[PORTAL-ISLAM.ID] Masih ingatkah Anda dengan film G30S PKI, film tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang menandai jatuhnya rezim Orde Lama? Pada salah satu scene dalam film karya Arifin C. Noer itu, terlihat antrian mengular puluhan orang yang ingin mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) guna kebutuhan rumah tangga. Sutradara ingin mengambarkan betapa peliknya kehidupan rakyat kala itu.
Kondisi serupa mulai terlihat di era sekarang. Kemerosotan ekonomi di bawah rezim Jokowi, membuat banyak rakyat sengsara. Salah satunya kelangkaan liquid petroleum gas (LPG) 3 kg yang membuat orang-orang kembali harus mengantri panjang saat membeli, seperti di zaman PKI.
Sebuah lembaga survei, Indonesia Development Monitoring (IDM), baru-baru ini merilis hasil kajiannya terhadap kepuasan para pelaku ekonomi pasar tradisional terhadap kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi. Hasilnya seperti yang diduga, lebih dari 77 persen responden mengaku kapok memilih Jokowi karena dianggap ingkar janji.
Saat kampanye dulu, Jokowi mengumbar seabrek janji, termasuk membangun ekonomi kerakyatan dan memprioritaskan pasar tradisional. Tapi apa daya, setelah terpilih menjadi pemimpin negeri, janji tinggal janji. Hanya sedikit yang diwujudkan karena banyak yang dilupakan.
Tiga tahun rezim berjalan, ekonomi terus mengalami kemerosotan. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, harga BBM mahal, dan tarif dasar listrik melonjak tajam. Utang negara membengkak dua kali lipat, tetapi hasilnya tak juga dirasakan rakyat.
Ibaratnya, uang banyak beredar masuk, namun hanya sedikit yang singgah ke kantong masyarakat. Sisanya entah lenyap ke mana. Kondisi ini yang membuat daya beli kian melemah. Bagaimana mau belanja, jika uang tak ada. Kalaupun ada, tak cukup buat banyak-banyak belanja.
Jokowi pernah membantah terkait soal daya beli masyarakat yang lemah. Ia berkilah, apa yang terjadi hanya perubahan pola belanja. Namun, banyak orang tak percaya, dan meyakini daya beli rakyat melemah benar adanya, karena banyak ritel yang tutup dan tak sedikit pula toko-toko yang gulung tikar.
Mantan Menko Maritim Rizal Ramli membenarkan hal itu. Menurutnya, isu melemahnya daya beli sulit terbantah. Salah satu indikator yang menguatkan asumsinya adalah karena konsumsi masyarakat yang terus menurun hingga di bawah 5 persen. Padahal dulu konsumsi itu selalu tumbuh di atas 5 persen.
Perubahan gaya belanja masyarakat yang beralih ke online juga tidak memberikan pengaruh besar terhadap pelemahan daya beli. Karena bisnis online itu hanya dua persen dari total transaksi retail. Tidak banyak mempengaruhi.
Cara rezim Jokowi mengelola sektor ekonomi sebenarnya sudah banyak dikritik orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya oleh majalah Forbes edisi 16 Agustus 2017. Majalah itu memuat artikel yang menyebut Jokowi telah salah dalam mendiagnosis persoalan ekonomi bangsa. Lantaran, bukan pemerataan pendapatan yang paling dibutuhkan bangsa ini, tetapi lebih pada bagaimana upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Forbes lalu menganalisis persoalan utama yang didera Indonesia, yang semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah, yakni kemiskinan, bukan kesenjangan. Karena itulah, pengentasan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi rakyat, adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini. Prioritas pemerintah harus lebih kepada menciptakan pemasukan yang banyak, bukan malah fokus mendistribusikan uang yang sedikit.
Kritikan itu dipicu oleh pernyataan Jokowi yang memeratakan harga BBM, sehingga warga Papua di pegunungan juga menikmati BBM dengan harga yang sama dengan masyarakat di Pulau Jawa. Pada titik tertentu, kesenjangan ekonomi yang terjadi di negeri ini memang menjadi persoalan. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, apa negara ini memiliki uang yang cukup untuk melakukan itu. Ingat, utang kita sudah semakin menumpuk.
Apalagi kenyataannya, klaim pemerataan itu juga tak pernah ada, karena banyak rakyat Papua mengeluh, harga BBM di daerah mereka tetap saja mahal seperti biasa. Harga merata hanya saat Jokowi tiba, setelah itu, kembali ke posisi semula.
Beginilah jika pemimpin lebih peduli dengan obsesi berkuasa dibanding mengurusi rakyatnya. Baru tiga tahun bertahta, ia sudah menunjukkan ambisi untuk memenangi periode kedua. Jokowi mungkin lupa, bad economics, bad politics. Penguasa yang gagal menangani ekonomi, jangan harap mendapat banyak dukungan politik dari rakyatnya. Jika kondisi ekonomi rakyat tak kunjung membaik hingga 2019, maka siap-siap saja mengemasi barang-barang untuk mudik pulang ke kampung halaman.
Penulis: Patrick Wilson