[PORTAL-ISLAM.ID] Ada pepatah yang menggambarkan “kecuekan” atau “ketidakpedulian” satu pihak terhadap pihak lain dalam konotasi yang meremehkan. Pepatah itu adalah, “Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu”. Yang diremehkan adalah “anjing yang menggonggong”. Dan yang meremehkan adalah “kafilah yang sedang lewat di depan anjing”.
Tetapi, peribahasa itu sudah terbalik. Terbalik menjadi, “Kafilah Menggonggong, Anjing Berlalu.” Supaya agak cantik sedikit, kita ganti menjadi “Kafilah Menjerit, Anjing Berlalu.” Dalam hal ini, “kafilah” yang sekarang diremehkan dan dilecehkan oleh “anjing”.
Khusus untuk tulisan ini, “kafilah” adalah “rakyat” yang sejatinya berposisi kuat dan berdaulat. Rakyat tidak terpengaruh oleh ribut-ribut yang ditunjukkan oleh “anjing”. Atau, kekuatan rakyat tidak terpengaruh oleh gonggongan orang-orang yang berniat buruk. Sekali lagi, rakyat kuat, rakyat berdaulat.
Tapi, itu dulu. Sekarang, “kafilah” atau “rakyat” menjadi tak berdaya. Tak dipedulikan. Kedaulatan “kafilah” dilecehkan. Sebab, “anjing-anjing” telah berubah menjadi kekuatan dahsyat. Yang menjerit (menggonggong) justru “kafilah”, bukan lagi “anjing”.
Syahdan, anjing tidak lagi sepele sebagaimana penafsiran pepatah asli “Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu.” Kedua pihak di dalam peribahasa ini telah berganti posisi. Sekali lagi, hari ini “Kafilah Menjerit, Anjing Berlalu”. Berlalu dengan santai!
Hari ini, “kafilah rakyat” menjerit kepedihan. Dalam arti, betapa beratnya kehidupan sehari-hari mereka yang semakin lemah oleh tekanan dan kesewenangan kalangan korporasi yang berperan sebagai “anjing-anjing” yang berubah menjadi sangat kuat. “Kafilah rakyat” yang jumlahnya banyak, menjadi terbirit-birit. Daya beli berkurang, lapangan kerja semakin sulit, sementara jenis pungutan resmi bertambah terus. Harga-harga semakin menguras.
Semakin deras jeritan “kafilah rakyat”, semakin ganas pula pemangsaan yang dipamerkan anjing-anjing korporasi. “Kafilah rakyat” menjerit minta ampun, tetapi anjing-anjing semakin menunjukkan perilaku kehewannyanya. Para anjing melakonkan “pesta hyena” ala gurun Afrika. Hyena adalah “dubuk”, yaitu hewan mirip srigala (dus, mirip anjing juga) yang kerap dijumpai di padang belukar Afrika. Mereka, dengan “teknik korporasi”, biasanya mengepung mangsa untuk ditumbangkan dan disantap beramai-ramai.
Celakanya, para penjaga keamanan “kafilah rakyat” cenderung tutup mata. Bahkan, para satpam di sepanjang jalan yang dilalui anjing malahan mencegah agar kafilah tidak menjerit. Satpam mengeluarkan regulasi yang menyulitkan kafilah untuk menjerit, mengkritik, memprotes. Satpam memihak kepada anjing.
(DISCLAIMER: Tolong jaga pikiran Anda agar tetap fokus dalam konteks pepatah “Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu” yang kini menjadi terbalik, supaya kata “anjing” di tulisan ini tidak dimaknai sebagai penistaan. Hendaklah “anjing” dilihat sebagai bagian yang utuh dari pepatah aslinya).
Di mana-mana, “anjing-anjing korporasi” bisa berkeliaran sambil memangsa apa saja yang menjadi milik “kafilah rakyat”. Inilah makna dari pepatah yang
Anjing telah menguasai “kafilah rakyat”. Diam-diam atau terang-terangan, anjing dibantu oleh predator-predator lain yang seharusnya melindungi kafilah. Predator-predator itu ada di tengah kafilah. Mereka mirip dengan kafilah. Pengkhianat diantara kafilah. Hak esensial dan krusial atas tanah (lahan), secara masif telah berpindah dari tangan “kafilah rakyat” ke tangan “anjing-anjing korporasi”.
Perekonomian rakyat tidak lagi di tangan kafilah. Rakyat yang mencoba keluar dari situasi pengepungan ekonomi dan bisnis, sama sekali tak berdampak. Rakyat tak “dianggap” alias tak “diterge”. Rakyat yang menjerit-jerit, tak dihiraukan. Rakyat “dicueki”.
Ketika rakyat berteriak-teriak melihat kesewenangan dalam pelanggaran peraturan-perundangan, “anjing-anjing korporasi” tidak terganggu. Mereka berlalu begitu saja. Tidak ada pihak yang berani bertindak. Kekuatan dahsyat “anjing” bisa membolak-balik prosedur penegakan hukum. Artinya, bila perlu, “anjing-anjing korporasi” bisa membangun gedung dulu, IMB belakangan. Bisa merambah hutan dulu, Amdal belakangan. Membuat pulau tiruan dulu, izinnya menyusul.
Inilah era terbalik. Era “Kafilah Menjerit, Anjing Berlalu”. Kafilah rakyat berteriak sekuat-kuatnya melalui DPR atau medsos, tidak ada artinya bagi “anjing-anjing korporasi”.
Untuk saat ini, pemulihan peribahasa “Kafilah Menjerit, Anjing Berlalu” menjadi bentuk orisinalnya “Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu” kelihatannya akan memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Upaya untuk memulihkan martabat kafilah, tidak ringan!
Penulis: Asyari Usman, Ex Jurnalis BBC3