"Jalan Yang Saya Pilih"
Oleh: Felix Siauw
(Mualaf, Tionghoa)
Saya dilahirkan bukan di jalan dakwah, jangankan itu, mengenal Islam saja tidak. Lebih lagi, (dulu) saya membenci Muslim dan juga segala penampakan dan semua identitasnya.
Saya tak suka dengan Muslimah berkerudung, bagi saya fanatik, sok suci, belum tentu juga hatinya baik. Saya tak nyaman saat Muslim taat pada agamanya, ekstrim bagi saya.
Dulu bagi saya harusnya seorang Muslim tidak usah bawa-bawa agamanya, toh saya juga tidak bawa-bawa agama saya dalam kehidupan, jangan mau menang sendiri.
Apalagi saat mendengar ada Muslim yang ingin menerapkan aturan agama mereka jadi hukum negeri. Wah, langsung saya tunjuk mereka itulah calon teroris.
Tapi itu dulu, sebelum saya mengetahui keindahan Islam, juga segala kehebatan yang tersimpan di dalamnya. Saya jatuh hati, setelah Islam menundukkan rasio saya.
Kini istri saya berhijab syar'i, anak-anak perempuan saya juga sama, kita mengajarkan pada mereka, bahwa ketaatan pada Allah adalah hal utama, jangan pedulikan manusia.
Sekarang syariat dan ketentuan Allah selalu saya rujuk tiap kali memiliki masalah hidup, sebab saya sudah membuktikan bahwa taat pastilah bahagia, maksiat pastilah sengsara.
Saat ini tiap bangun pagi saya selalu berpikir, bagaimana cara lebih mudah dan lebih cepat untuk menyadarkan ummat, agar mau menerapkan Kitabullah dan Sunnah dalam hidup.
Memang yang membenci itu karena miskin ilmu, begitu pula yang menentang Islam itu karena tak tahu. Bila tidak keduanya, maka pastilah karena mereka dzalim.
Bagaimana bisa kebaikan itu ditolak, bagaimana mungkin Islam itu dicurigai sebagai inspirasi radikalisme? Bagaimana bisa di negeri yang mayoritas Muslim, Islam dinista?
Dulu saya benci Islam, kini saya mencintai Islam. Dulu tidak ada pikiran saya di jalan dakwah, sekarang saya ingin berada diatas jalan ini, ketika hidup dan saat mati.
Tak mudah saya dapatkan Islam, hingga tak mungkin saya tinggalkan jalan dakwah, Sebab saya berharap dengan dakwah itulah saya bisa meminta surga pada Allah.[]