Pilpres 2019 diprediksi akan ada dua calon yaitu incumbent dan satu lawan tanding. Lawan tanding ini bisa Prabowo, bisa juga tokoh yang sekarang menjadi "rising star". Presidential threshold 20%-25% yang telah disahkan DPR dalam UU Pemilu tanggal 20 Juli 2017 memang memungkinkan partai-partai berkoalisi mengusung tiga calon. Tapi, sangat kecil kemungkinannya itu akan terjadi.
Saat ini ada dua kelompok koalisi yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah putih (KMP). Koalisi Indonesia Baru yang dinahkodai Jokowi memiliki suara mayoritas di DPR. Di koalisi ini ada PDIP (18,95%), Golkar (14,75%), Hanura (5,26%), Nasdem (6 72%), PKB (9,04%), PPP (6,53%), dan PAN (7,59%). Jumlah suara partai koalisi Indonesia Baru ini mencapai 68, 84%.
Meski langkah politik partai-partai ini hampir selalu seirama jika menyangkut kepentingan dan instruksi sang dirigen, hal ini tidak menjamin mereka akan konsisten mendukung Jokowi sampai pilpres 2019. Politik itu dinamis, semua bisa berubah bergantung kekuatan yang lebih menjanjikan.
Saat ini, Golkar sebagai pendukung utama koalisi Indonesia Hebat sedang goyang. Ditahannya Setya Novanto oleh KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya semakin menguatkan dorongan untuk segera diadakan munaslub di partai Golkar.
Jika munaslub berhasil diadakan, maka besar kemungkinan akan terjadi pergeseran kepemimpinan di tubuh Golkar. Pergantian pemimpin baru di Golkar tidak mustahil akan merubah arah koalisi partai beringin ini. Apalagi jika kekuatan Jusuf Kalla berhasil memenangkan calonnya, hampir pasti Golkar akan keluar dari koalisi mengingat JK selama ini tidak searah secara politik dengan Jokowi.
Jika Golkar berpaling, partai koalisi di kubu Jokowi pasti akan gaduh. Langkah Golkar berpotensi memicu partai-partai lain anggota koalisi untuk mengevaluasi dukungannya kepada Jokowi.
Tidak hanya Golkar, PKB juga berpotensi keluar dari koalisi jika elektabilitas Jokowi tidak aman. Keluarnya Golkar dari koalisi, kalau itu benar-benar terjadi, akan memperlemah posisi Jokowi, baik di parlemen maupun dukungan rakyat. Hasil survey Median yang dirilis beberapa bulan lalu bahwa elektabilitas Jokowi turun tajam hingga di angka 36,2% menunjukkan posisi Jokowi menghawatirkan. Dan kemungkinan akan lebih turun lagi jika Golkar menarik dukungannya.
Selain PKB, PPP sedang dapat tekanan yang berat dari konstituennya. Selain faktor perpecahan internalnya yang berlarut-larut, bergabungnya PPP ke koalisi Jokowi dan mendukung pencalonan Ahok di pilgub DKI membuat elektabilitas Partai Ka'bah ini, menurut hasil survey SMRC, turun bebas hingga 4,3% dari 6,53% di pileg 2014. Hampir semua partai koalisi yang mendukung Ahok di pilgub DKI beberapa waktu lalu cenderung turun.
Sementara PDIP belum memberi jaminan akan mengusung Jokowi untuk kali kedua. Kalaulah PDIP legowo mengusung lagi Jokowi, tentu bukan tanpa syarat. Mengingat hubungan Jokowi-Mega selama ini banyak ketegangan, maka syarat-syarat itu tentu tidak akan ringan bagi kubu Jokowi. Kalau kesepakatan keduanya terjadi, istilah "petugas partai" akan benar-benar bisa direalisasikan.
Di kubu sebelah ada Koalisi Merah Putih (KMP). Koalisi ini hanya tersisa dua: Gerindra (11,81% dengan 13% kursi) dan PKS (6,79% dengan 7,1%) setelah sejumlah partai anggota lainnya tidak mampu menahan godaan untuk mendapatkan jatah menteri di kabinet.
Jumlah kursi kedua partai koalisi KMP ini 20,1%. Artinya, persekutuan kedua partai ini bisa mengusung satu calon karena memiliki suara mencapai ambang batas presidential threshold yang ditetapkan dalam UU pemilu. Di koalisi ini ada stok calon lama yaitu Prabowo Subianto.
image:
Dalam sejumlah survey, jika dua calon ini diadu, Jokowi jauh lebih unggul dari Prabowo dengan perbandingan 36,2% dan 23,2%. Faktor Jokowi pegang kekuasaan dan diuntungkan dengan fasilitas untuk rebranding merupakan penentu Jokowi unggul atas Prabowo. "Puasa politik" yang dilakoni Prabowo sebagai partai oposisi membuat Mantan Danjen Kopassus ini tidak bisa banyak bergerak karena keterbatasan fasilitas dan dana.
