[PORTAL-ISLAM.ID] Judul tulisan ini jelas mencerminkan kekecewaan seorang warga negara biasa. Kekecewaaan yang muncul setelah menyaksikan tayangan televisi semalam.
Liputan berita TV mempertontonkan kebanggaan negara tetangga Filipina menjadi tuan rumah Perayaan 50 Tahun berdirinya ASEAN.
Kebanggaan itu tercermin dari toast antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Keduanya bersulang dengan gelas berisikan champaigne, disaksikan Preside RI, Joko Widodo.
“Seharusnya peringatan hari jadi ke-50 ASEAN itu, tidak dilakukan di Manila, tapi di Jakarta……Kedua Presiden tidak pantas melakukan toast. Sebab saham AS dan Filipina dalam keberadaan dan menjaga integritas ASEAN, tidaklah sebesar dibanding saham Indonesia ”, begitu saya membatin dan kecewa.
Walaupun hanya warga biasa, tetapi saya merasa memiliki kepedulian sekaligus kebanggaan yang tinggi terhadap negeri tercinta ini.
Saya bangga Indonesia sebagai penggagas sekaligus pendiri ASEAN. Namun saya kecewa cara-cara rezim Jokowi yang tidak merawat dan memanfaatkan ASEAN.
Kedudukan Markas Besar ASEAN itu di Jln. Trunojoyo, Jakarta Selatan. Bukan di Makati, Manila.
Markas Besar ASEAN itu, statusnya seperti Markas Besar PBB di New York.
ASEAN di era rezim Soeharto, menjadi organisasi kerja sama regional yang diperhitungkan dunia. Dan perhitungan itu, tidak lepas dari peran fundamental Indonesia sebagai salah satu pendiri.
Hingga tahun 1998, Soeharto sudah jatuhpun, negara-negara Asia masih tetap berusaha mendirikan forum Asia – Europe Meeting (ASEM), dimana RI diminta menjadi partisipan aktif.
ASEM pun gagal berlanjut, setelah Indonesia memperlihatkan ketidakseriusannya.
Sekalipun saya bukan diplomat, tetapi saya agak paham, mana wilayah diplomasi yang perlu dijaga, diperjuangkan dan dirawat oleh Indonesia.
Dua tahun lalu, saya merasa senang dan puas ketika pemerintahan Jokowi menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konperensi Asia Afrika.
Senang dan puas, sebab saya menilai, perayaan itu mencerminkan adanya kepedulian rezim Jokowi - untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia, yang sudah mulai mengendor.
Kebetulan, di tahun 1985, ketika rezim Soeharto menggelar perayaan 30 tahun Konperensi Asia Afrika, sebagai reporter harian “Sinar Harapan”, saya aktif meliput peristiwa tersebut.
Peringatan 30 tahun Konperensi AA itu, menjadi momen yang ikut mengangkat “bargaining position” Indonesia di percaturan politik global.
Buktinya antara lain dari sikap RRT.
Negara terbesar penduduknya di dunia itu yang di tahun 1985 sekaligus juga merupakan salah satu sentra kekuatan komunis di dunia, secara khusus mengirim Wu Xuqien, Menteri Luar Negerinya.
RRT beralasan, para pemimpinnya pun ikut menghadiri Konperensi AA pertama yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok (GNB).
Kedatangan Menteri Luar Negeri Wu Xuqian, nyaris menimbulkan persoalan protokol ketata negaraan berikut keamanan.
Sebab saat itu, Indonesia – RRT tidak punya hubungan diplomatik.
Dan putusnya hubungan diplomatik kedua negara, disebabkan oleh persoalan pemberontakan PKI pada 30 September 1965.
RRT oleh Indonesia, dituding sebagai pendukung PKI yang melakukan pemberontakan.
Putusnya hubungan diplomatik, diikuti oleh larinya seumlah warga Indonesia keturunan Cina, ke RRT.
Menlu Wu Xuqien yang ketika tiba di Jakarta, menginap di Hotel Borobudur Intercontinental, memaksa ke Bandung, serta merta menimbulkan persoalan dalam bidang keamanan.
Sebab Wu Xuqien disertai penerjemah, seorang warga RRT, kelahiran Semarang, Jawa Tengah, juga menimbulkan berbagai spekulasi.
Penterjemah yang mahir bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ini - saya lupa namanya, dicurigai agen komunis yang melarikan ke RRT pasca pemberontakan PKI.
Ajang peringatan tiga dekade Konperensi AA, menjadi bukti bahwa RRT sebagai negara besar, tidak merasa malu, berani mengambil resiko mengirim Menlu-nya.
Tapi sekali lagi, inilah salah satu yang membuat saya bangga dengan perayaan 30 tahun Konperensi AA dan senang melihat rezim Jokowi merawat diplomasi Indonesia.
Di ajang itu pula, saya bertemu Menlu Filipina Pacifico Castro.
