[PORTAL-ISLAM.ID] Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Anis Matta menuliskan sebuah artikel tentang Palestina dan Israel.
Artikel yang relatif panjang dan kompleks ini diberi judul Deal of The Century, sebagai respon atas pernyataan Donald Trump yang ingin menjadikan Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
Berikut ini tulisan lengkapnya.
=========================
Deal of The Century
Sidang Umum PBB pada 21 Desember 2017 secara mayoritas menolak Deklarasi Trump menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Deklarasi itu ditolak oleh 128 negara, sementara Amerika Serikat hanya didukung delapan negara, dan sisanya sebanyak 35 negara menyatakan abstain.
Namun rasanya Trump tetap akan berjalan dengan keputusannya. Trump tidak akan peduli dengan penolakan mayoritas anggota PBB itu. Artinya langkah Trump sangat serius. Ini bukan sekedar janji kampanye, tapi bahkan lebih tampak sebagai ambisi “memasuki sejarah” dengan menuntaskan mimpi Israel Raya.
Apa sebenarnya ide di balik Deklarasi Trump itu yang telah membuat Amerika Serikat dan Israel justru semakin terisolasi secara internasional?
Memang Trump tetap menegaskan menerima ide Two State Solution, tapi jauh dalam benak kaum Zionist Radikal ide itu bertentangan dengan ide dasar Israel Raya yang batas wilayahnya terbentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Irak, merangkai seluruh wilayah Jordan, Syria, Lebanon, Kuwait dan sebagian besar wilayah Saudi Arabia. Batas itulah yang dulu diimpikan oleh Theodor Herzl, pendiri Negara Israel. Palestina dalam pengertian itu seharusnya lenyap dari peta.
Sebagian dari rencana itu dicapai dengan menciptakan Proxy State yang berfungsi sebagai bumper dan tempat penampungan imigran Palestina seperti Jordan, atau perlindungan keamanan seperti Mesir.
Sebagian lagi dicapai melalui proyek Balkanisasi atau menciptakan konflik berkesinambungan di negara-negara perlawanan seperti Irak, Iran, Syria, Lebanon dan Turki. Koflik sektarian Sunni Syiah seperti dalam perang Iran-Irak tahun 1980-1988, konflik etnis Kurdi yang populasinya mencapai 40-an juta orang yang tersebar di Turki, Irak, Syria dan Iran, serta dorongan mendirikan negara Kurdi yang merdeka seperti dalam referendum Kurdi Irak beberapa bulan lalu.
Konflik perbatasan seperti dalam aneksasi Irak katas Kuwait tahun 1990 yang kemudian memicu Perang Teluk Pertama tahun 1991, disusul kemudian dengan invasi Amerika ke Irak tahun 2003, lalu konflik Arab Spring dan Kontra Arab Spring sejak tahun 2013 hingga saat ini di seluruh kawasan Timur Tengah.
Sekarang, kawasan itu menjadi spot konflik global paling berdarah dan berlarut, melibatkan hampir semua kekuatan global termasuk Rusia yang paling terakhir terlibat. Sebagian lagi dicapai dengan melokalisir isu Palestina menjadi isu domestik dan menjadikan itu alasan untuk mendorong negara-negara Arab, khususnya Teluk, dan Islam lainnya untuk tidak terlibat atau hanya mendukung Palestina secara pasif.
Di dalam Palestina sendiri kita menyaksikan gelombang imigrasi dari luar ke dalam dan dari dalam keluar. Orang-orang Yahudi yang tidak punya tanah air dan berdiaspora di berbagai belahan dunia terus berimigrasi ke Palestina dan hingga kini menduduki sekitar 78% lahan, sementara orang-orang Palestina meninggalkan tanah air mereka dan keluar berdiaspora ke berbagai belahan dunia karena lahan yang mereka kuasai tinggal 22% saja.
Dari total 12,706.000 penduduk Palestina, 6.290.000 orang berimigrasi ke berbagai negara. 5.595.000 orang diantaranya ke negara-negara Arab tetangga dan sisanya sebanyak 695 ribu di negara-negara non Arab. Sementara yang ‘bertahan’ di dalam Palestina hanya sekitar 4.884.000 orang tersebar di Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan sisanya sebanyak 1.532.000 orang orang “tertahan” di dalam wilayah Palestina yang dikuasai Israel tahun 1948.
Jadi jumlah penduduk Palestina yang sekarang ada di dalam Palestina, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat hanya sebanyak 6.416.000 orang, atau lebih sedikit dari jumlah orang Yahudi yang sekarang menduduki Palestina yang mencapai 6,5 juta orang.
