KAMI HANYA INGIN RE-UNI, TAK PERLU KALIAN SENSI
(Oleh: Iramawati Oemar)
Mereka yang pernah berhaji, pasti sudah merasakan nikmatnya wuquf di Arafah. Meski hanya duduk bersila/bersimpuh, sambil berdzikir, mendengarkan tausiyah, baca Qur'an, diselingi ngobrol dengan orang-orang disekitarnya, tapi moment seperti itu pasti meninggalkan kesan mendalam. Bahkan setelah berlalu sekali pun, masih ingin mengulang kembali saat-saat kebersamaan ketika 2 jutaan Muslim berkumpul di padang Arafah, menanggalkan sekat-sekat negara dan suku bangsa. Hanya tinggal 1 identitas: "I am a Moslem! We are Moslems!"
Membandingkan wuquf dengan Aksi Bela Islam 212, sholat Jum'at berjamaah terbesar, memang tidaklah setara. Namun, ada satu hal yang serupa: Ukhuwah Islamiyyah dan suasana kebatinan yang sama, yang mempersatukan jutaan ummat Islam. Itulah yang membuat semua yang waktu itu bersimpuh di jalanan, larut dalam doa, dzikir dan tangis yang sama.
GHIROH yang sama, itulah yang mempersatukan Ummat Islam Indonesia setahun yang lalu, tidak peduli berasal dari suku apa, ormas apa, partai apa, jamaahnya kyai/ustadz siapa, pada hari itu segala atribut primordial ditanggalkan. Bahkan ummat Islam yang pimpinan ormasnya secara formal tidak merestui bahkan menghimbau kader/anggotanya untuk tidak hadir, ternyata hari itu masih saja banyak kadernya yang hadir. Semua hanya mendengar ajakan ulama yang mereka yakini punya ghiroh sama dengan mereka. Fanatisme ormas dan arogansi kelompok lebur sudah, semua menyatu dalam satu komando ulama.
Ketika ummat yang sudah marah atas pelecehan kitab suci Al-Qur'an dan menuntut penegakan hukum atas pelakunya, kemudian mereka datang mengetuk pintu istana (saat aksi 411) namun diabaikan bahkan ditinggal pergi, maka mereka hanya punya satu pilihan: mengetuk pintu langit!
Pada hari itu, segenap kekesalan dan keputusasaan dalam mencari keadilan dicurahkan kepada Allah Sang Maha Adil. Perasaan dan kepasrahan yang sama itulah yang meninggalkan kesan mendalam, sesuatu yang tidak pernah cukup dilukiskan dengan rangkaian kata-kata. Mereka yang tidak turut hadir, tentu sulit membayangkan seperti apa rasanya semangat persatuan ummat Islam yang mungkin baru kali itu terjadi sejak Indonesia merdeka.
Jadi, wajar jika ada kerinduan untuk kembali berkumpul, kembali menyatukan rasa dan asa. Re-unification, reunion, penyatuan kembali.
Penyatuan kembali ghiroh yang pernah ada, penyatuan kembali akan harapan bersama, penyatuan kembali semangat dan optimisme ummat.
Penyatuan kembali spirit 212 yang telah terbukti membawa banyak dampak positif, terutama tentang kesadaran akan perlunya membangkitkan ekonomi ummat, pemberdayaan ekonomi ummat dengan menyatukan potensi yang terserak dan belum pernah disatukan.
Adakah yang salah jika itu semua diwujudkan? Apakah salah ummat Islam Indonesia ingin mandiri secara ekonomi di negeri nenek moyangnya, yang kakek dan buyut mereka pernah turut berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan?
Siapakah gerangan yang KEBERATAN jika UMMAT ISLAM BERSATU?
Siapakah gerangan yang TIDAK SUKA jika UMMAT ISLAM BERDAYA?
Siapakah gerangan yang DIRUGIKAN jika UMMAT ISLAM KUAT dan MANDIRI?
Bukankah jika ummat Islam bersatu yang diuntungkan NKRI?!
Bukankah jika ummat Islam berdaya mereka bisa saling tolong menolong sesamanya, membantu Pemerintah, siapapun Pemerintahnya, untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan?!
Bukankah jika ummat Islam kuat dan mandiri secara ekonomi mereka juga akan mampu menggerakkan roda perekonomian negeri ini, dan uang hasil perputaran bisnisnya tidak akan dilarikan ke negara lain, sebab negeri nenek moyangnya adalah Indonesia?!
Jadi, apa yang dikhawatirkan dengan bersatunya ummat Islam dalam wadah Reuni 212?
Khawatir akan terjadi chaos, kacau, rusuh?
Tahun lalu saja 7 jutaan ummat bersatu, dalam kondisi marah, kecewa dan merasa diabaikan, toh tak satu pun yang melakukan kerusuhan. Semuanya tunduk dan patuh apa kata ulama. Pulang kata ulama, pulanglah mereka semua.
Padahal, kalau mau ribut dan berbuat kerusuhan, polisi dan tentara yang berjaga saat itu tidak akan mampu menangani. Sebab selain jumlahnya jutaan, areanya juga sangat luas, karena barisan jamaah meluber kemana-mana.
Yang ada justru jamaah menyerbu para pedagang makanan kaki lima, melariskan dagangan mereka, sebagian lagi memunguti sampah. Masih lebih banyak tumpukan sampah sisa pesta malam pergantian tahun.
Jadi, sekali lagi, tak usah lah terlalu khawatir, apalagi sensi dengan Reuni ummat Islam. Kami hanya kangen Ukhuwah Islamiyyah.
Sampai jumpa di Monas.
Salam ukhuwah!