[PORTAL-ISLAM.ID] Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto disebut sebagai populis gadungan yang kekanak-kanakan. Hasto lewat pernyataan-pernyataan reaksionernya, sedang membawa PDIP ke dalam petualangan yang mempermalukan diri sendiri.
Demikian ditegaskan Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik menanggapi omongan Hasto yang mengaku PDIP sering menerima intervensi bahkan dari penguasa. Tapi kata Hasto,partainya tidak pernah mengeluh berbeda dengan ‘partai sebelah’.
Hasto juga mengaku sebelum menjadi partai berkuasa seperti sekarang, PDP pernah ditekan, diintimidasi, diintervensi dan dipecahbelah pada masa Orde Baru. Namun PDIP tidak pernah mengeluh.
Atas pernyataan itu, menurut Rachland, Hasto tidak membantah dugaan partainya bertanggung-jawab dalam opresi dan kriminalisasi yang bertubi-tubi terhadap Demokrat, kali ini dalam persiapan Pilkada di Kalimantan Timur. Hasto tanpa rasa malu, justru seperti mengamini praktek-praktek kotor yang lagi-lagi melibatkan polisi tersebut.
Jelas dia, Hasto benar, partainya pernah mengalami opresi di masa lalu yang berujung pada skandal perampasan kantor PDIP, 27 Juli 1996. Tapi upaya Hasto menggunakan sejarah opresi yang dialami PDIP di masa lalu untuk membenarkan opresi pada partai lain di masa kini adalah sesat dan keji.
“Hasto membuat kita teringat pada ideologi zionisme, yang menggunakan penderitaan bangsa Yahudi di masa lalu untuk membenarkan dan meminta dunia memaklumi opresi Israel terhadap bangsa Palestina,” ujar Rachland dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Januari 2018.
“Hasto sendiri mungkin perlu lebih dulu menjelaskan dimana ia berada saat skandal 27 Juli terjadi. Apakah ia berada bersama para aktivis partai, mahasiswa dan warga yang bahu membahu melawan serangan; ataukah asyik mengurusi karirnya sendiri di PT Rekayasa Industri?” lanjutnya.
Rachland mengungkapkan, menyebut PDIP menghadapi skandal 27 Juli dengan cara “menyatu dengan rakyat” adalah klaim kosong tidak berdasar. Diterangkannya, ketika itu adalah aktivis mahasiswa dan warga yang aktif mendekati elite PDIP, daripada sebaliknya. Elite PDIP saat itu lebih dekat dengan para Jenderal ABRI daripada dengan rakyat.
Lanjut dia, klaim itu juga menyakiti memori para korban karena semasa Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden, Mega justru menolak mengusut skandal itu demi membuat hukum tegak dan melayani tuntutan keadilan bagi para korban yang sebagian sampai hari ini tak diketahui nasibnya.
“Alih-alih mengusut, Mega justru mengangkat Jenderal yang diperintah Soeharto untuk mengomandani skandal 27 Juli menjadi Gubernur DKI Jakarta,” ujar Rachland.
Dengan demikian, tegas Rachland, Hasto adalah jurubicara yang buruk bagi politik Indonesia.
“Dan juga bagi PDIP, partai yang sebenarnya perlu lebih keras membuktikan komitmennya pada kebebasan demokratik dan penegakkan hukum, mengingat semasa Megawati Presiden, terjadi pembunuhan pada Munir dan Theys Eluay,” tutupnya.