Oleh: Raidah Athirah
(WNI, tinggal di Polandia)
Saya memang tahu nama Alexis sejak dipopulerkan oleh Pak Ahok tapi baru minggu kemarin saya melihat penampakan fisiknya sewaktu berada dalam Damri menuju bandara Soekarno-Hatta untuk kembali ke Warsawa.
Tidak ada yang istimewa dengan hotel ini. Tapi pertanyaan yang muncul:
"Mengapa aktivitasnya disamai dengan kawasan lokalisasi prostitusi Red Light di Amsterdam?"
Itulah mengapa saya pernah menulis tentang sebagian kaum yang tak tahu diri menyerang hukum Poligami tetapi dengan tenang memelihara kemunafikan terhadap praktek (maaf) "bisnis selangkangan" ini.
Kita tak perlu merasa taboo membicarakan praktik bisnis selangkangan di negeri ini seperti halnya kita mendengar perihal peredaran narkoba. Ini kenyataan pahit dan amoral di negeri yang katanya ramah ini, Bung!
Saya kadang merasa lucu sekaligus bingung atas komentar sebagian orang yang menghujat para pelaku poligami dengan mengatakan:
"Bilangnya Sunnah Nabi padahal Tukang urus selangkangan".
Mari kita buka satu persatu tentang siapa sebenarnya yang dimaksud "Tukang urus selangkangan".
Anda boleh percaya boleh tidak tapi praktik bisnis selangkangan (prostitusi) di negeri ini memang sudah berada di level kronis.
Dari cerita remaja bau kencur sampai ayam kampus sudah bukan hal yang baru kita dengar seperti bisik-bisik tetangga.
Pengalaman saya menjadi guide freelance tak ayal membawa saya pada informasi ini. Bahkan bila saya ceritakan lebih jauh, Anda sebagai orang tua mulai waspadalah terhadap teman-teman putra-putri Anda.
Mereka bahkan sudah seperti sebuah organisasi atau jaringan high class yang tidak mudah dilacak.
Jangan munafik! Kita semua tahu betul bahwa bisnis selangkangan ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya. Meskipun demikian, praktek bisnis ini tak pernah surut. Bahkan ada yang melakukannya dengan diam-diam berkedok pijat atau spa di hotel-hotel tertentu. Salah satu yang terkenal di kalangan para haiwan (manusia gila nafsu) dari Luar Negeri adalah Hotel Alexis. Bukankah ini sebuah kemunafikan?
Sampai saya pernah dengar kata-kata nasihat dari seorang sahabat:
"Jangan pernah menginap di hotel Alexis bersama keluarga atau anak-anak. Cari hotel yang lain aja!"
Perlahan dengan berjalannya waktu saya paham nasihat sahabat saya itu. Konon, cerita surga ada di Alexis sudah menjadi rahasia umum dikalangan turis pria.
Saya sendiri pernah diberitahu soal Alexis oleh seorang kawan dari Belanda sewaktu diminta menjadi guidenya. Ia sendiri juga tahu informasi Alexis ini dari temannya, orang Belanda juga.
Tak tanggung-tanggung temannya di Belanda bilang bahwa Alexis jauh lebih keren dibandingkan kawasan prostitusi Red Light di Amsterdam. Saya tidak sedang mengigau atau mengarang cerita.
Justru dari informasi-informasi seperti ini saya semakin waspada.
Oh ya kalau masih bingung mengenai kawasan prostitusi Red light di Amsterdam, saya ceritakan sedikit.
Jujur saja saya belum pernah melewati kawasan itu. Tapi beberapa film dokumenter di Netflix tentang kawasan 'merah' ini sudah saya nonton. Tentang perdagangan perempuan. Bukankah Anda yang berkoar-koar tentang Hak Asasi Manusia? Tapi mengapa masih ada perempuan yang diperdagangkan bak hewan piaraan diam saja?
Setiap orang yang ke Belanda pasti penasaran dengan kawasan ini. Begitupun teman saya asal Polandia. Dari ceritanya pula saya jadi semakin tahu dan paham mengapa tidak dianjurkan datang dengan anak-anak. Ya, apalagi kalau bukan semua jenis alat genital dipamerkan di meseum, perempuan dalam etalase menunggu konsumen dan gambar serta toko erotik bertebaran di sisi jalan. Apakah Anda memang sudah siap menerangkan kepada anak-anak?
Jangan salah (maaf) meminjam istilah Bang Iwan Fals para 'Lonte' Red light di Amsterdam ini juga membayar pajak sebagaimana para pekerja pada umumnya. Pendapatan mereka terdata. Asuransi kesehatan mereka ada. Tetapi ada juga kenyataan pahit berdasarkan data dari Alice Leuchtag, seorang peneliti dan juga penulis yang mengeluarkan informasi tentang praktik bisnis ini yang disebutnya sebagai “Human rights sex trafficking and prostitution (perspectives on prostitution)”.
Para perempuan yang tersebar di 250 rumah bordil ini ternyata 80 persen berada disana karena perdagangan perempuan dari berbagai negara. Yang harus membuka pengetahuan Anda yakni 70 persen dari para PSK ini bekerja tanpa dokumen legal, tanpa kontrak dan tanpa uang.
Dalam film dokumenter yang saya nonton di Netflix menggambarkan realita hidup mereka yang kerap diteror, dipukul, bahkan diperkosa oleh para germo itu sendiri tanpa dijamah oleh hukum.
Bukankah ini sebuah kemunafikan besar yang dibanggakan dan disebut "pengembangan diri dan pemberdayaan perempuan"?
Cuiih! Bedebah akal-akalan kalian!
Kembali tentang topik Alexis yang menyebut mereka telah berkontribusi dalam pendapatan daerah dan kesejahteraan pemerintah dengan membayar pajak sebesar 30 M per tahun.
Mengapa Pak Anis-Sandi tak tergiur?
Kalau bicara buka-bukaan bukannya Alexis telah menipu pemerintah DKI?
Secara hukum akuntansi saja (saya orang akuntansi) dunia perhotelan dikategorikan sebagai industri jasa. Ini tak lain cerita bisnis. Dalam neraca laporan keuangan pasti tertera jelas angka pendapatan (omzet) sebelum berbicara tentang pajak yang harus dibayarkan.
Permasalahannya adalah "bisnis merah" yang dilakukan Alexis ini tak tertera sehingga data yang ditemukan adalah pajak yang dibayarkan bukan keseluruhan omzet yang didapat. Silahkan Anda browsing pasti hanya informasi pajak yang didapat.
Dalam perhitungan akuntansi semua jenis transaksi dicatat dan kemudian dipisahkan kedalam neraca keuangan berupa pendapatan, pengeluaran (biaya) dari aktivitas hotel tersebut sebelum dikenai pajak hotel. Lah..., kalau tidak tercatat alias transaksi hantu trus apa yang mau dilaporkan? Dampaknya ya tentu saja ke nilai pajak akhir.
Khan kalau merujuk kepada UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi berarti aktivitas lantai 7 Hotel Alexis merupakan praktek ilegal dong!
"Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Yang dimaksud jasa penunjang adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel."
Kalau masih belum paham ya nanti kita diskusi lagi tapi saya kira Anda paham mengapa ini yang saya sebut perbedaan kemunafikan antara Alexis Jakarta dan Red light District Amsterdam.
Polandia, 2 November 2017
__
Sumber: dari fb penulis