[PORTAL-ISLAM.ID] Soal “walkout” dalam perdebatan politik di Parlemen adalah hal yang wajar. Namun jika Tuan Rumah “walkout” dalam sebuah acara resmi disaat tamu memberikan kata sambutan, maka hal demikian adalah ketidakadaban atau menyebut dengan kata lain "kurangajar". Apalagi forum itu digunakan untuk menohok tamu yang diundang.
Peristiwa walkout Ananda Sukarlan, alumni Kolese Kanisius dan beberapa alumnus lainnya di saat Gubernur DKI menyampaikan kata sambutan pada acara Peringatan 90 Tahun berdirinya Kolese Kanisius, selain merupakan ketidakadaban, juga mengemuka sebagai geliat politik praktis yang mencederai mission de sacre (misi suci) dari Lembaga Pendidikan Kanisius. Bahkan kalau tidak dianggap lancang, saya ingin mengatakan bahwa penohokan yang diverbalisasikan oleh Ananda dalam perhelatan itu menggerinda tanpa ampas Doktrin Kasih.
Soal pidato singkat Ananda yang pada pookoknya mengatakan: “kita telah mengundang seseorang yang mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang berbeda integritasnya dan nilai-nilainya yang diajarkan kepada kita di Kanisius” patut dipertanyakan, apakah memang benar Anis mendapatkan jabatan sebagai Gubernur DKI telah menyimpangi tata nilai dan ajaran-ajaran Kanisius? Dan ajaran Kanisius yang mana yang dimaksud?.
Terdapat 4 (empat) tata nilai yang dihikmati atau menjadi pedoman oleh Lembaga Pendidikan Kanisius yang bernapaskan Iman Katolik, yaitu: Competence, Compassion,Comitment, dan Conscience.
Dari keempat tata nilai itu mendaging pula spirit “Ignatian” yang menempatkan “Man for and with others” dan kejujuran sebagai puncak kemakrifatan Tuhan, sebagaimana termaknai dari ajaran Ignatius Loyola, Teolog, pendiri Tarekat Religius Societa Jesu, Serikat Yesus: “Ad Maiorem Dei Gloriam” (demi semakin bertambahnya kemuliaan Tuhan).
Adalah subyektifitas dan kedogolan nyata jika Ananda menghubung-hubungkan kemenangan Anis dengan ajaran atau tata nilai Kanisus tersebut di atas. Karena sesungguhnya Anis lebih “Kanisius” dari Ananda atau siapapun yang hadir di sana.
Saya melihat ada pemaknaaan yang keliru atau sengaja dikelirukan oleh Ananda dalam menelisik kontestasi Pemilukada DKI. Bahkan kentara sebagai sikap sakit hati, krn jagoannya keok.
Ananda memaknai kontestasi dalam demokrasi dengan menggunakan tafsir tunggal menurut selera keliaraannya. Dia lupa, bahwa tafsir tunggal dalam memaknai suatu hal dalam kehidupan manusia adalah kecelakaan berpikir, sebagaimana membahasakan teori Realisme Grotesk dari Mikhail Bakthin (1984): “Koeksistensi merupakan alternatif untuk melihat dunia dan kehidupan manusia tidak dengan sudut pandang tunggal. Penohokan Ananda adalah otoritarianisme pikiran.
Penulis: Franky Hamzahnov
Sumber: fb