Sementara Jokowi akhir-akhir ini tampak semakin aktif blusukan dan gencar menjalankan program-program pemerintahannya, khususnya di wilayah Jawa.Terutama di bidang pertanian, langkah Jokowi membagi-bagikan sejumlah lahan buat masyarakat merupakan strategi yang sangat efektif untuk memikat dan melunakkan hati rakyat di tingkat grass root.
Elektabilitas Jokowi yang anjlok hingga di angka 36,2% (Survey Median) jika tidak berhasil dinaikkan, terbuka kemungkinan untuk ditinggalkan oleh partai-partai koalisi. Namun demikian, Jokowi, dalam posisinya sebagai penguasa saat ini diuntungkan oleh fasilitas kekuasaan. Kesempatan ini bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitasnya dengan terus menggenjot prestasinya selama menjabat sebagai presiden.
Jokowi bisa mengkapitalisasi program-program pemerintahan yang berhasil direalisasikannya, terutama di bidang pembangunan infrastruktur. Walaupun tetap akan ada opini perbandingan dengan catatan-catatan kelemahan yang akan menjadi peluru lawan untuk menyerang Jokowi, terutama terkait dugaan ketidakadilan hukum, sikap yang dianggap represif, terpuruknya ekonomi, turunnya daya beli rakyat, dicabutnya banyak subsidi dan membengkaknya hutang negara.
Jika Jokowi berhasil reborn, maka terbuka kemungkinan akan ada kesempatan kedua. Jika gagal, maka tidak mustahil partai-partai koalisi akan hengkang dan pindah ke lain hati.
Meski hasil survey Jokowi di atas Prabowo, tapi posisinya jelas terancam jika muncul calon lain. Hasil survey 36,2 bagi seorang incumbent menunjukkan "angka defisit". Dengan angka di bawah 50% itu berarti rakyat tidak lagi menghendaki Jokowi sebagai presiden untuk yang kedua kali. Namun, kesimpulan ini sangat bisa berubah, bergantung perkembangan situasi politik di kemudian hari dan bergantung juga bagaimana Jokowi meyakinkan rakyat di sisa masa jabatannya. Munculnya penantang baru juga akan sangat menetukan posisi Jokowi.
Sementara prabowo, tetap berada di bawah elektabilitas Jokowi. Trend turunnya suara Jokowi ternyata tidak diikuti naiknya suara Prabowo. Ini mengindikasikan bahwa dua calon "senior" ini dinilai tidak representatif bagi keinginan rakyat Indonesia. Deja vu sulit untuk diwujudkan. Karena itu, munculnya calon-calon baru sangat terbuka dan berpeluang menyalib suara keduanya.
Dari data survey di atas mengindikasikan bahwa rakyat Indonesia sedang memimpikan hadirnya pemimpin baru. Pemimpin yang bisa menjadi tempat untuk menitipkan harapan bagi bangsa ini.
Ada sejumlah nama yang terjaring di survei, diantaranya adalah Anies Rasyid Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Kedua tokoh ini berpeluang untuk berkontestasi di pilpres 2019. Potensi keduanya cukup besar mengingat keduanya adalah tokoh yang saat ini sedang berada di puncak popularitasnya. Tidak saja populer, langkah-langlah keduanya dalam memimpin terus mendapat simpati rakyat.
Manuver-manuver Gatot dalam kasus G 30S PKI dan pembelaannya terhadap Aksi 411 dan 212 telah sukses mengharumkan namanya. Langkah-langkah tegas tersebut membuat sosok Panglima TNI ini kebanjiran simpati, terutama dari umat Islam.
Namun, simpati umat Islam mendadak pudar ketika Gatot membuka identitas politiknya dengan mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya. Sikap ini seolah mengkonfirmasi rumor selama ini bahwa Gatot adalah "tandemnya Jokowi" yang berperan menarik simpati suara Umat Islam. Anak-anak ABG bilang: "kamu Ketahuan..."
Selain Gatot, ada Anies Baswedan. Tokoh yang sempat diberhentikan Jokowi dari Kemendikbud ini mendadak namanya kembali berkibar setelah dicalonkan menjadi Gubernur DKI oleh dua partai oposisi pemerintahan yaitu Gerindra dan PKS. Namanya semakin meroket ketika Anies terpilih menjadi gubernur DKI dan nekat menghentikan proyek reklamasi, sebuah proyek raksasa yang diisukan mendapat dukungan kekuasaan. Simpati publik kepada Anies bertahap naik ketika Anies bernyali menutup Alexis, hotel yang dijadikan surga dunia bagi para lelaki pemburu nikmat.
Kedua tokoh di atas adalah "rising star" yang jika berani mengambil jarak dengan penguasa, mereka akan menjadi ancaman serius bagi Jokowi di Pilpres 2019.
(Tony Rosyid)
*Sumber: Kumparan