Sekarang setelah satu abad ide negara Israel diwujudkan, dan telah berdiri resmi sejak 70 tahun lalu, tiba saatnya untuk menentukan bentul finalnya. Seperti apakah finalisasinya?
Inilah inti perdebatan yang melatari dan melingkupi Deklarasi Trump 6 Desember 2017 lalu. Dengan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota, Israel bersedia mengakui eksistensi Negara Palestina yang wilayahnya hanya Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dan untuk itu, Israel menuntut pengakuan timbal balik dari Otoritas Palestina dan seluruh negara Arab dan Islam lainnya. Setelah itu epik satu abad ini boleh ditutup. Inilah gagasan inti dari apa yang mereka sebut sebagai Deal of The Century.
Sebelum Deklarasi Trump, negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, dan Mesir telah dikondisikan untuk menerima ide ini. Dalam situasi transisi kekuasaan di Arab Saudi, deal ini tampak logis bagi Muhammad Bin Salman jika ingin mendapatkan dukungan Trump untuk mendapatkan mahkota kerajaan setelah atau sebelum ayahnya wafat. Dan itulah yang akhirnya terjadi. Semua _game of throne_ yang sekarang terjadi di Arab Saudi adalah bagian dari deal itu.
Di permukaan deal itu tampak sebagai realisasi yang fair dari ide Two State Solution. Tapi sebenarnya ada skenario lain yang akan datang kemudian. Jalur Gaza yang terjepit antara Israel dan Mesir akhirnya akan dimasukkan ke dalam wilayah Mesir. Sementara Tepi Barat akan dimasukkan ke wilayah Jordania dalam bentuk konfederasi. Dengan begitu Israel tidak sendiri.
Seperti Pizza, Palestina akhirnya dibelah tiga, satu untuk Israel, dua untuk saudara-saudara Arab mereka, Mesir dan Jordan. Palestina lenyap dari peta karena pengkhianatan saudara-saudara Arab mereka. Karena itu Deal of The Century (kesepakatan abad ini) disebut oleh media-media di Turki dan Timur Tengah sebagai “Slap of The Century”.(tamparan abad ini).
Perbedaan Konteks Geopolitik Global
Bisakah Deklarasi Trump berjalan seperti Deklarasi Balfour seabad yang lalu? Tentu saja jawabannya bisa seandainya konteks geopolitik globalnya sama dengan saat Balfour mengeluarkan deklarasinya. Faktanya justru terbalik. Perbedaan konteks geopolitik antara era Balfour dengan era Trump sangat jauh berbeda.
Pertama, Deklarasi Balfour dibangun oleh premis yang kokoh bahwa Sekutu akan memenangkan Perang Dunia Pertama. Dan itulah persisnya yang terjadi kemudian pada tahun 1918.
Di atas puing-puing Imperium Ottoman yang akhirnya runtuh tahun 1924, sebuah peta baru untuk seluruh kawasan itu dibuat, peta yang kemudian dikenal dengan nama Peta Sykes-Picot. Di dalam peta baru itulah sebuah entitas baru dimasukkan, yaitu Israel, dan sebuah entitas lama dihilangkan, namanya Palestina.
Perang Dunia Kedua yang terjadi dua dekade kemudian juga dimenangkan oleh Sekutu, meskipun dengan pergantian pada aktor utama, dari Inggris dan Prancis ke Amerika Serikat. Persaingan Amerika Serikat dengan Uni Soviet dalam era Perang Dingin dari tahun 1946 hingga tahun 1990, adalah pertarungan antara kekuatan yang semula bersekutu tapi kemudian pecah kongsi. Bahkan setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 Amerika Serikat keluar sebagai pemenang tunggal dan menjadi penguasa mutlak dalam tatanan dunia baru. Jadi jika ide Negara Israel dapat diwujudkan dengan mudah itu karena ia hanya proyek kecil dalam tatanan global yang dikuasai Sekutu yang menjadi sponsor utama ide tersebut.
Ketika Trump mengeluarkan deklarasinya, posisi Amerika Serikat jutsru sedang terbalik. Semua proyek global Amerika Serikat kandas di tengah jalan. Salah satunya adalah invasi ke Irak tahun 2003. Bahkan disana Presiden Bush junior dilempari sandal oleh warga Irak, dan pelakunya baru saja keluar penjara beberapa bulan sebelumnya. Dubes Amerika Serikat bahkan terbunuh dalam konflik bersenjata di Lybia beberapa tahun lalu.