Menlu Filipina ini, baru beberapa hari diangkat oleh Presiden Ferdinand Marcos, menggantikan Arturo Tolentino, yang dipecat. Tolentino dipecat Marcos, karena dianggap tidak cakap berdiplomasi dengan AS.
Filipina – AS saat itu punya persoalan dengan dua pangkalan militer. AS memiliki sejumlah pasukan tempurnya di Pangkalan Militer Angkatan Laut di Teluk Subic dan Angkatan Udara di landasan Clark.
Kedua pangkalan itu dihadirkan AS – dalam rangka menjaga wilaya Asia Tenggara dari kemungkinan didominasi oleh militer RRT dan Uni Sovyet – yang keduanya, negara komuns.
Kehadiran pangkalan militer AS itu menjadi sensitif, setelah AS terusir dari Vietnam, April 1975.
Setelah pasukan-pasukan AS kalah menghadapi gerilyawan komunis Vietkong dari Vietnam Utara menyerbu Vietnam Selatan yang dijaga AS.
AS pun, pasca kekalahan di Perang Vietnam, memperkuat pangkalan militernya di Filipina,
Tapi di tahun 1985 itu, Marcos sudah mulai berubah sikapnya.
Sebagai penanda-tangan piagam ASEAN, Marcos mulai berpikir bagaimana cara menutup kedua pangkalan militer AS di negaranya, tanpa menimbulkan kegaduhan.
Sebab salah satu kesepakatan ASEAN, kawasan Asia Tenggara harus bebas dari pangkalan militer asing.
Selain itu di Filipina Selatan, Marcos diganggu oleh MNLF (Moro National Liberation Front) pimpinan Nur Musiari.
MNLF yang ingin memisahkan Filipina Selatan dari Manila, mendapat bantuan dari Libya, negara yang saat itu dipimpin oleh Moamer Khadafy sekaligus “ditakuti” oleh Washington.
Inilah persoalan penting yang harus diatasi Menlu (baru) Pacifico Castro. Menutup Pangkalan Militer AS dan menjaga keutuhan Filipina dari Utara sampai Selatan.
Masih terngiang-ngiang dalam ingatan, ucapan Menlu Pacifico Castro di kantornya, beberapa minggu kemudian di Manila, setelah pertemuan kami di Bandung :
“Monsieur, bukan kami, Filipina yang bergantung kepada Amerika, tapi Amerika-lah yang bergantung pada Filipina. Subic dan Clark ditutup, Filipina akan tetap eksis”, ujarnya dalam Bahasa Prancis.
Pangkalan AS memang baru ditutup tahun 1991. Tapi embrionya, sudah dimulai di tahun 1985.
Marcos sendiri ditumbangkan oleh “People Power” pada 28 Pebruari 1986. Kurang dari satu tahun setelah peringatan Konperensi AA Bandung.
Pada tahun 1989, peta politik global mengalami perubahan secara fundamental. Kekuatan anti-komunis yang dipimpin AS berhasil ‘memenangi’ Perang Dingin yang sering disebut sebagai Perang Ideologi.
Tapi ada pula yang menilai, kekalahan blok komunis dalam Perang Dingin itu, justru membuktikan negara yang tidak berpihak ke blok manapun yakni Non-Blok yang keluar sebagai pemenang.
Alasannya, kemenangan AS di Perag Dingin, tidak membuat empati dan simpati dunia pada Washington, membesar.
Justru sebaliknya. Semakin banyak konflik dan negara yang memusuhi AS.
Dengan kata lain, Indonesia sebagai pelopor berdirinya GNB, secara ideologi internasional, justru yang memenangkan pertarungan antar blok.
Maka tidak heran, keberhasilan Filipina menutup dua pangkalan AS di tahun 1991, tidak lepas dari pengaruh kemenangan Indonesia sebagai pemimpin GNB.
GNB sekarang memang sudah mati suri.
Peran Indonesia di dunia diplomasi pun ikut tergerus. Termasuk peran di ASEAN.
Pada 28 April 2014, Filipina merevisi kesepakatannya dengan AS. Membuka kembali dua pangkalan milIter yang sempat ditutupi tahun 1991.
Yang memprihatinkan, Filipina membuka kembali pangkalan AS itu, tak lama setelah mendapat ancaman dari RRT.
Pembukaan pangkalan militer AS ini semakin menunjukkan - kesepakatan ASEAN secara terang-terangan dilanggar oleh Filipina - salah satu anggotanya.
Dalam konteks itu saya menilai Filp[ina tidak pantas menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan 50 Tahun Berdirinya ASEAN.
Dalam keprihatinan itu pula saya terpaksa merenung, sedih, sebab pemerintahan saat ini abai dengan persoalan ASEAN.
Dengan penuh kerendahan hati pula terpaksa saya menyampaikan sesuatu yang melebihi kewenangan warga biasa bahwa Presiden Jokowi Tak Mampu Merawat ASEAN !
Nuwun Sewu Pak Presiden.
Penulis: Derek Manangka, Jurnalis veteran.