[PORTAL-ISLAM.ID] Terdapat 3 hal yang menonjol Pasca Pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Kegiataan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara;
1.Perubahan Divestasi Saham menjadi sebesar 51 % yang wajib dibayarkan perusahaan kepada Pemerintah Indonesia.
2.Pembangunan Smelter guna pemurnian basil dalam negeri.
3.Kewajiban untuk merubah Kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Berdasarkan ketiga point tersebut diatas, telah terjadi tarik-ulur atau perundingan antara Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia yang tidak kunjung usai, dampak
dari hal tersebut mengakibatkan perusahaan mengklaim perlu menempuh langkah-langkah efisiensi biaya. Atas dasar klaim tersebut, dan pada 20 Februari 2017 PT Freeport Indonesia mengeluarkan kebijakan strategis berupa program efisiensi ‘Furlough’ dengan dalih lebih jauh bahwa Perusahaan merugi akibat tidak dapat menjual hasil konsentrat. Namun demikian, pernyataan bahwa perusahaan merugi tidak dapat dibuktikan, bahkan hingga saat ini PT Freeport masih dapat menjual hasil produksi mereka. Dengan kata lain tidak klaim PT Freeport Indonesia tidak terbukti.
Berikut adalah fakta-fakta yang masuk kategori pelanggaran Hukum dan HAM yang terjadi akibat tindakan dari PT Freeport Indonesia :
I. Merumahkan Karyawan (Furlough)
1.Bahwa pada tanggal 26 Februari 2017, PTFI mengeluarkan keputusan sepihak tanpa melalui perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja atau wakil pekerja untuk program furlough/merumahkan karyawan ke tempat asalnya.
2.Bahwa Manajemen PTFI dalam membuat keputusan dan melaksanakan program furlough tidak disertai dengan ukuran atau indikator karyawan yang bisa terkena kebijakan tersebut.
3.Bahwa manajemen PTFI beralasan furlough merupakan kebijakan strategis yang tidak perlu dirundingkan dengan para pekerja maupun serikat pekerja.
4.Perusahaan tidak membuktikan bentuk kerugian sebagai dasar untuk melakukan efisiensi atau pengambilan kebijakan Furlough.
5.Bahwa kebijakan furlough tidak disertai dengan kejelasan atau informasi soal berapa lama akan kembali bekerja.
6.Bahwa, oleh karenanya, sehubungan dengan poin 4 diatas, tindakan merumahkan diduga kuat merupakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terselubung, sebelum adanya PHK
yang sebenarnya karena tidak ada jaminan kepastian kembali bekerja.
7.Bahwa perusahaan melakukan perekrutan karyawan, beberapa bulan setelah kebijakan efisiensi. Hal ini menandakan bahwa perusahaan tetap memerlukan karyawan.
8.Banyak dari Karyawan yang dikenakan Furlough adalah aktivis atau pengurus Serikat Pekerja di PT FI. Hal ini bsai dilihat sebagai Union Busting, pemberangusan
organisasi atau serikat karyawan.
9.Adanya tindakan kekerasan dengan pembongkaran secara paksa barak karyawan oleh sekuriti PTFI dengan pengawalan penuh dari kepolisian yang menyebabkan keresahan
mendalam bagi karyawan PTFI.
10.Bahwa sampai dengan saat ini, permintaan berunding oleh Serikat Pekerja PTFI mengenai “Furlough/Merumahkan” ditolak oleh perusahaan PT Freeport Indonesia,
terhitung permintaan tersebut sudah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pada tanggal 20 Februari 2017 dengan Nomor Surat : ADV.015/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017, 11
Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/025/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017, dan pada tanggal 21 Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/027/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017.
Pada intinya PTFI tidak ingin melakukan dan menolak perundingan, PTFI hanya melakukan sosialisasi terkait update status kondisi perusahaan.
11.Bahwa perlu diketahui dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan atau PKB/PHI 2015-2017 tidak mengatur atau menjelaskan secara terang apa yang dimaksud mengenai
furlough.