Sentimen Anti Amerika terus menjalar ke seluruh dunia. Itu membuat Amerika makin kesepian. Dan rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa komposisi suara dalam voting pada Sidang Umum PBB yang menyatakan menolak Deklarasi Trump itu adalah bukti terbesar bagaimana negara super power ini terus terisolasi, paling tidak secara moral.
Sekarang “aura pemenang perang” itu sudah sirna. Dan keruntuhan imperium-imperium besar dalam sejarah selalu dimulai dari fakta ini: bahwa “jika kekuatanmu tak lagi menakutkan musuhmu, maka kekalahanmu mulai merayap dan menggerogoti kebesaranmu, kamu akan akan kalah walaupun kamu menduga bahwa kamu masih yang terkuat”.
Kedua, munculnya kekuatan global baru, yaitu China dan Rusia. Dalam struktur kekuatan global jika diukur dengan parameter ekonomi, militer dan teknologi, Amerika Serikat dan Eropa ada di kasta pertama dan kedua. Sekarang di kasta kedua ada China yang sebentar lagi bisa menggeser Amerika di kasta pertama. Sementara Rusia ada di kasta ketiga yang turun dari kasta kedua.
Di paruh kedua abad lalu porsi ekonomi Amerika dan Eropa pernah mencapai angka 80% dari total ekonomi dunia, dimana Amerika sendiri mengambil porsi 40%. Sekarang angka itu menciut menjadi sekitar 40% dimana porsi Amerika sendiri tinggal sekitar 20%. Kue besar itu kini beralih ke Asia Pasifik yang sekarang menguasai sekitar 35% ekonomi dunia.
Ini menjelaskan mengapa Amerika dan Eropa makin tidak kuat memikul beban dari proyek Negara Israel. Dulu Israel punya keunggulan sebagai alat kontrol Sekutu di kawasan, tapi kini secara perlahan ia berbalik menjadi beban ekonomi bagi Eropa dan Amerika.
Di bawah Putin, Rusia kini kembali menjadi pemain global sejak tahun 2010 lalu. Walaupun lebih kecil secara ekonomi karena hanya berada di urutan ke 10 untuk GDP (Nominal) dan urutan ketujuh untuk GDP (PPP) dalam G20, tapi warisan nuklirnya yang lebih banyak dari Amerika memberinya posisi tawar yang sangat kuat.
Dari tiga spot konflik global paling panas saat ini, Rusia menjadi pemain kunci di dua tempat, yaitu Ukraina dan Timur Tengah. Wibawa militer Amerika hancur total setelah gagal dalam invasi Irak tahun 2003. Dan ini yang menjelaskan mengapa perannya di Timur Tengah semakin menciut sejak era Obama, situasi yang kemudian dipahami sebagai melemahnya cengkraman Amerika atas sekutu-sekutunya di kawasan dan memberi ruang kemunculan seketika dari peristiwa Arab Spring akhir tahun 2010 lalu.
Ketiga, pembelahan dalam tubuh Trans Antlantic Partnership. Di balik berdirinya Uni Eropa tahun 1993, atau tiga tahun setelah runtuhnya Uni Soviet 1990, sebenarnya ada semangat baru yang mulai berkembang di Eropa, yaitu semangat untuk menjadi lebih independen dari sekutu mereka, Amerika Serikat.
Hampir setengah abad dalam masa Perang Dingin (1946-1990) penyebaran pasukan Amerika di dataran Eropa atas nama NATO membuat kawasan itu bukan hanya sepenuhnya ada dalam genggaman Amerika, tapi juga terlalu tidak berdaya untuk membela dirinya sendiri. Lambat laun kita menyaksikan bagaimana kepentingan Eropa semakin terabaikan dan semakin tidak bertemu dengan kepentingan Amerika. Bahkan Inggris yang berada di Uni Eropa tapi lebih dekat ke Amerika akhirnya _check out_ atau lebih dikenal dengan Brexit dari Uni Eropa dalam referendum bulan Juni tahun 2016 lalu.
Dalam kampanye pemilu German, Chansellor Angela Merkel bahkan mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri. Sementara sebelumnya Obama mendeklarasikan beralihnya fokus Amerika ke Asia dan menggagas pendirian _Trans Pasific Partnership_. Proyek itu bukan saja gagal, tapi juga membuat pesan perceraian dengan Eropa semakin nyata.
