keempat, Luhut Binsar Panjaitan dan seluruh krunya dikeluarkan dari istana, lalu diganti tokoh-tokoh yang merepresentasikan umat. Kelima, diadakan restrukturisasi jabatan-jabatan strategis seperti BIN, kepolisian dan kejaksaan. Sebab, semua unsur di ataslah yang dicurigai ikut meramaikan perseteruan Jokowi dengan kelompok ABJ dibawah asuhan Habib Rizieq.
Mahal sekali mahar Rizieq? Tentu. Ini hanya akan mungkin dilakukan Jokowi jika pertama, elektabilitas Jokowi betul-betul terancam oleh tokoh baru yang muncul (rising star). Kalkulasi politiknya Jokowi sulit menang. Kedua, Jokowi betul-betul bisa mengendalikan partai-partai koalisinya. Atau malah balik berkoalisi dengan partai-partai oposisi. Sebab, Gerindra-PKS punya kursi cukup untuk mengusung pasangan calon. Ketiga, konsolidasi partai oposisi yakni Gerindra dan PKS dengan kelompok ABJ, termasuk GNPF dan eksponen 212 melemah.
Langkah akusisi ini bagi Jokowi akan mampu men-downgrade "rising star" yang elektabilitasnya dianggap mengancam.
Jika kompromi Jokowi-Rizieq terjadi, maka besar kemungkinan eksponen 212 akan dukung Jokowi di pilpres 2019. Setidaknya pasukan 212 akan pecah dan berantakan. Langkah ini pasti akan menyulitkan kubu lawan. Siapapun tokoh yang jadi lawan itu. Dan ini sekaligus juga jadi kejutan politik di 2019. Sebab, peta politik akan berubah secara total. Dengan begitu, formasi kekuatan politik juga akan ikut berubah.
Jika koalisi Jokowi-Rizieq jadi kenyataan, Pilpres 2019 yang akan datang tidak lagi menjadi ajang kompetisi Jokowi vs ABJ (GNPF, eksponen 212 dan gerbong umat), tetapi akan menjadi pertarungan sengit antara petugas partai (Jokowi) melawan partainya sendiri, PDIP.
Lalu, dimana posisi partai oposisi? Partai oposisi punya tiga pilihan; pertama, bergabung dengan Jokowi yang sukses mendapat dukungan Rizieq. Kedua, masuk gerbong PDIP untuk melawan Jokowi dan kubu Rizieq. Ketiga, punya pasangan calon sendiri jika dianggap masih mampu untuk melawan.
Yang jelas, pasangan Jokowi dengan tokoh yang direkomendasikan Rizieq akan semakin menguat jika Jokowi mampu menggabungkan partai penguasa dan partai oposisi menjadi pengusungnya, menyisakan PDIP. Mungkinkah? Kita lihat nanti.
Jakarta, 29/1/2018