II.Program Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela (PPHKS)
● Bahwa PPHKS didasarkan kepada kebijakan efisiensi biaya oleh PT Freeport Indonesia akibat dari disahkannya PP No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP
No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Mineral dan Batu Bara.
● Bahwa berdasarkan pada fakta hukum tanggal 13 Maret 2017 dalam Interoffice Memorandum Manajemen PTFI telah dilakukan Penawaran PPHKS bagi Pekerja Level 1-6 atau
bisa juga disebut dengan Karyawan Pratama yang sedang menjalankan program Furlough dengan pernyataan tidak ada program dan lebih memastikan untuk kesejahteraan
para karyawan kedepannya. Lebih jauh, pihak Manajemen PTFI dalam pelaksanaan program ini tidak mau merundingkan dengan serikat pekerja/serikat buruh guna mencapai
kesepakatan.
● Bahwa PTFI melakukan pemaksaan dengan menawarkan secara berkala dan terus menerus yang mendesak para karyawan PTFI untuk mengikuti PPHKS, hal ini bertentangan
dengan prinsip sukarela, dimana seharusnya ditawarkan dalam pelaksanaan PPHKS, atas dasar keinginan para karyawan itu sendiri.
● Bahwa ancaman PT FI , bisa dilihat dalam Interoffice Memorandum Manajement PTFI, pada 23 April 2017, terkait dengan PPHKS dinyatakan “Perusahaan tidak memiliki
rencana untuk memanggil kembali para karyawan yang sedang menjalani program furlough, kami terus menganjurkan para karyawan yang terkena program furlough untuk
mempertimbangkan dengan seksama dan berpartisipasi dalam PPHKS”
● Bahwa didasarkan dengan fakta yang terjadi diatas, PT Freeport Indonesia telah terbukti secara nyata tidak melakukan dengan sungguh-sungguh upaya minimalisasi
pengurangan tenaga kerja sebagaimana yang tercantum dalam pasal 45 PKB XIX PTFI tentang Pemutusan Hubungan Kerja,
“Perusahaan dan PUK SPKEP SPSI PTFI sepakat bahwa Pemutusan Hubungan Kerja sedapat mungkin harus dicegah apabila PHK tidak dapat dielakan maka untuk ketentraman
dan kepastian kerja bagi pekerja kedua belah pihak sepakat bahwa tata cara PHK diatur dalam pasal-pasal berikut ini…”
● Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas jelas terlihat adanya tindakan perusahaan yang sewenang-wenang berupa pemaksaan terhadap para karyawan untuk mengikuti
PPHKS agar terhindar dari Perselisihan Hubungan Industrial antara Perusahaan dan Serikat Pekerja dan terbukti PTFI memiliki itidak tidak baik untuk memperkejakan
kembali karyawan-karyawannya yang sedang dilanda perasaan tertekan atas tidak ada jaminan yang pasti untuk dapat bekerja secara normal.
III.Unjuk Rasa yang berujung PHK sepihak
● Bahwa pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 mengenai Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan “Kemerdekaan menyampaikan pendapat
adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
● Bahwa pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan juga “ Setiap Orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
● Bahwa pada tanggal 12 April 2017, ribuan pekerja PT Freeort Indonesia turun ke Timika secara bertahap dan spontan karena dilanda keresahan akibat program
Furlough dan sebagian dari pekerja yang turun juga dikarenakan bertepatan dengan hari liburnya serta para pekerja yang tidak puas dengan sikap PT FI yang
menyatakan menolak perundingan atas penghentian program Furlough antara Manajemen PT Freeport Indonesia dengan Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia.
● Bahwa berdasarkan ketentuan isi pasal diatas serta dikaitkan dengan fakta hukum yang terjadi, aksi spontanitas yang dilakukan oleh para pekerja PT Freeport
Indonesia tergolong sebagai aksi untuk penyampaian aspirasi para pekerja dikarenakan adanya tindakan pelanggaran yang mencenderai dan direnggut secara paksa hak-
hak asasi para karyawan.
