Oleh: Hersubeno Arief
(Konsultan Media)
Gubernur DKI Anies Baswedan tampaknya bakal terseret dalam pusaran kasus kecelakaan Setya Novanto. Direktur PT PLN Persero membantah kabar bahwa tiang listrik menjadi penyebab kecelakaan Ketua Umum Golkar itu. Karenanya dia menolak ikut bertanggung jawab.
"Setelah kami cek ke lapangan, ternyata yang ditabrak mobil Pak Setvov bukan tiang listrik. Namun lampu penerangan jalan milik Pemprov DKI. Jadi Gubernur Anies yang harus bertanggung jawab," tegas Dirut PLN Sofyan Basir dalam sebuah siaran pers.
"Kami minta nama baik PT PLN dan tiang listrik segera direhabilitasi. Kami juga sedang mempertimbangkan langkah-langkah hukum bagi pihak-pihak tertentu yang secara sengaja menyebarkan informasi yang keliru, bahwa penyebab kecelakaan itu, karena tiang listrik," tambah Sofyan.
Guyonan semacam itu dalam dua hari terakhir mendominasi ruang publik, terutama media sosial. Kecelakaan yang menimpa Novanto memicu kreativitas yang luar biasa tinggi. Ada yang membuat meme, mengedit video, membuat joke, bahkan saking niatnya sampai ada yang membuat komik. Dahsyat!
Berbagai joke tadi menyebar dengan sangat cepat, di-share dari satu media pertemanan ke group media pertemanan yang lain. Rumusnya click, laugh and share.
Ada joke yang modelnya tampaknya sangat serius, walau sebenarnya tidak serius. Tapi ada model joke pendek bahwa Setnov terkena OTT (Operasi Tabrak Tiang), sebagai plesetan dari Operasi Tangkap Tangan yang biasa dilakukan oleh KPK.
Ada pula yang memplesetkan peribahasa “setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya kembali ke pelimbahan juga,” menjadi “sejauh-jauh Setnov pergi, akhirnya kembali ke rumah sakit juga.”
Kasus serius kecelakaan Setnov oleh publik diredusir menjadi hal yang tidak serius, menjadi guyonan. Mood publik tiba-tiba berubah, dari serius, menjadi santai, otot-otot saraf menjadi kendur.
Tidak perlu kaget bila Anda mendapati orang sedang memelototi gadget, sambil senyum-senyum sendiri, ada yang tertawa terbahak-bahak, dan yang lebay sampai tertawa terguling-guling. Lol......
Menertawakan diri sendiri
Mengapa publik justru “bersenang-senang,” dengan kasus Setnov. Adakah yang salah dengan masyarakat kita? Jika kita cermati, publik sebenarnya bukan menertawakan Setnov. Bagaimanapun Setnov adalah pimpinan DPR, sebuah lembaga tinggi negara yang merupakan representasi dari suara rakyat. Jadi kita sebenarnya sedang menertawakan diri sendiri. Menertawakan kondisi negeri kita yang kian hari kian lucu.
Dalam ilmu psiklogi kemampuan menertawakan diri sendiri menjadi indikator kualitas kita sebagai manusia sangat baik.
Dalam bukunya Humor, Irony and Self Detachment, pakar psikologi David Cohen menyatakan kemampuan manusia melihat sebuah ironi, menunjukkan bahwa akal kita masih sehat. Masih normal.
Kita bisa memisahkan diri (self detachment), antara subyek yang ditertawakan, dan obyek yang ditertawakan.
Menertawakan diri sendiri bisa menjadi mekanisme internal bagi kita untuk melepaskan penat akibat beban kerja, konflik, maupun berbagai persoalan yang kita hadapi. Menertawakan diri menjadi katup bagi kita untuk melupakan perbedaan politik, dan pengelompokan di tengah masyarakat yang sangat dalam akibat beda dalam pilihan pilkada.
Tidak usah jauh-jauh, silakan cek di grup-grup pertemanan Anda. Baik Ahoker maupun anti Ahok, baik Jokower maupun yang anti Jokowi, bisa bersama-sama tertawa terbahak-bahak ketika mendapat kiriman joke, maupun meme soal Setnov.
Sampai dalam batas ini Setnov berjasa menyatukan mereka yang selama ini berseberangan secara politik. Setnov juga berjasa membuat banyak orang bahagia dan dapat sejenak melupakan persoalan melemahnya daya beli, dan lesunya perekonomian nasional.
Tolong jangan selalu melihat Setnov dari sisi yang negatif. Dia berhasil membuat hampir seluruh negeri ini berbahagia. Bersatu dalam lucu.
Tersenyum-senyum sendiri jelas jauh lebih sehat, dibandingkan bila Anda marah-marah. Tertawa-tawa, jauh lebih sehat dibandingkan bila Anda ngamuk dan marah-marah ketika kalah pilkada.
Joke, maupun meme seorang petinggi lembaga negara juga menunjukkan kualitas demokrasi kita sudah sangat maju. Indonesia sudah selevel Amerika Serikat yang presidennya sering dibuat meme, dan lucu-lucuan. Bedanya di AS Presiden Trump yang jambulnya sering dijadikan meme, dan bonekanya dalam ukuran besar dijadikan sansak tinju, tidak pernah melapor ke polisi.
Namun sambil Anda tersenyum-senyum, tertawa-tawa, jangan sampai kehilangan kewaspadaan. Bisa jadi membanjirnya joke, meme tentang Setnov menjadi sebuah fenomena awal adanya public distrust.
Masyarakat tidak lagi percaya terhadap lembaga pemerintah, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Publik melihat kasus Setnov sebagai sebuah dagelan politik, yang kebetulan kok lucu juga ya.
Masyarakat yang mengalami public distrust tidak lagi peduli apapun yang dilakukan pemerintah, maupun lembaga tinggi negara lainnya. Kalau orang Betawi menyebutnya “Terserah aje, mau ape ente.” Sedang orang Jawa bila kesal akan bilang “Sak Karepmu. Ora urus. Ora mikir.”
18/11/17
***
Ini keputusanku: Drpd aku ngetawain Pak Setya Novanto atau ngetawain KPK, mending kutertawakan diriku sendiri ..kok aku jg masih mau hidup di zaman kek gini.. Heuheuheu— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) 17 November 2017