[PORTAL-ISLAM.ID] Imam Besar FPI Habib Rizieq dan Pimpinan GNPF-Ulama Ustadz Bachtiar Nasir menjadi idola aktivis Rohis di Sekolah Menengah Atas (SMA) wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Temuan itu berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2017. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Abdul Rahman Mas'oed mengatakan, Habib Rizieq dan Ustaz Bachtiar Nasir lebih populer di kalangan aktivis Rohis, dibanding tokoh-tokoh Islam moderat.
"Tokoh-tokoh seperti Quraish Shihab dan Gus Mus (Ahmad Mustofa Bisri) tidak populer di kalangan pelajar aktivis di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Justru paling populer yang paling dirujuk mereka di mata mereka Bachtiar Nasir dan Habib Rizieq," kata Mas'oed di Hotel Aone, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa, 28 November 2017.
Kepopuleran Habib Rizieq dan Ustaz Bachtiar Nasir menggeser ketokohan seperti almarhum KH Hasyim Muzadi dan KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Keduanya masuk urutan populer kedua di mata para siswa aktivis rohis.
Sedangkan, tokoh muslim seperti KH Muhammad Quraish Shihab dan KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus masuk urutan populer ketiga dalam padangan mereka. "Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin itu disebut tidak populer di mata pelajar aktivis itu," ujarnya.
Mas'oed menegaskan perlu adanya penyuluhan dan pengawasan dari paham-paham yang tumbuh di organisasi Rohis di sekolah-sekolah umum. Mereka lanjut Mas'oed, membutuhkan orang-orang yang lebih paham tentang agama Islam untuk membina mereka. Karena selama ini, mentoring Rohis sebagiannya dari alumni yang saat ini kuliah di perguruan tinggi.
"Tapi ideologi mereka tidak jelas, tidak ideologi yang sangat memahami soal ke-Islaman dan ke-Indonesiaan," ujarnya.
Kemudian, tambah dia, perlu juga peran organisasi-organisasi seperti Ikatan pelajar Muhammadiyah dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama masuk dan melakukan penyuluhan di organisasi Rohis di sekolah-sekolah.
Sebelumnya, dalam penelitian itu Balitbang Kemenag menyebut lembaga pendidikan madrasah lebih moderat dibanding lembaga-lembaga pendidikan lain. Penelitian itu merujuk potensi radikalisme dan ekstremisme di sekolah.
Menurut Kepala Puslitbang Kemenag, Amsal Bakhtiar, moderatisme madrasah lahir karena sejak awal siswa diajarkan agama Islam yang moderat, yang rahmatan lil alamin. "Itu sudah jadi bagian madrasah dan guru-gurunya sudah kita latih seperti itu," ujar dia.
Sementara di sekolah atau pendidikan umum hanya diajarkan dua jam mata pelajaran agama dan siswa lebih banyak berinteraksi dengan guru-guru mata pelajaran lain. Hal itu, lanjut Amsal, bisa menyebabkan tumbuhnya pemahaman radikal siswa.
Di samping itu juga, pemahaman radikal itu bisa saja tumbuh dari organisasi Rohani Islam (Rohis) yang ada di sekolah umum, karena minimnya pengawasan dari guru dan lembaga itu. Berbeda dengan madrasah yang sudah dikontrol langsung, begitu juga dengan guru-gurunya yang sudah dikendalikan Kementerian Agama. (VIVAnews)