● Bahwa dikarenakan aksi yang dilakukan oleh para pekerja PT Freeport Indonesia, akhirnya PT Freeport Indonesia memanfaatkan situasi dengan memutus hubungan kerja
secara sepihak karena dianggap telah mangkir dari pekerjaan dan hal tersebut bertentangan dengan isi PKB antara pekerja dengan perusahaan dan Undang-Undang
Ketenagakerjaan .
IV. Fakta mengenai MOGOK KERJA yang berujung PHK sepihak
● Bahwa ketentuan mengenai hak bagi para pekerja untuk melakukan Mogok Kerja tertuang pada Pasal 137 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Mogok
Kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat butuh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”
● Bahwa gagalnya perundingan yang dimaksud dapat merujuk kepada Pasal 4 KEPMEN No. 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah yang menyatakan
“Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang
dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2
(dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak
dalam risalah perundingan.
● Bahwa didalam pasal 139, 140 dan 142 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur pula mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan Mogok Kerja untuk dikatakan sah menurut hukum.
● Bahwa berdasarkan pada fakta yang ada, aksi mogok kerja yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia sudah tergolong kepada aksi mogok kerja yang
memenuhi syarat diatas, dan untuk itu sah menurut hukum, hal tersebut terlihat dari :
1. Serikat Pekerja PTFI sudah menyurati sebanyak tiga kali terhitung mulai dari bulan Februari tentang ajakan perundingan mengenai kebijakan furlough yang
dikeluarkan oleh perusahaan akan tetapi perusahaan tidak pernah menanggapi perundingan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan
strategis yang tidak memerlukan perundingan–sebagaimana disebutkan diatas, pada bagian I. Furlough, PT FI tidak pernah membuktikan apa yang dimaksud dengan
Kebijakan Strategis? Tidak bisa membuktikan secara riil (dalam hitungan angka) bentuk kerugiannya.
2. Pemberitahuan mengenai Mogok Kerja sudah dilakukan terhitung dari 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja dilaksanakan, Serikat pekerja PTFI
sudah
a) Menyurati manajemen PTFI dengan memuat waktu dan tempat mogok kerja dilakukan
b) Beserta alasan dan sebab mogok kerja dilaksanakan
c) Serta sudah ditanda tangani ketua dan sekretaris sebagai penanggung jawab mogok kerja yang akan dilaksanakan
3. Bahwa Syarat diatas, unsur a-c, sudah sesuai dengan pasal 140 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memuat mengenai syarat-syarat sah
Mogok Kerja yang antara lain diwajibkan untuk : 1) Memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari sebelum mogok kerja; 2) Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat waktu, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab
melakukan mogok kerja dan tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
● Bahwa atas prosedur tersebut, PT FI hanya bersikeras bahwa Kebijakan Strategis mereka tidak bisa dirundingkan.
● Bahwa selama dilaksanakannya mogok kerja, perusahaan menindak dengan memutus hubungan kerja secara sepihak kepada para pekerja yang ikut berpartisipasi dalam
mogok kerja karena dianggap mangkir selama 5 (lima) hari dan tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang perusahaan yang sangat bertentangan dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
V. Fakta mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
● Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Pasal 5
Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Soial Nasional adalah Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan memiliki tugas
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
● Bahwa sejak terjadinya Mogok kerja pada tanggal 1 MEI 2017 yang dikategorikan mangkir oleh perusahaan, PTFI melakukan pelanggaran dengan langsung menon-aktifkan
akses kepersetaan BPJS dan menutup semua akun rekening bank yang dimiliki para karyawan yang bisa digunakan untuk menerima deposit gaji dari Bank setiap bulannya.
Perlu diketahui bahwa dalam rekening tersebut, banyak karyawan, yang menggunakannya sebagai rekening tabungan, bukan sekedar gaji.
● Bahwa diperkirakan penonaktifan dilakukan sejak tanggal 8 Mei 2017, setelah salah seorang karyawan gagal mengakses untuk kebutuhan kesehatan istrinya.
