[PORTAL-ISLAM.ID] Dalam satu tweet pasca-putusan MK yang menolak permohonan Prof Euis Sunarti (dosen IPB) yang meminta agar pasal-pasal 284, 285, dan 292 KUHP bisa diperluas tafsirannya demi melindungi rakyat dari tindak kekerasan seksual dan perbuatan asusila, Prof Mahfud MD mengatakan bahwa MK bukan lembaga pembuat undang-undang. Jadi, tak tepat kalau masyarakat mengarahkan protes atau tuduhan buruk terhadap para hakim yang menolak permohonan itu.
Supaya tidak simpangsiur, saya coba sederhanakan apa-apa saja yang ditolak oleh MK. Tulisan ini terpaksa agak panjang, namun perlu Anda pahami supaya tidak muncul tudingan bahwa kita “asal jeplak”.
Pasal 284. Pasal ini mengandung ketentuan pidana untuk perbuatan zina oleh orang yang berstatus suami atau istri. Pemohon meminta agar pasal ini bisa digunakan untuk mempidanakan perzinaan di luar nikah. MK menolak perluasan pasal ini. Artinya, MK menolak pemberlakuan pidana terhadap orang yang kumpul kebo.
Pasal 285. Pasal ini mengandung ketentuan pidana untuk pemerkosaan oleh pria terhadap wanita di luar perkawinan. Pemohon meminta agar pasal ini berlaku juga untuk pemerkosaan oleh wanita terhadap pria dan dan pria terhadap pria. MK menolak permohonan ini.
Pasal 292. Pasal ini mengandung ketentuan pidana untuk pencabulan yang dilakukan oleh pria atau wanita dewasa terhadap sesama jenis yang masih anak-anak. Pemohon meminta agar batas usia dihilangkan. Artinya, MK menolak pemberlakuan hukum pidana terhadap pencabulan oleh sesama jenis yang telah dewasa. Karena itu, perbuatan cabul gay atau lesbian tidak bisa dijerat dengan pasal ini.
Mudah-mudahan jelas bagi Anda.
Baik. Prof Mahfud mengatakan, MK adalah lembaga penguji UU, bukan pembuat atau pengubah UU. Kita paham. Tetapi, apakah MK tidak pernah membuat putusan yang memperluas tafsiran atau makna suatu pasal? Sebuah sumber mengatakan pernah. Sayangnya, saya tidak punya cukup waktu untuk melakukan riset kilat tentang ini.
Katakanlah tidak pernah. Pertanyaan kita, apakah permohonan dari Prof Euis Sunarti itu bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum? Akal sehat kita akan menjawab bahwa permohonan untuk memperluas makna pasal-pasal tersebut sangat wajar dan sangat berkaitan erat dengan upaya pembinaan moral yang Pancasilais. Sangat menguntungkan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh sistem adat-istiadat masyarakat di mana pun juga.
Di atas itu semua, permohonan yang diajukan pemohon sangat kental terkait dengan perlindungan bagi anak-anak laki-laki maupun perempuan.
Tidakkah kita semua sepakat untuk meminimalkan perbuatan zina antara orang-orang yang tidak menikah? Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa dengan ancaman pidana apa pun, perzinaan akan tetap merajalela. Bisa jadi benar. Tetapi, apakah teori ini membuat kita pasrah sehingga kita akan mengatakan bahwa perluasan makna Pasal 284 akan sia-sia belaka? Apakah begini kira-kira jalan pikiran para hakim MK yang menolak permohonan itu?
Jika perluasan makna Pasal 285 “tidak begitu urgen” untuk dipertimbangkan, bagaimana dengan Pasal 292? Yaitu, pasal tentang perbuatan yang sangat tercela bagi masyarakat mana pun juga. Perbuatan seksual antara laki-laki dan laki atau antara perempuan dan perempuan.
Kalau kita tengok Pasal 292 lebih dekat lagi, maka permohonan Prof Euis Sunarti mewakili keprihatinan seluruh rakyat negara ini. Rakyat tidak menginginkan pesta-pesta gay atau lesbian seperti yang pernah digerebek selama ini. Perilaku gay dan lesbian jelas-jelas bertentangan dengan norma-norma sosial dan moralitas dalam standar mana pun juga di Indonesia ini.
Penolakan MK terhadap permintaan pemohon memunculkan banyak pertanyaan. Berbagai pertanyaan itu antara lain adalah apa yang ditakutkan oleh MK? MK takut pada prinsip HAM internasional? Takut pada tekanan kelompok yang punya nafsu menyimpang? Tampaknya berlebihan. HAM yang Pancasilais, HAM yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Kemudian, kelompok yang punya nafsu menyimpang belumlah berjumlah seperti proporsi antara rombongan kecil Nabi Luth vs jumlah besar kaum sejenis di zaman itu.
Kita juga bertanya-tanya, untuk siapa gerangan MK hadir dan bekerja? Untuk rakyat waras atau untuk kaum LGBT yang bangga dengan penyimpangan perilaku mereka? Pemahaman sederhana mengatakan bahwa MK dibuat untuk kepentingan rakyat waras yang jumlahnya, saya yakin, mencapai 99 persen.
Sulit dipahami mengapa MK memilih risiko berhadapan dengan 99 ketimbang yang 1 persen. Putusan yang menolak permohonan Prof Euis Sunarti disambut oleh kaum LGBT sebagai kemenangan mereka. Klaim ini sangat berbahaya.
Sebab, situasi begini akan memunculkan pertanyaan berikutnya, yaitu MK pilih yang mana: diklaim oleh LGBT bekerja untuk mereka atau diklaim oleh rakyat bekerja untuk rakyat?
Penulis: Asyari Usman