Oleh Mohamad Radytio
Partai Gerindra, PKS dan PAN secara resmi menetapkan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Sudrajat sebagai calon gubernur Jawa Barat dengan wakil walikota Bekasi Ahmad Syaikhu sebagai pendampingnya.
Sebagai seorang alumnus 212, melihat penetapan kemarin saya kembali bernostalgia dengan apa yang terjadi pada pilgub DKI. Bagaimana tidak, calon yang diusung Gerindra-PKS pada pilgub DKI adalah Anies Baswedan yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut dalan bursa pencalonan pilgub DKI. Secara kalkulasi partai, Anies juga kalah dengan Basuki yang diusung gajah-gajah politik (PDIP dan Golkar) dan Agus "putra mahkota" dan penerus SBY.
Terpikir saat itu, apa yang bisa “dijual” dari seorang Anies Baswedan? Tapi saat kampanye pilgub DKI berlangsung, Anies mampu menarik hati pemilih dengan menjual visi dan misi, dengan doa para ulama serta ditopang segudang prestasi dan mesin partai Gerindra-PKS yang lebih tangguh dari perkiraan siapapun. Hasilnya, pilgub DKI yang menjadi salah satu indikator Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi Gerindra, PKS dan PAN ini. Hal serupa terjadi di Jawa Barat.
Sudrajat adalah pensiunan tentara yang namanya baru melejit lagi. Menilik kekuatan partai, Sudrajat punya Gerindra dan PAN yang populer serta PKS yang militan. Ia akan berhadapan dengan petahana dan para calon yang diusung gajah-gajah politik di Jawa Barat seperti Golkar, PDIP dan Demokrat. Untuk menang, penerimaan dan persepsi masyarakat sangat vital. Lalu, siapakah Sudrajat?
Melihat rekam jejaknya, Sudrajat adalah Kepala Pusat penerangan dan staf ahli panglima TNI di era kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gusdur). Sebagai seseorang yang dilantik pada jabatan vital di era reformasi, sudah terlihat kecerdasan dan keberanian seorang Sudrajat. Ia berselisih paham dengan Pangdam Wirabuana saat itu Mayjen Agus Wirahadikusumah mengenai pengurangan jumlah Komando Daerah Militer (KODAM). Dengan berani, ia juga berselisih pendapat dengan Gus Dur akibat penafsiran Gus Dur atas UUD 1945 dalam kaitannya dengan Angkatan Bersenjata. Ada yang melihat kritikan seorang tentara pada presidennya sebagai bentuk pembangkangan, tapi saya melihat Ia menentang usulan Agus dan pendapat GusDur tersebut karena ia paham itu bertentangan dengan etika dan kepentingan strategis nasional Indonesia. Meski akhirnya dicopot, tapi kemudian ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, sebuah posisi vital di Kementerian Pertahanan. Ini salah satu bentuk apresiasi bagi Sudrajat yang disaat genting pasca reformasi dan lepasnya Timor-Timur mampu melihat bagaimana Kodam-Kodam di Indonesia tak boleh dilemahkan demi menjaga keutuhan NKRI yang saat itu sedang rapuh. Bila menyangkut kepentingan negerinya, Sudrajat tak segan bertindak.
Sudrajat juga bukan orang yang “hijau” dalam politik. Pasca pensiun, ia ditugaskan sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Rakyat Cina, menjabat selama 4 tahun hingga 2009.
Dalam portofolio seorang Duta Besar, ia ditugaskan untuk merundingkan masalah-masalah yang dihadapi kedua negara mulai soal pencatatan sipil, pariwisata, perdagangan hingga hubungan antarpemerintah kedua negara. Ia pun mempelajari cara kerja, tabiat, adat-istiadat hingga menganalisa sosial-politik negara tempat bertugas.
Dari berbagai wawancara yang beliau lakukan dengan media di masa lalu, saya melihat Sudrajat sudah mampu “membaca” cara negeri China bergerak. Dulu, ia berhasil menavigasikan isu hubungan dagang Indonesia-Taiwan serta sengketa ekspor-impor antara Indonesia – China dengan baik. Kepentingan dagang Indonesia terjaga. Ia paham bahwa keberhasilan Cina terkait kemajuan pendidikan, bahkan ia sempat menyerukan untuk “belajar” dari Partai Komunis Cina soal soliditas internal. Bila ada yang kemudian berpikir "apakah ia antek China?" maka disini-lah kecerdasan Prabowo.
Dulu, Anies Baswedan selain terkenal cerdas dan cemerlang juga terkenal condong ke arah Islam liberal. Saat Prabowo, melalui Gerindra-PKS mengusung Anies sebagai calon gubernur, banyak yang bertanya “ia seorang liberal kan?” serta banyak yang yakin ia adalah “mata-mata” istana. Tapi sekarang kita melihat bagaimana kepemimpinan Anies di DKI membawa pencerahan, serta bagaimana “istana” dan pendukungnya memberi banyak rintangan pada Anies.
Di sinilah kita melihat kualitas seorang Prabowo, ia pandai menilai mana prajurit lawan yang punya potensi besar dan “mengubah” prajurit lawan ini menjadi letnan-nya yang setia.
Begitu pula sekarang, Prabowo ubah seorang yang pernah menjadi bawahan Gus Dur, Megawati dan SBY menjadi letnan-nya. Prabowo berhasil menawarkan kepada Jawa Barat seorang yang mempunyai kombinasi jenderal patriot sekaligus mantan Duta Besar, pertama kalinya dalam sejarah Indonesia. Apalagi, di tengah gempuran Aseng negatif di BanJaBar (Banten-Jakarta-Jawa Barat) khususnya mengenai isu Meikarta dan pengembangan koridor Jakarta-Cirebon (Pantura), kita butuh orang yang mumpuni, paham medan pertempuran (via a vis China) dengan baik.
Dalam pidato pencalonannya ditengah para Habaib dan Ulama Jawa Barat, Sudrajat berujar “Mungkin kita harus review kenapa di tengah-tengah Jawa Barat ini ada nama yang kayaknya asing daripada istilah-istilah Jawa Barat. Ini harus bisa kita review kembali," sembari berjanji lanjut-tidaknya Meikarta bergantung pada analisa dampaknya bagi Jawa Barat.
Apa maksudnya? Sebagai seorang CEO perusahaan penerbangan dan orang yang paham pergerakan China, Sudrajat mengambil pendekatan diplomatis; ia tidak anti bisnis, tapi rakyat Jawa Barat-lah yang harus menerima manfaatnya. Kita tahu bahwa Meikarta sekarang tidak seperti itu.
Itulah mengapa sering disebut dengan kapasitasnya, Sudrajat lebih pas dalam pentas nasional. Apalagi, dalam pilpres 2019 Prabowo yang tidak disukai baik oleh Amerika maupun China butuh ahli strategis dalam tim kampanyenya. Tapi Prabowo tidak egois, ia paham bahwa rakyat Jawa Barat pantas mendapatkan yang terbaik.
Sekarang, tugas partai, tim dan relawan pengusung-lah dalam melancarkan jalan patriot Parahyangan ini untuk menjadi pelayan urang Sunda.***