● Bahwa terkait dengan kegagalan akses kesehatan BPJS, hal ini dinyatakan melalui surat yang ditandatangani oleh Juresco Estensoro Sihasale, Manager, Compensation
& Benefit Management PT FI, tertanggal 15 Mei 2017 yang ditujukan kepada Mathias Krey, Kapela BPJS Kesehatan Cabang Jayapura (nomor surat 40/CBM/GEN/VI/2017,
perihal Pengunduran Diri Pekerja. Surat ini adalah surat pengantar atas nama-nama yang mengundurkan diri dari program BPJS dan meminta BPJS mengeluarkan dari
daftar tagihan bulan Juni 2017. Dapat disimpulkan bahwa, pertama, Juresco, mengatasnamakan para karyawan. Kedua, bahwa PT FI dan BPJS Jayapura, menolak memastikan
jaminan hak BPJS 6 bulan paska tidak bekerja—versi PT FI, atau menolak membayar BPJS padahal karyawan masih mogok—versi Karyawan. Apapun pilihan versinya, PT FI
dan BPJS terbukti bersalah.
● Pada tanggal 19 Juli 2017, DJSN bersama sama dengan perwakilan perusahaan, perwakilan BPJS, Disnaker dan perwakilan para pekerja mengadakan pertemuan terkait
permasalahan BPJS yang dialami para pekerja.
● Tanggal 31 Agustus 2017, DJSN mengeluarkan surat perihal pengaktifan pelayanan JKN untuk PPU dari PTFI kepada Direktur Utama BPJS
● Bahwa dikarenakan terjadi pemblokiran akses layanan kesehatan terdapat 7 Karyawan meninggal dunia
● Bahwa karyawan sudah seharusnya tetap mendapatkan hak mereka terutama hak atas jaminan kesehatan yang dilindungi oleh Peraturan Perundang-undangan seperti yang
tertuang sesuai pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan, “Kepesertaan jaminan kesehatan tetap
berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja”.
● Berdasarkan ketentuan isi pasal diatas, BPJS yang memiliki fungsi mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial seharusnya tidak secara spontan
menon-aktifkan akses kesehatan para karyawan. dikarenakan secara prosedural. jaminan kesehatan para karyawan masih dapat di akses.
VI. Fakta adanya Kekerasan dan Intervensi Tentara dan Polisi
● Adaya tindakan sewenang-wenang dengan memanfaatkan sarana/tempat kegiatan ibadah (mushola/masjid) sebagai tempat untuk mengumumkan berita mengenai program
Furlough dan PPHKS PT FI.
● Terhitung sejak 05 mei 2017, polisi terlibat dalam mengamankan dan mendampingi pihak Keamanan dan pihak Manajemen PTFI untuk mengusir dan mengeluarkan barang-
barang para pekerja dari kamar barak mereka secara paksa.
● Pada hari Sabtu, 19 Agustus 2017, Pukul 15.00 WIT para Karyawan mulai menduduki Check Point (CP) 28. Pada Pukul 18.00 WIT adzan berkumandang dan para karyawan
mulai menggelar kegiatan Sholat Mahrib, dan Zikir bersama-sama di CP 28. Bahwa sekitar jam 19.00 WIT para karyawan yang sedang melakukan ibadah dan doa bersama
dibubarkan secara paksa dengan melakukan tembakan Peringatan ke Udara dan tembakan water Canon kearah Pekerja serta disusul dengan rentetan tembakan menggunakan
senapan api ke arah para karyawan yang menimbulkan 4 orang menjadi korban dengan mengalami luka-luka berat.
