Oleh: Joko Santoso Handipaningrat
Penggunaan "kata" itu tergantung "konteks"nya.
Kata "cinta", "babi", "ketidakadilan", "penjajah", "pribumi" dlsb itu bisa multi makna. Tergantung konteksnya.
Kata "babi" yang keluar dari mulut Bu Guru ketika menjelaskan spesies mamalia... akan berbeda dengan makna "babi" dari mulut seseorang yang dikenal sering gagal mengontrol mulutnya.
Dalam konteks menjelaskan sejarah, sejumlah kosa kata yang bisa jadi dianggap tabu untuk "konteks yang lain"... justru menjadi "magic word", kata kunci... harus secara apa adanya disebut. Karena jika tidak... niscaya akan terjadi distorsi makna.
Kata "penjajah" apalagi ditambah kata "Belanda" di belakangnya pasti tak enak didengar oleh mereka yang mempredikati pejuang RI sebagai ekstremist.
Kata "pribumi" yang diucapkan apa adanya dalam konteks perjalanan sejarah nyata sebuah bangsa... wajar saja. Itu kontekstual. Yang tidak kontekstual justru yang mengungkit-ungkitnya. Ada agenda apa di belakangnya.
Jangan sampai upaya menyampaikan kebenaran, dibelokkan demi melindungi sesuatu. Menuduh rasis... untuk menyembunyikan kebusukan yang lain.
Ayo... bangun Jakarta untuk semuanya. Yang guyub, rukun, berkeadilan. Jakarta yang tidak tercabut dari akar sejarahnya.
[video - pidato Anies Baswedan]