[PORTAL-ISLAM.ID] Kekalahan telak memang menyakitkan bagi semua orang, termasuk bagi pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama (Ahok).
Setelah kalah telak 2 digit dari pasangan Anies-Sandi yang secara akademik memiliki kemampuan lebih mumpuni daripada pasangan Ahok-Djarot, rasa ngilu akibat kekalahan itu masih harus ditambah dengan rasa pedih akibat vonis penjara 2 tahun yang harus diterima Ahok akibat telah bermain-main dengan ayat ke 51 dari surat Al-maidah.
Setelah vonis yang jatuh tanggal 9 Juni 2017 itu, para pendukung Ahok lintas profesi dan usia, perlahan-lahan mulai bangkit dan belajar move on, melupakan kepahitan kekalahan 2 kali berturut-turut.
Apa daya, setelah mencoba bangkit, mereka kembali dihantam gelombang euforia pelantikan Anies-Sandi yang segera disusul pemenuhan janji penutupan Alexis.
Ibarat orang kalah tinju, para pendukung Ahok mengalami KO berkali-kali. Babak belur.
Lumrahnya orang yang babak belur, ada sepercik dendam kesumat yang menanti datangnya hari pembalasan.
Dalam berbagai kesempatan, aksi balas dendam itu muncul. Mulai dari aksi mocking, cyber bullying, walk out sampai memberi informasi palsu pada publik. Sejenis black campaign pada masa kampanye.
Aksi pemberian informasi palsu ini mulai marak terjadi selepas Anies Sandi dilantik. Pelakunya, para jurnalis yang secara pribadi mendukung Ahok dan secara institusi memiliki arah redaksional untuk mengkritisi tajam segala kebijakan Anies-Sandi. Klop kan? Iya.
Lihat saja contohnya Nibras Nada Nailufar, seorang jurnalis Kompas yang belum lama "tercyduk" dan di"cucibersih" netizen. (Baca: Brutal dan Tendensius, Jurnalis Ahoker DISKAKMAT Netizen)
Nibras Nada, hanya melakukan tugasnya sebagai jurnalis. Menulis dan menginvestigasi narasumber. Memang bukan salah Nibras, jika kebetulan narasumber yang ditemui juga sama-sama pendukung Ahok.
Kesalahan fatal Nibras, jika boleh dibilang demikian, adalah menuliskan judul berdasarkan ucapan narasumber tanpa melakukan check and re-check (kita tidak bisa berharap seorang Ahoker bisa melakukan check and balance, bukan?).
Akibatnya, konstruksi tulisan yang baik dan kokoh, dengan mudah dihancurkan oleh warganet yang kebetulan berdomisili di area yang sama dengan narasumber Nibras, bahkan lebih mengetahui detail sang narasumber.
Tak berhenti sampai di situ. Kecerobohan Nibras berakibat lebih fatal, terbongkarnya jejak digital Nibras sebagai pendukung Ahok. Salah? Tentu tidak. Tetapi publik menjadi lebih mudah melabeli produk jurnalisme Nibras sebagai produk kebencian akibat kekalahan telak yang amat sangat perih.
Tampaknya akan masih banyak Nibras lain, jurnalis sekaligus pendukung Ahok yang siap untuk memlintir, menyembunyikan fakta, melebih-lebihkan keburukan dan menghabisi Anies-Sandi.
Tugas publik adalah menjaga kewarasan dengan menyaring dan mengklarifikasi. Memberi guyuran informasi akurat seperti yang dilakukan Taufik Rendusara kepada Nibras. [*]
TERCYDUK !!!— Patriot Bangsa (@bangsa_patriot) November 16, 2017
JAHATNYA WARTAWAN KOMPAS YG TERNYATA SEORANG AHOKER
NIBRAS NADA NAILUFAR
Nibras Nada, demikian nama jurnalis Kompas yang mendadak tenar karena mendapat serangan telak dan mematikan dari seorang warganet. pic.twitter.com/rILZ0aHDGM