"SETELAH AHOK"
Oleh: Akmal Sjafril
(Pendiri ITJ/Islam Tanpa JIL)
Tidak diragukan lagi, kehadiran Ahok dalam kancah perpolitikan Indonesia telah meninggalkan bekas yang begitu mendalam. Bagi sebagian orang, kehadiran Ahok sudah terlanjur dipandang sebagai ‘angin segar’. Karena itu, ‘kepergiannya’ ke balik jeruji tahanan setelah terbukti menista agama melahirkan dendam yang seolah tak berkesudahan.
Memang benar, banyak orang yang mengharapkan perubahan mendasar di negeri ini. Sebagian menginginkan perubahan yang radikal, dan itu sah-sah saja, selama tidak melanggar hukum, karena toh perubahan radikal tidak sama dengan radikalisme. Akan tetapi, keinginan akan perubahan yang radikal ini seringkali tidak disertai dengan akal sehat, sehingga yang lahir justru aksi serampangan yang sama sekali tidak mendekatkan manusia pada tujuannya.
Saat ini, memang banyak yang sudah jengah untuk bicara soal kebenaran. Begitu masifnya kampanye relativisme, sehingga agama pun dianggap relatif dan terus-menerus digugat. Di negara yang tidak pernah diatur oleh agama, setiap kali ada ketimpangan dan penyakit yang merajalela di tengah-tengah masyarakat, agamalah yang selalu dipersalahkan. Padahal, agamalah yang senantiasa bicara soal kebenaran. Karena itu, semakin banyak yang memutarbalikkan konsep kebenaran, bahkan tidak sedikit yang meragukan ada-tidaknya kebenaran itu. Ketika kebenaran sudah dikesampingkan, maka manusia akan bertindak tanpa tujuan.
Sebuah gerakan feminisme radikal, misalnya, memprotes patriarki dengan cara yang ekstrem. Dalam pandangannya, musuh utama mereka adalah pemilik industri yang mengeksploitasi perempuan, pemimpin politik yang menciptakan kebijakan yang timpang, dan juga para pemuka agama. Tentu saja, mereka juga sangat membenci ajaran Islam yang mengajari kaum perempuan untuk menutup auratnya. Sebagai bentuk perlawanan, gerakan feminis yang satu ini memilih untuk melakukan segala hal yang berkebalikan dengan kepatutan: mereka tampil setengah telanjang (atau telanjang sepenuhnya), mengunggah fotonya di media sosial, atau tampil langsung di tempat terbuka dalam keadaan demikian, untuk kemudian melancarkan serangan fisik kepada mereka yang dianggapnya musuh.
Tercapaikah tujuannya? Tentu tidak. Yang mereka inginkan adalah kesetaraan dan kehormatan, namun yang mereka perbuat justru melucuti kehormatan dirinya sendiri dan membuktikan bahwa mereka tidak setara dengan manusia normal lainnya dalam hal intelektual.
Banyak orang yang berusaha melepaskan diri dari aturan, sekedar untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah pribadi yang merdeka, bukan milik siapa-siapa, dan mampu berbuat apa saja, just because they can. Tapi manusia bukanlah hewan yang terikat dengan instingnya belaka, bukan pula makhluk yang berbuat secara acak. Kemuliaan manusia justru terletak pada nilai-nilai yang dipegang teguhnya. Itulah sebabnya, meski pilihan untuk menyelamatkan diri dari bahaya adalah sepenuhnya manusiawi, namun orang yang disebut pahlawan hanyalah mereka yang menempuh bahaya demi kepentingan bangsa, kepentingan bersama, atau keselamatan orang-orang tercinta. Ada nilai yang harus diperjuangkan, jika memang ingin mendapatkan kemuliaan.
Kini, nilai-nilai itulah yang hendak ditinjau ulang, bahkan dicampakkan jauh-jauh. Orang sudah bosan dengan politisi bermulut santun yang diam-diam korupsi, kemudian menarik kesimpulan irasional bahwa yang mulutnya kotor pastilah tidak pernah korupsi. Dulu, pejabat yang santun dan selalu tersenyum dipuji-puji, namun ternyata hasil kerjanya tidak memuaskan, karena rakyat tetap saja hidup susah. Maka, kini, rakyat jelata diajak bertepuk tangan menyaksikan para pejabat marah-marah di depan umum dan disorot kamera. Semakin keras membentak, semakin keras rakyat bersorak-sorai. Sayangnya, pengambilan kesimpulan semacam ini tetaplah irasional.
Jika memang kata-kata kotor adalah bukti tidak korupsi, maka tentu para koruptor dapat dengan mudah menyesuaikan diri. Jika marah-marah adalah solusi, maka tentu persoalan bangsa akan cepat selesai, karena sekarang kita semua sudah tahu solusinya. Tapi yang irasional tetaplah irasional. Harga-harga tetap meroket, rakyat tetap digusur, dan korupsi jalan terus.
