Hilangnya Basis PKS Satu per Satu
Oleh: Erizal
Basis PKS hilang satu-satu. Di Jakarta, dari pemain menjadi penonton. Teriak penonton lebih keras daripada pemain, itu biasa. Apalagi menang. Lompat penonton bisa-bisa lebih tinggi. Malah penonton histeria, itu juga biasa. Pemain yang menang, penonton yang girang berhari-hari.
Semua orang tahu, yang membawa Anies-Sandi itu bukan Gerindra-PKS, tapi gelombang umat. Percuma saja, klaim sana, klaim sini. Suasana Jakarta, akan dibawa ke daerah-daerah. Bisa saja, asal ada konsistensi. Konsistensi itu benar yang tak terlihat. Kini, Anies-Sandi bikin Komite Pencegahan Korupsi (KPK), partai pengusung mau apa? Masih bisa berteriak, Akulah Pemenang!
Di Jawa Barat, dari nomor satu (gubernur) menjadi nomor dua (cawagub). Itupun nyaris hilang juga. Kursi lebih banyak (PKS 12 kursi, Gerindra 11 kursi), tapi tetap target hanya nomor dua. Bayang-bayang diukur, maklum sumber daya terbatas. Padahal, saat nomor satu dua periode lalu, sumber daya lebih terbatas. Malah, tak punya apa-apa.
Yang diambil, yang paling ringan. Kalau dalam tingkatan iman, hanya mengubah pakai hati, selemah-lemah iman. Bukan mencari keutamaan. Azimah. Mengubah pakai tangan, mencari kekuasaan. Itu terlalu ambisius. Tak ada keberkahan. Maka, rapatlah pagi-pagi, jangan begadang.
Wakil Ahmad Heryawan saja, Deddy Mizwar, dibuang. Padahal, sudah berjasa, tak neko-neko, dan selalu menuruti maunya PKS. Di tengah jalan, malah dibuang. Sudah itu, dibuat alasan aneh-aneh. Twitwar pula, di dunia maya. Yang dibuang siapa, yang berkali-kali minta maaf siapa?
Di Maluku Utara, petahana, kader sendiri, tak dicalonkan. Yang dicalonkan adiknya. Apa lebih hebat? Elektabilitasnya lebih tinggi? Bisa saja. Tapi, kakaknya petahana diambil oleh PDIP. Entahlah, apa langsung jadi kader PDIP? Yang jelas, tak ada cek kosong. Mana ada makan siang gratis.
Di PKS, apa ybs tak dipecat? Entahlah juga. Ada istilah orang hilang, kader hilang. Ya hilang begitu saja. Tak ada hitam-putih. Kalau nanti bertemu, ya bisa kembali. Kalau tidak, ya tidak apa-apa, hilang. Celakanya, kalau kakak-beradik, kalah. Kalau ini yang terjadi, tak hanya basis yang hilang, keluarga pun berantakan. Di tempat lain, keluarganya berantakan, juga masih dicalonkan.
Di Sumatera Utara, juga sebagai penonton. Gubernurnya ditangkap KPK, di bui sekarang. Sedikit-banyaknya, pasti berpengaruh. Mencalonkan kader sendiri, rasa-rasa akan dicibir pemilih. Terbayang wajah gubernur lama. Ada kader yang potensial, tapi sudah kalah sebelum bertanding.
Jangan salah, orang Melayu menyindirnya bisa kelewatan. Walau lewat pantun, tapi bisa menusuk ke jantung. Tapi yang diusung mantan Pangkostrad yang belum pensiun. Kabarnya, mau menjadi kader PKS pula. (Ternyata tidak. Hari ini pakai jas PKS, besoknya pakai jas Golkar, besoknya lagi pakai jas Nasdem).
Tapi anggap saja benar dulu, agar tak terlihat hilang semua. Seperti hilangnya Fahri Hamzah, dapatnya Dimyati Natakusumah (eks sekjen PPP pendukung Ahok). Satu kritikus Ahok, satunya lagi bermanis-manis dengan Ahok. Masih berani klaim PKS "otaknya" 212? Wong, jaket Dimyati langsung dikenakan petinggi PKS.
Tersisa, Sumatera Barat. Pilgub Sumatera Barat nanti tahun 2020. Masih lama. Tentu saja, Irwan Prayitno tak mau mengulang sejarah yang buruk. Tidak seperti Ahmad Heryawan yang tak mau balik sebagai Ketua DPW dan Ketua Pemenangan. Irwan bersedia, walau belum dilantik sampai sekarang. Masih ada waktu, agar tak semua basis PKS hilang dan mulai lagi dari titik nol.***