Sementara itu, penetrasi China dan Rusia ke Eropa makin dalam. Proyek jalur sutera kini telah menghubungkan China dengan Eropa via darat hanya dalam waktu 18 hari, jauh lebih cepat dari jalur laut yang memerlukan waktu 35 hari. Integrasi ekonomi Eropa dengan Rusia juga makin kuat terutama suplai gas ke Eropa sebagian besar berasal dari Rusia. Itu sebabnya mengapa tekanan Amerika terhadap Eropa dalam sanksi ekonomi kepada Rusia dalam kasus Ukraina sama sekali tidak efektif.
Amerika tidak lagi mampu memobolisasi Eropa dalam agenda-agenda global yang besar. Keadaan ini diperparah oleh konflik elit yang makin tajam baik di internal Eropa maupun di internal Amerika. Konflik ideologi antara kaum Nasionalis Konservatif dan Globalis Liberal mewarnai pemilihan presiden dan anggota legislatif di kedua kawasan itu.
Kemenangan minimalis Merkel di German dan May di Inggris dalam pemilu tahun ini semakin memperkuat _trend_ bahwa era kaum globalis liberal di Eropa. Trend itu sebelumnya telah didahului oleh kemenangan Trump dalam pilpres Amerika tahun 2016 lalu.
Keempat, Turki dan Iran menggantikan Mesir dan Saudi Arabia sebagai pemain kawasan. Itu berarti bahwa Israel makin terisolasi di kawasan, karena pemain utama kawasan sekarang telah beralih dari sekutu utama mereka, yaitu Arab Saudi dan Mesir. Persekutuan baru yang terbentuk antara Turki, Iran dan Rusia makin mengokohkan posisi mereka di kawasan dan tidak lagi memberi ruang manuver yang luas bagi Amerika.
Kelima, perubahan system nilai global setelah gelombang demokratisasi global menyusul runtuhnya Uni Soviet. Kebebasan, demokrasi, persamaan hak asasi manusia dan rasa keadilan telah menjadi nilai-nilai bersama masyarakat global saat ini. Inilah yang kita saksikan dalam voting Sidang Umum PBB terakhir yang menolak Deklarasi Trump dan meruntuhkan legitimasi moral Amerika di mata dunia.
Di mata dunia saat ini, isu Palestina bukan lagi isu domestik Timur Tengah atau isu keislaman yang hanya menjadi perhatian Dunia Islam saja, tapi telah berkembang menjadi isu kemanusiaan yang menodai wajah umat manusia.
Warga dunia tak lagi bisa menerima bukan saja ide "One State Situation", tapi bahkan ide _“Two State Solution”_. Ini adalah serangan dahsyat terhadap legitimasi eksistensi Negara Israel. Trend ini diperkuat oleh demokrasi media setelah munculnya jaringan televisi global baru seperti Aljazeera dan Russia Today di kategori media _mainstream_ dan munculnya era sosial media. Tidak ada lagi fenomena asimetri informasi. Artinya tidak ada lagi negara yang dengan mudah memberikan framing media yang berbeda dengan realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Keenam, semangat perlawanan rakyat Palestina jauh lebih kuat dari semangat bertahan kaum Yahudi di Israel. Sejak Intifada Palestina meletus tahun 1987, pamor kedigdayaan tentara Israel yang pernah mengalahkan gabungan pasukan Arab tahun 1948 seketika sirna. Bahkan dalam perang Israel Palestina terakhir tahun 2008 lalu, pasukan Israel akhirnya ciut sendiri.
Selain itu, jumlah orang Yahudi yang hengkang dari Israel dan kembali negara asalnya lebih banyak dari jumlah orang Yahudi yang masih mau berimigrasi ke Israel. Seorang penulis Yahudi di Israel, Ari Shavit bahkan mengatakan orang-orang Israel kini menyadari bahwa mereka tidak punya masa depan di Palestina. Ini bukan tanah air tanpa bangsa. Itu semua hanya kebohongan kaum Zionist. Israel harus segera mencari solusi lain sebelum terlambat dan Israel harus menghembuskan nafas terakhirnya akibat dikejar kutukan kebohongan Zionist tentang tanah yang dijanjikan.
Boleh jadi Deklarasi Trump adalah lonceng kematian Israel. Sebab ide ini ternyata lahir dari kecemasan akut karena mimpi Israel Raya tak lagi bisa dituntaskan.
Ciganjur, 22 Desember 2017.
Muhammad Anis Matta