● Bahwa akibat dari aksi tersebut, pada 19 hingga 23 Agustus 2017 pihak Polres Mimika Baru menangkap dan menahan 9 orang pekerja yang dianggap melanggar
ketertiban umum tanpa adanya bukti dan proses hukum yang jelas. Pada akhirnya terhadap 2 dari 9 orang tersebut berkasnya sudah dilimpahkan ke tahap penuntutan
oleh kejaksaan dan sudah dimulai proses persidangan terhadap ke 2 orang tersebut. Sementara sisa 7 orang lagi masih ditahan tanpa adanya kejelasan dari pihak
kepolisian terkait status dan proses hukum yang mereka hadapi. Dua orang dari 7 orang yang masih ditahan mengalami pengisolasian oleh pihak Kepolisian, tidak
diberikan izin untuk menerima kunjungan dari siapapun termasuk pihak keluaraga. Berikut ialah data singkat terkait 9 orang yang ditahan :
1.Nama : John yawang
Tempat tanggal lahir : Jayapura, 24-11-1980
No. Id :F901811
Departemen :PT. Kpi Rood Maintenance HI/LI
Kronologi :Kena tembakan di ibu jari kaki, mendapatkan 3 jahitan dan ditetapkan sebagai tersangka (ditahan di Polsek Kuala Kencana
Terisolasi
2.Nama :Steven Edward Yawan
Tempat tanggal lahir :Jayapura, 24-02-1987
Pekerjaan :Karyawan PT. Freeport indonesia
Departemen :Hauling Grs Maintenance
Status :Tersangka ( penahanan di Polsek Kuala Kencana Terisolasi)
3.Nama : Lukman
Tempat tanggal lahir : 37 tahun
Departemen : PT Freeport Indonesia
Status : Terdakwa, tanggal 05 Desember 2017 tahap pemanggilan saksi di pesidangan di PN Timika
4.Nama : Patriot Wona
Tempat tanggal lahir :Jayapura, 14-08-1983
Perusahaan :PT. Kuala Pelabuhan indonesia
Status : tersangka, tahanan di Polres Mimika Baru
5.Nama : Deny Baker Purba
Tempat tanggal lahir : Medan 02 April 1974
Perusahaan : PT. Mahaka Plant
Status : Tersangka
6.Nama :Arnon Mirino
Tempat tanggal lahir : Timika, 02 Agustus 1990
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia
Status : Tersangka di Polres Mimika Baru
7.Nama :Napoleon Korwa
Tempat tanggal lahir :Biak-30-11-1979
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia/Grasberg Operation
Status : Terdakwa, tanggal 07 Desember 2017 sidang dakwaan di PN Timika
8.Nama :Labai alias. Zaki
Tempat tanggal lahir :Ambon, 28 Januari 1974
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia
Status : Tersangka di Polres Mimika Baru
9.Nama :George Suebu
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia/ Ore Flow
Status : Tersangka
Kronologi penangkapan : Proses penagkapan terjadi dirumahnya pada malam hari tanggal 22 Agustus 2017
● Bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, siapapun yang menghalang-halangin kegiatan beribadah melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 29 ayat (2)
mengatur, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal
ini diperkuat kembali berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 4 menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
Oleh karena itu, aparat keamanan yang memiliki fungsi penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat telah melakukan penyimpangan dan
pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi. Sebaliknya dalam kenyataannya diatas, aparat keamanan secara sewenang-wenang membuat
tindakan tidak brutal dengan membubarkan secara paksa saat sekumpulan orang melakukan kegiatan ibadah.
● Pada tanggal 27 sampai 30 April 2017, diadakan pertemuan antara manajemen PTFI dan serikat pekerja yang difasilitasi oleh Pemerintah Mimika dalam hal ini oleh
Wakil Bupati Mimika. Dalam perundingan tersebut, polisi secara terang dan jelas memihak kepada PTFI dengan cara melakukan intimidasi oral kepada para
pekerja/perwakilan serikat pekerja dengan cara tidak membolehkan para pekerja beristirahat ataupun pulang sampai tercapainya hasil kesepakatan di pertemuan
tersebut.
VII. Fakta mengenai Kejahatan dan Pelanggaran tanpa hukum
● Bahwa yang dimaksud dengan kejahatan atau Pelanggaran tanpa hukum adalah telah adanya pengaduan dan laporan dari Karyawan, Keluarganya dan Serikat, terhadap
beberapa Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab terkait pelanggaran penyelisihan hak-hak asasi para karyawan namun tidak ada tanggapan atau tindakan secara
tegas yang menunjukkan keseriusan mengatasi semua permasalahan para karyawan.
