Israelisasi Al-Quds & Finishing Touch Trump
[PORTAL-ISLAM.ID] Di Tepi Barat (West Bank), ada sebuah bukit, dari atas bukti itu rakyat Palestina di Tepi Barat dapat melihat Qudus (Yerusalem), tapi yang terlihat hanya kubah emas yang menyala indah ketika disinari cahaya matahari.
Rakyat Palestina di Tepi Barat dan Gaza tidak diijinkan masuk ke Qudus tanpa clearance (izin) dari Otoritas Israel yang secara detail menyebutkan jam masuk dan jam keluar mereka dari Qudus! Tidak jauh dari bukit itu terdapat check point tentara Israel sepanjang wall tunnel. Tantara Israel akan melarang warga Palestina untuk masuk ke Qudus apabila tidak memiliki clearance atau “blue card”. Blue card itu adalah ID yang dimiliki rakyat Palestina sebelum tahun 1948!
Tampaknya proses Yahudisasi atau lebih tepatnya Israelisasi sedang benar-benar dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif di dalam kota Qudus itu, kota yang menjadi pusat “clash” sejak berabad-abad lalu. Padahal, sekitar dua dekade yang lalu, warga Tepi Barat dapat dengan mudahnya masuk ke Qudus tanpa perlu clearance dan syarat macam-macam. Bahkan, katanya sebelum itu mereka bebas naik mobil dan nongkrong di pantai Haifa atau Yafa.
Hari ini, setidaknya ada 13 check point dan pintu pemeriksaan yang dipasang oleh Israel pasca Intifadhah tahun 2000 yang memisahkan Qudus dengan Tepi Barat. Proses Yahudisasi sudah berjalan lebih dari 69 tahun, persetujuan Trump untuk memindahkan ibukota kemarin hanyalah finishing touch dari program yang sudah berjalan 69 tahun itu. Apalagi katanya AS sudah "konsultasi" dengan negara-negara Islam sebelum Trump mengumumkan keputusannya itu.
Yahudisasi salah satunya dilakukan dengan pembiasaan warga sekitar dengan tulisan, kultur dan “muka-muka” Yahudi yang berseliweran di Qudus. Hampir semua fasilitas umum di Qudus Barat atau Timur sangat kental dengan karakteristik Israel. Warga dibiasakan dengan hal itu, sehingga besok ketika Israel benar-benar menduduki kota itu, mereka akan menerima saja, wong wis biasa! Seperti kita, umat Islam sudah terbiasa mendengar penderitaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina, Yaman, Suriah, Irak, Libya, jadi paling cuma mengecam, sehari dua hari juga jadi biasa.
Proses Yahudisasi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif dilakukan melalui pengubahan simbol-simbol agama, kultur, demografis, historis dan geografis. Data statistik menyebutkan bahwa populasi warga di Qudus pada tahun 2016 mencapai 302 ribu jiwa, atau sekitar 47 persen dari total populasi warga Palestina yang bermukim Palestina itu sesuai dengan Perbatasan 1967. Statistik tahun 2005 menyebutkan bahwa warga Israel yang bermukim di Qudus mencapai 210 ribu jiwa.
Pihak Israel sengaja menambah populasinya di Qudus untuk menciptakan fakta bahwa mereka adalah mayoritas di Qudus sehingga tidak mungkin membagi kota itu menjadi Qudus Israel dan Qudus Palestina. Hal ini akan menjadi kartu AS mereka apabila terjadi perundingan dan kesepakatan-kesepakatan di masa mendatang.
Proses Yahudisasi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif juga dilakukan melalui menekan para pedagang Palestina dengan berbagai macam pajak dan biaya. Mulai dari Pajak PPn sampai pajak penambahan nilai, bahkan ada juga istilah “Arnona”, yaitu pajak tinggal atau pajak lewat. Warga Palestina dikenakan pajak Arnona untuk setiap meter tanah yang mereka tinggali, dan setiap meter toko yang mereka miliki. Besarannya tergantung lokasi.
Cara ini digunakan untuk menekan rakyat Palestina, sehingga mereka menjual atau menutup toko-tokonya. Dengan menutup toko, mereka tidak memiliki penghasilan lagi, akhirnya sebagian memilik pergi ke luar negeri. Dengan itu, Israel secara sah dan licik dapat memiliki toko atau rumah warga Palestina tersebut. Belum lagi pembangunan perumahan untuk pemukiman Israel secara paksa di berbagai wilayah di Qudus. Info terbaru, sudah diwacanakan pembangunan 14 ribu pemukiman Israel di wilayah Qudus,
Korban rakyat Palestina yang melawan keputusan Trump sudah mulai ada, kita tunggu apa aksi negara-negara OKI setelah Pertemuan Tingkat Tinggi Rabu mendatang di Istanbul. Kalau ini tidak mampu menyatukan negara Muslim, maka "seems to be no hope for unity". (Saief Alemdar)