[PORTAL-ISLAM.ID] Golkar mendukung Jokowi. Jokowi menerima Golkar.
Hubungan Partai Golkar dengan Presiden Jokowi tergolong menarik dan unik. Bahkan bisa dikatakan menorehkan sejarah baru dalam langit politik di Indonesia.
Mengapa?
Jokowi yang bukan kader, didukung Partai Golkar yang sebelumnya adalah lawan dalam Pilpres 2014. Selanjutnya, Jokowi yang merupakan kader PDI-P, menerima dengan hangat dukungan Partai Golkar.
Apakah salah? Jelas tidak. Apakah sah? Jelas sah. Sekali lagi ini membuktikan bahwa dalil politik tidak ada lawan atau kawan abadi, sebab dalam politik, yang abadi adalah kepentingan, benar adanya.
Meski sempat basa-basi ragu dan ingin bukti keseriusan dukungan yang diberikan, dalam perkembangannya hubungan Jokowi dengan Partai Golkar semakin hangat dan istilah Kids zaman now adalah TTM atau teman tapi mesra.
Menarik bukan?
Partai Golkar adalah satu-satunya partai politik yang terang-terangan secara terbuka menjadikan Jokowi sebagai Calon Presiden pada 2019. Bahkan mendahului PDI-P maupun parpol pendukung pemerintah saat ini!
Namun, namanya juga politik, semuanya tidak terlepas dari soal 'obligasi'. Tentu obligasi politik. Partai Golkar memilih jurus 'sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui'. Sebab, mendukung Jokowi, bukan hanya menikmati kekuasaan, namun juga sekaligus mendongkrak elektabilitas dan popularitas.
Penerimaan Jokowi atas dukungan Partai Golkar rasanya bukan tanpa perhitungan obligasi politik. Sebab, Jokowi berkepentingan baju putihnya tetap bersih dan bersinar. Meski pohon beringin terus menerus diterpa angin puting beliung yang seringkali memercikan debu dan kotoran.
Sulit untuk tidak mengatakan Jokowi sangat berkepentingan dengan 91 kursi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. Sebab nilai sekitar 14,2 % kursi Fraksi Partai Golkar dalam DPR RI betapapun memiliki peran penting dalam membangun hubungan kekuatan eksekutif terhadap legislatif. Obligasi politik ini penting bagi Jokowi.
Pada relasi atau hubungan seperti ini pula obligasi politik antara Jokowi dengan Partai Golkar saling berkaitan. Tak terkecuali saat Partai Golkar bergejolak yang berujung pada terjadinya perubahan kepemimpinan. Golkar menemui Jokowi. Jokowi menerima Golkar.
Menguatnya sosok Airlangga Hartarto tidak lepas dari hubungan tersebut. Setidaknya, Airlangga Hartarto minta izin kepada Jokowi untuk maju memperebutkan kursi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Jelas ada obligasi 'simbiotik mutualisme' antara Jokowi dengan Partai Golkar yang diwakili oleh Airlangga Hartarto.
Bagi internal Partai Golkar tampilnya sosok Airlangga Hartarto adalah tanda eksis dan menguatnya kembali faksi Jusuf Kalla (JK). Hal yang kontras dengan yang terjadi pada Munaslub di Bali pada 2016.
Ketika ajang di Bali itu Luhut Binsar Panjaitan-LBP (yang hadir sejak awal hingga selesai Munaslub) begitu sangat kuat pengaruhnya.
Namun, bukan berarti LBP tutup buku pengaruhnya. Sebab, jika Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum, mulai muncul nama Nusron Wahid, selain Ibnu Munzir sebagai calon Sekretaris Jenderal (Sekjen). Nusron sering disebut sebagai representasi LBP. Sedang Ibnu Munzir bagian faksi atau gerbong JK.
Hanya saja, permainan masih saja bisa berubah jika Munaslub benar-benar terlaksana di Solo. Sebab hal ini akan menjadi tanda menguatnya peran-peran politik dari Para pimpinan DPD I bisa terbuka luas.
DPD I Partai Golkar Jawa Barat dan Jawa Tengah selama ini menjadi motor digelarnya Munaslub. Dedi terkenal konsisten untuk menjaga agar elektabilitas dan popularitas Partai Golkar tak jeblok. Sedang Wisnu, politisi senior yang memiliki relasi yang baik dengan Jokowi.
Bagaimana Idrus Marham? Sebagai politisi yang mumpuni, Idrus sangat paham apa yang harus dia perbuat, pilih dan lakukan. Saat ini, Idrus memang lebih fokus menjalankan tugas sebagai Plt Ketua Umum DPP Partai Golkar akibat Setya Novanto harus ditahan oleh KPK.
Penulis: Ariady Achmad, ex anggota DPR periode 1999-2004.