Sejak Ahok datang, sistem nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia tiba-tiba saja terobrak-abrik. Tentu bukan karena Ahok sendiri, melainkan juga karena ekspos media yang begitu dahsyat. Sebelumnya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana seorang gubernur bisa mengucapkan kata (maaf) “tai” di siaran langsung televisi hingga berkali-kali, dan dibiarkan, bahkan ada ‘serangan balik’ di media sosial yang dilancarkan oleh para pendukung kepada pengkritiknya. Ini jelas jauh melangkahi liberalisme, sebab di negara-negara Barat yang beneran liberal pun pejabat harus menjaga lisannya. Tapi semua itu tidak berlaku buat Ahok, sebab ada sistem nilai yang telah diganti secara paksa.
Tindakan serampangan Ahok berakhir dengan vonis pidana atas tuduhan penistaan agama (setelah sebelumnya kalah telak di Pilkada). Ahok praktis telah ‘berakhir’ sejak Aksi Super Damai 212, namun tidak demikian dengan para pendukungnya. Mereka, yang masih terus memelihara cara berpikir irasional, masih terus memperjuangkan perubahan radikal atas nilai-nilai keagamaan, keindonesiaan dan ketimuran yang berlaku di negeri ini.
Kini, memaki seolah menjadi sebuah kelaziman. Ada yang terekam kamera mengancam akan memotong-motong (tubuh) tentara, ada yang menyebut orang lain yang lebih tua sebagai “tiko” (konon, artinya adalah “babi hitam”), dan seterusnya. Penghinaan terhadap Islam, agama mayoritas di negeri ini, semakin marak. Orang semakin tidak takut menampakkan kebencian di dalam jiwanya, yang selama ini mungkin mereka sembunyikan rapat-rapat.
Seorang penulis di situs Seword bahkan sudah mengabaikan etika begitu jauh, sehingga menulis sebuah artikel berjudul “Alhamdulilah, Per Pertengahan Oktober Nanti ASU pun Tidak Haram”. Singkatan ASU, yang dimaksudkan untuk Anies dan Sandiaga Uno, tentu saja mengingatkan orang pada “asu”, yang dalam bahasa Jawa yang artinya “anjing”. Klop sekali dengan ilustrasi bergambar anjing pada artikel tersebut. Bagaimana artikel itu diperkenalkan di media sosial? Begini narasinya:
“Menurut Liputan6.com, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies-Sandiaga Uno, akan dilantik pada 15 Oktober mendatang. Praktis, per pertengahan Oktober nanti, ASU memimpin Jakarta secara halal, setelah berhasil menghalalkan segala cara. Lantas, bagaimana persiapan transisi pemerintahan Ibu Kota?”
Selain menyebut ASU, sang penulis juga menyebut Anies-Sandi, yang berarti juga melibatkan segenap timses dan para pemilihnya, telah menghalalkan segala cara untuk menang dalam Pilkada. Tentu saja ini ungkapan tidak etis yang tidak disertai bukti. Tapi, rupanya, hal ini dianggap sah-sah saja sekarang.
Tentu saja, artikel itu tidak dibiarkan berlalu begitu saja oleh para pegiat medsos di tanah air. Mereka yang masih menjunjung tinggi kepribadian luhur memprotes keras dan menjadikan persoalan ini viral dalam semalam. Seorang pengamat media yang sudah lama malang-melintang di dunia jurnalistik dan kepenulisan, Yons Achmad, menyatakan protesnya melalui artikel tulisannya di situs Kanet Indonesia.
Kini, Seword telah mengganti judul artikel tersebut menjadi “Alhamdulilah, Per Pertengahan Oktober Lahir Pemimpin Baru untuk Jakarta”, dan gambar anjing telah berganti menjadi foto Anies dan Sandi. Meski judulnya telah berubah menjadi simpatik, namun isinya masih penuh sinisme terhadap lawan politik Ahok. Perubahan yang cuma ‘gincu’ ini, tentu saja, kembali mendapatkan kritik di dunia maya.
Setelah Ahok, nampaknya memang ada pihak-pihak yang memaksa agar nilai-nilai di negeri ini segera berganti. Yang benar harus dianggap salah, dan yang salah harus dicari-cari pembenarannya. Logika tidak lagi berharga, karena kini kebenaran ditentukan oleh kebisingan di dunia maya, dan opini publik (dianggap) mudah dikendalikan oleh media, baik media mainstream atau pun media sosial. Sementara itu, harga-harga masih tetap tinggi, lapangan pekerjaan pribumi direbut orang, BUMN terancam dijual, korupsi masih lestari, dan tiba-tiba saja ribuan pucuk senjata misterius tak henti-hentinya masuk ke perbatasan, sedangkan kaum irasional masih sibuk menebar makian.
Inikah wajah Indonesia yang kita cita-citakan?
___
*Sumber: http://malakmalakmal.com/setelah-ahok/