[PORTAL-ISLAM.ID] Kelompok bersenjata di Papua, yang menamai diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), menyampaikan delapan syarat kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik bersenjata di daerah itu.
Itu termuat dalam laman tpnpbnews, yang menjadi medium informasi kelompok bersenjata di Papua. Delapan syarat itu yakni:
1. Penutupan PT Freeport Indonesia di Tembagapura.
2. Menarik keluar militer organik dan non-organik dan menggantikannya dengan pasukan keamanan dari Perserikatan Bangsa-bangsa.
3. Pemerintah Indonesia harus menyetujui pelaksanaan pemilihan bagi warga di Papua untuk menentukan nasib dirinya sendiri.
4. Pemerintah Indonesia harus menyerahkan pemerintahan daerah Papua dan Papua Barat lalu menyerahkan pengelolaannya ke PBB.
5. Juru runding harus menggunakan wakil militer Papua dari TPNPB, gerakan sipil dalam negeri dan diplomat luar negeri.
6. Penandatanganan perjanjian damai dimediasi oleh PBB.
7. Hal lain yang menyangkut pelaksanaan referendum dan juru runding dapat dilanjutkan jika Indonesia menyetujui tawaran dari TPNPB.
8. TPNPB menolak tawaran apa pun jika keenam butir sebelumnya tak disetujui.
"TPNPB tidak akan berhenti berperang. Perang melawan militer Indonesia di Papua akan lakukan sampai pada puncak tawaran ini disetujui," tulis laman itu, dikutip Rabu, 15 November 2017.
Dalam laman yang menjadi penyedia informasi pergerakan TPNPB di Papua ini, menuliskan jika pergerakan mereka yang kini dituding kelompok kriminal oleh kepolisian itu dipimpin oleh Endalek Koyoga, yang didaulat sebagai komandan operasi.
Mereka sementara berbasis di kawasan Tembagapura. "Kami sudah patok wilayah perang, dari Utikini, Gresberg dan Porosait, kalo lewat kami tembak jadi awas jangan ke tembagapura," tulis laman itu dalam sebuah artikel berjudul, INi Zona Perang Areal Tembagapura yang diunggah pada 9 November 2017.
Sebelumnya pada pekan lalu dikabarkan sedikitnya 1.300 warga di Desa Banti dan Kimbely Kabupaten Timika Papua tepatnya di kawasan Tembagapura Freeport telah terjadi 'penyanderaan' oleh kelompok bersenjata.
Mereka melarang warga desa untuk keluar atau masuk ke wilayah itu, dan membantah telah melakukan penganiayaan atau pemerkosaan seperti kabar yang beredar di publik.
"Kami tahu aturan perang. Masyarakat, wartawan kami lindungi," kata Endalek.