[PORTAL-ISLAM.ID] Pemprov DKI Jakarta meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut Hak Guna Bangunan di tiga pulau reklamasi (Pulau C,D, dan G).
Alasan Pemprov DKI sehubungan dengan penarikan dua rancangan perda tentang reklamasi (Rancangan Perda Tentang Tata Ruang Kawasan Startegis Pantai Utara Jakarta Dan Rancangan Perda Tentang Rencana Zonasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil), namun BPN menolak dengan alasan yang pada pokoknya penerbitan HGB sudah sesuai prosedur dan apabila HGB ditarik maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengembang.
BPN menyarankan untuk menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara apabila Pemprov DKI Jakarta keberatan atas penolakan tersebut.
Penerbitan HGB
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (Peraturan BPN No.9 Tahun 1999):
Syarat-Syarat Permohonan Hak Guna Bangunan:
Pasal 32
(1) ...
Pasal 33
(1) ...
(2) Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. ...
b. ...
c. ...
d. Rencana penggunaan tanah, dst...
Dalam konteks ini, HGB yang diterbitkan berada pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil c.q. pulau reklamasi, sehingga pemanfaatannya pun harus tunduk pada UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah di ubah dengan UU No.1 Tahun 2014. Arahan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) (vide, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (5) UU No.27 Tahun 2007).
Jadi, peruntukkan HGB tersebut harus merujuk kepada RZWP-3-K. Persoalannya saat ini, RZWP-3-K belum disahkan dan masih dikaji oleh Pemprov, lalu bagaimana cara menentukan rencana penggunaan tanah dalam permohonan penerbitan HGB sementara RZWP-3-K belum disahkan? Artinya penerbitan HGB terdapat masalah administratif c.q. prosedur (vide, Pasal 107 Peraturan BPN No.9 Tahun 1999). Ini yang menjadi dasar yuridis HGB bisa dibatalkan dibatalkan.
Pasal 64 UU No.30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas perintah Pengadilan.
Peraturan BPN No.9 Tahun 1999:
Pasal 105 ayat (1): Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.
Pasal 106:
(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
(2) Permohonan pembatalan hak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, BPN sesungguhnya berwenang untuk membatalkan HGB yang diterbitkannya. Apabila “ditelantarkan” seperti ini, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, bukan hanya pengembang, tapi juga masyarakat. Seharusnya BPN menangkap 'sinyal' itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum.
Penulis: A.Irmanputra Sidin
Ahli Hukum Tata Negara