[PORTAL-ISLAM.ID] KPK vs Setnov Jilid Dua: Pertarungan Hidup-Mati Bagi Kedua Pihak
By Asyari Usman
Dulu, Saddam Hussein mengatakan kepada Presiden George Bush Sr bahwa Amerika Serikat (AS) akan menghadapi “the mother of battles” (induk segala pertempuran) kalau dia (Bush) berani menghadapi tentara Irak yang menduduki Kuwait di tahun 1990. Tetapi, “induk segala pertempuran” itu tidak terbukti. AS dengan mudahnya menyingkirkan tentara Irak dari Kuwait.
Dalam jilid dua drama KPK vs Setya Novanto (Setnov) yang baru saja dimulai dengan penetapan status tersangka untuk kedua kalinya terhadap Ketua DPR itu, saya ingin meminjam “branding” yang dipopulerkan oleh Saddam tsb. Menurut hemat saya, “the mother of all battles” (induk segala pertempuran) versi e-KTP ini hampir pasti akan terjadi, sebagaimana digambarkan oleh Pak Saddam.
Kedua pihak, KPK dan Setnov, akan mengerahkan semua “senjata” dan sumberdaya untuk memenangkan pertempuran hukum ini. Setelah dikalahkan oleh Setnov di praperadilan, kali ini KPK pasti telah menyiapkan segala kemungkinan. Bagi KPK, Setnov tidak boleh lagi lepas dari kejaran hukum. Begitu juga sebaliknya. Setnov merasa kemenangannya di prapradilan semakin meyakinkan dirinya bahwa KPK tidak akan bisa menang.
KPK, menurut hemat saya, melihat kasus e-KTP, khsusnya upaya untuk membekuk Setnov, sebagai taruhan terbesar sejak lembaga itu berdiri. Pembuktian korupsi dan hukuman terhadap Setnov menjadi sangat krusial.
Inilah yang akan memicu “all out war” (perang total) antara kedua pihak. Jadi, kita akan menyaksikan “the mother of all battles” dalam makna yang sebenarnya. Bukan dalam arti ecek-ecek.
Drama jilid dua antara KPK dan Setnov akan menjadi “masalah hidup-mati” bagi kedua pihak. Bagi KPK, jilid dua ini harus membuat Setnov “knocked-out” (KO). Minimum. KPK tidak boleh menang TKO (technical knocked out), alias “menang basa-basi”. Dalam bahasa jalanannya, KPK melihat Setnov harus “padam” once and for all (tuntas). Harus menghuni penjara. Ini kira-kira sasaran KPK. Lembaga antikorupsi itu harus menang, tidak mengenal posisi “runner-up”. Yaitu, posisi yang nantinya masih bisa “dihibur-hibur” kalau mereka kalah di tangan Setnov.
Artinya, kalau KPK kalah untuk kedua kalinya dalam petempuran melawan Setnov, konsekuensi logisnya adalah “closing down the business”. Tutup. Membubarkan diri atau dibubarkan. Tidak ada “win-win solution”. Hanya ada “must win solution” (harus menang). Bagi KPK, kalah alias “dirawat di RS” bukan pilihan.
Bagaimana dengan Setnov? Beliau pun begitu juga. Hanya ada satu opsi: menang. Kalah adalah kehancuran total Setnov. Dia akan diusir dari Golkar dan dari DPR. Orang Melayu mengatakan, bakal “terbuang buruk”. Hampir pasti tidak akan ada lagi tempat bagi Setnov di panggung politik. Kecuali dia mau buat parpol baru setelah KO lawan KPK.
Kemudian, bagaimana prediksi jalannya pertempuran? Pasti seru. Karena sentrum pertarungan ini adalah integritas kedua pihak. Soal harga diri. Dalam banyak contoh, orang akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela harga diri. KPK dan Setnov sadar bahwa pertarungan mereka di babak kedua ini, tidak main-main.
Hanya saja, ada perbedaan kontras persepsi mayoritas rakyat terhadap kedua pihak. Di mata rakyat, KPK mengemban misi yang mulia untuk memberantas korupsi. Dus, KPK turun ke medan perang dengan landasan moralitas yang sangat kuat meskipun banyak masalah di internal KPK. Sedangkan Setnov kebalikannya. Bagi rakyat, dia tidak lagi memiliki pijakan moral, setelah nama beliau banyak disebut di berbagai dokumen proyek e-KTP dan di dalam persidangan sejumlah terdakwa skandal besar ini.
Untuk pembahasan KPK-Setnov jilid dua ini, perlu kita buat kesimpulan agar kita tidak keliru melihat kedua pihak.
Pertama. Dengan segala kekurangan dan problem internalnya, Indonesia memerlukan KPK. Sebaliknya, dengan segala catatan negatif tentang Pak Setnov, Indonesia tidak memerlukan Setya Novanto. Indonesia sudah terlalu banyak buang-buang waktu dan sumberdaya untuk orang-orang seperti beliau. Mohon maaf sekali, Pak Ketua.
Kedua. Kalaupun banyak masalah internalnya, KPK masih bisa kita perbaiki melalui berbagai strategi dan tindakan yang sifatnya regulatif. Sedangkan sebaliknya, personalitas seperti Pak Setnov kelihatannya akan menimbulkan mudarat yang lebih besar lagi bagi rakyat Indonesia, khususnya bagi pendidikan politik bangsa yang bertujuan untuk membersihkan negara dari mentalitas koruptif.