● Sejak mulai diberlakukan Program Furlough pada tanggal 26 Februari 2017, para karyawan telah berkirim surat dengan No. ADV.019/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017
kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Menaker RI) perihal keprihatinan permohonan bantuan terhadap tindakan sepihak yang dilakukan oleh
PTFI namun Menaker tidak merespon dan segera menanggapi aduan yang telah diberikan.
● Selain mengirim surat ke Menaker RI, para karyawan telah berkirim surat 2 (dua) kali pada Tanggal 21 Juli 2017 terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi
dan Perumahan Rakyat Kab. Mimika (Disnaker Mimika) dengan No. ORG.106/PUK SPKEP SPSI PTFI/VII/2017 perihal permasalahan penok-aktifan akses kepesertaan BPJS yang
dilakukan secara spontan oleh PTFI terhadap para karyawannya, dan surat kedua dengan No. ORG.107/PUK SPKEP SPSI PTFI/VII/2017 perihal mogok kerja sah yang
dikategorikan mangkir oleh PTFI. Kepala Dinas diatas, menjawab melalui surat tanggapan No. 560/800/2017 pada 28 Agustus 2017 dengan memberikan 3 (tiga) pendapat
yaitu:
1. Bahwa definisi Furlough tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
2. Akan menugaskan Pegawai Pengawas untuk melakukan pemeriksan ketenagakerjaan khusus ke PTFI dan meminta bukti-bukti dari manajemen PTFI.
3. THR BPJS dan lain-lain terkait karyawan yang mogok menunggu hasil dari Pemeriksaan Ketenagakerjaan Khusus.
● berdasarkan surat tanggapan tersebut dan dipertegas kembali dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. 43 Tahun 2017 tentang Tim Pemantau dan
Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan di PTFI memutuskan beberapa hal, diringkas sebagai berikut :
1. Membentuk Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan di PTFI.
2. Maksud dan tujuan membentuk Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjan untuk menciptakan kondisi hubungan yang kondusif dan mengantisipasi
serta mencegah timbulnya permasalahan ketenagakerjan.
Berdasarkan kedua point diatas, apa yang dimaksud Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan/Tim Khusus sama sekali tidak ada hasil atau kemajuan
untuk memenuhi persoalan ketanagakerjaan dalam bahan ini; Tim Khusus secara berbulan-bulan tidak menjalakan tugasnya untuk mencegah atau mengantisipasi masalah
ketenagakerjaan, tidak berkomunikasi secara aktif dan rutin kepada para karyawan.
● Disamping itu, setelah meminta permohonan dan bantuan kepada Dinas dan Menteri Tenaga Kerja. Para Karyawan juga meminta bantuan terhadap Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas Ham RI). Namun tidak ada tindakan secara nyata dan tegas yang membuktikan keseriusan untuk menyelesaikan permasalahan
yang dialami para karyawan PTFI. Komnas HAM hanya mengeluarkan rekomendasi pemenuhan hak karyawan oleh PT FI.
● Bahwa terkait penonaktifan BPJS, dan meminta bantuan terhadap Dewan Jaminan Soial Nasional (DJSN) dimana disini DJSN berkirim surat pada tanggal 31 Agustus 2017
kepada Preiden Republik Indonesia dengan No. 840/DJSN/VIII/2017 pengaktifan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari PTFI dengan isi surat yang diringkas
sebagai berikut:
Menindaklanjuti hasil rapat pleno DJSN tanggal 15 Agustus 2017 adanya laporan aduan penokatifan pelayanan JKN PPU dari PTFI tanggal 24 Mei 2017, maka
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. DJSN telah melakukan penanganan laporan aduan.
2. berdasarkan penonaktifan pelayanan JKN pada tanggal 24 Mei 2017 terhadap Sdr. Ama Nurjaman Houbrow dan kurang lebih 4000 orang PPU PTFI dan kurang
lebih 9000 orang lainnya melanggar 3 (tiga) azas SJSN: Azas Kemanusiaan, Azas Keadilan dan Azas Kemanfaatan.
