Oleh: Frangky Hamzanov*
(01/11/2017)
Saya terbilang “rajin” mengunjungi tempat-tempat gituan. Mulai dari Pangeran Jayakarta, Kelapa Gading, Mangga Besar, Kuningan, Kemang dan tidak alpa menghirup udara “surga” di lantai 7 di bilangan Utara Jakarta. Menghirup udara “surga” bukan berarti mencuci “kepala Busi” yang berkarat. Tepatnya, saya melakukan riset.
Dari tempat-tempat yang disebut di atas, tidak terbantahkan ada transaksi seksual; Prostitusi. Tentunya praktek dan tata kelolanya berbeda dengan Lokalisasi prostitusi Konvensional. Pengelolaan Lokalisasi Prostitusi Konvensional, sebut saja Dolly tidak menggunakan manajemen modern dan transaksi dilakukan secara langsung antara konsumen dengan PSK. Sedangkan di tempat-tempat tersebut di atas, pengelolaannya menggunakan manajemen modern, salah satunya adalah transaksi disentralkan melalui kasir dan memberdayakan peranan “Mami” dan “Papi” secara sistemik, bahkan khusus di beberapa tempat juga memperdagangkan “barang impor” dari tiongkok, vietnam, Uzbekistan etc dengan sistem dan harga jual yang berbeda dengan "barang lokal"..
Peranan “Mami” dan “Papi” di rumah bordil konvensional berbeda dengan rumah bordil kontemporer. “Mami” dan “Papi”di rumah bordil konvensional adalah sebagai pengelola atau pemilik rumah bordil. Sedangkan di rumah bordil kekinian, “Mami” dan “Papi” adalah sebagai pengasuh PSK dan mata rantai dari proses rektuitmen PSK di dalam negeri yang bertanggung jawab kepada manajer. Mereka secara berkesinambungan mendapatkan upah dari transaksi seksual jika anak asuhannya dipakai. Namun demikian konsep rekruitmen calon PSK di dalam negeri masih menggunakan pola lama, yaitu melalui mucikari; Mami, Papi, pemuda-pemuda sekampung yang bekerja di rumah bordil tersebut dan menggunakan konsep “barang baru stok lama” yang silih berpindah tempat. Sedangkan “barang impor” agak susah dilacak proses rekruitmennya. Boleh jadi melalui agen prostitusi internasional.
Di rumah bordil kekinian, Jika seorang PSK laris manis di pasaran, maka untuk mengikat PSK tersebut agar tidak berpindah tempat, manajemen memberikan pinjaman uang kepada PSK tersebut dalam jumlah yang signifikan, tentunya akan dibayar dengan cara mencicil setiap minggu atau bulan. Biasanya pinjaman uang itu digunakan oleh PSK di dalam negeri untuk membangun rumah di kampung halamannya. Dan PSK itu di-push untuk sebanyak-banyaknya melayani tamu setiap hari sampai letoy.
Delik Perbuatan Cabul
Belum lama ini publik dihebohkan dengan “prostitusi Online (daring)” yang melibatkan artis NM dan PR sebagai PSK. Sayangnya, hanya mucikarinya yang dipidana dengan Pasal 506 KUHP . Namun terhadap praktek prostitusi di rumah bordil kontemporer, sebagaimana disebutkan di atas, nampaknya pihak penegak hukum lambat bergerak. Padahal unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 296 KUHP dan 506 KUHP telah terpenuhi.
Memang disadari ada “missing link” terkait dengan delik Perbuatan Cabul yang diatur dalam KUHP, yaitu pelaku prostitusi, baik lelaki hidung belang maupun PSK tidak dapat dijerat atau dipidana, cuma dijadikan sebagai saksi. Bahkan menurut Undang-Undang No: 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penjaja seks (PSK) justru kerap dianggap sebagai korban dari tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 296 KUHP yang dikenal dengan sebutan Pasal “Bordeelhouderij” hanya menyasar dan/atau menjerat pengelola rumah bordil, yaitu orang yang menyediakan fasilitas berupa rumah, kamar atau tempat tidur bagi seorang laki-laki dan perempuan untuk berbuat cabul atau persetubuhan yang tercela dan Pasal 506 sampai dengan Pasal 509 KUHP menjerat Mucikari, sebagaimana dilakoni oleh Mami dan Papi tersebut di atas. Namun dalam praktek, terminologi “pengelolaan rumah bordil” dan “Mucikari” acap tersamarkan. Akibatnya "The Big Boss" selalu aman dan selamat dari penghukuman. Dan ironisnya pula, ancaman hukuman terhadap pengelola rumah bordil dan mucikari di dalam KUHP terbilang sangat rendah.
Di luar KUHP, terdapat regulasi yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi, yaitu Pasal 42 ayat (2) PERDA DKI No: 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, namun lagi-lagi ancaman hukumannya terlalu rendah. Bunyi Pasal 42 ayat (2) PERDA DKI No: 8 Tahun 2007: “setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial.”
Ancaman hukuman dari pelanggaran Perda ini adalah pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp30 juta (Vide Pasal 61 ayat 2 Perda DKI No: 8 Tahun2007).
Demikian sekelumit warna-warni kusut dan buram di rumah bordil kontemporer. Semoga Anies dan Sandi melanjutkan gerakan serial menutup rumah-rumah bordil di Jakarta, tanpa eksepsionalitas. Sudah barang tentu harus dibarengi dengan problem solving atas problem ketenagakerjaan yang menghadang. Persetan dengan celoteh murahan dan amoral dari Ahokers.***
__
*Sumber: fb penulis