3. BPJS Kesehatan telah lalai mencegah terjadinya pelakuan diskriminatif terhadap Sdr. Ama Nurjaman Houbrow karena seharusnya status akses kesehataanya
masih aktif.
● Bahwa berdasarkan beberapa uraian diatas, kami menyakini bahwa Instansi Pemerintah dan Negara tidak bisa mengambil tindakan atau keputusan untuk
menuntaskan dan mengatasi perselisihan hak karyawan PTFI yang semakin berlarut-larut.
VIII. Fakta mengenai adanya Penghilang Orang Secara Paksa Oleh Oknum Yang Tidak Bertanggung Jawab.
● Martinus Beanal, seorang pekerja Papua telah menghilang sejak 7 November di tengah dugaan meningkatnya bentrokan bersenjata di desa Utikini, Kabupaten
Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Polisi telah mengumumkan bahwa dia telah meninggal dan dikuburkan oleh keluarganya, sebuah klaim yang telah
dibantah oleh keluarganya. Keberadaannya hingga saat ini masih belum diketahui.
● Tanggal 7 November Martinus Beanal dinyatakan hilang dalam perjalanan saat pagi hari Ia berangkat dari kompleks perusahaan di Kabupaten Tembagapura ke
desanya di desa Opitawak, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua pada pukul 5 pagi. Menurut keluarganya, Martinus mengatakan bahwa ia dihentikan oleh angkatan
bersenjata yang melarangnya lewat karena operasi militer dan polisi di daerah tersebut. Karena blokade tersebut, Martinus melewati rute alternatif ke desanya yang
membawanya sekitar 2 sampai 3 jam berjalan. Sekitar pukul 06.30 dia menelepon anggota keluarganya untuk memberitahukan bahwa dia sedang beristirahat di dekat
menara telekomunikasi. Dia mengatakan kepada anggota keluarganya bahwa dia tidak yakin tentang rute mana yang harus diambil karena jalan tersebut memiliki
persimpangan dan mereka memiliki beberapa jejak sepatu militer di sepanjang jalan. Panggilan itu terputus saat salah seorang keluarganya mendengar serangkaian
tembakan di telepon.
● Bahwa diduga adanya keterkaitan polisi dan PTFI dalam berusaha menyembunyikan bukti-bukti untuk menemukan fakta dan kebenaran terkait status keberadaan
Matrinus Beanal.
IX. Pemberangusan Serikat Pekerja yang dilakukan Manajemen PTFI.
• Bahwa setidaknya 200 komisaris Serikat Pekerja dikenakan furlough sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsi mereka sebagai fungsionaris serikat
pekerja karena mereka dipulangkan secara paksa ke daerah mereka masing-masing.
• Bahwa manajemen PTFI mengintimidasi karyawan yang ingin melakukan mogok kerja dengan menulis surat yang menyatakan rencana aksi mogok kerja yang
dilakukan SPSI tidak sah dan berlandaskan pada alasan yang salah.
• Bahwa terhadap aksi mogok kerja yang tetap dijlankan para pekerja, PTFI memberikan surat yang berisikan ancaman terhadap para pekerja jika para pekerja
tetap melaksanakan aksi mogok kerja, para pekerja akan dikualifikasikan mangkir dan tidak akan mendapatkan upah bagaimana selayaknya. Perlakuan PTFI yang
mengancam dan mengintimidasi karyawan Freeport tersebut melanggar Pasal 143 jo Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
X. Pemblokiran Rekening karyawan PTFI
Bahwa terhadap para karyawan yang di furlough maupun PHK sepihak, PTFI melakukan pemblokiran atas rekening mereka, pada rekening mereka terdapat uang tabungan
keluarga, hasil kerja mereka dan uang pribadi mereka yang karena pemblokiran tersebut tidak dapat digunakan atau ditarik oleh para pekerja.