[PORTAL-ISLAM.ID] Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia, aturan penolakan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang secara tiba-tiba oleh otoritas Amerika, jelas agak membingungkan. Hal ini, bukan saja Indonesia tidak termasuk diantara 7 negara muslim yang dilarang secara resmi oleh Presiden Trump, tetapi juga soal panglima TNI yang termasuk simbol negara tetapi justru ditolak masuk ke wilayah AS.
Saya kira, jika atas dasar klaim pihak AS bahwa "Jenderal Santri" ini dianggap dekat dengan kalangan muslim "garis keras" atau membuat kebijakan nobar film G30S/PKI, sungguh terlalu naif bagi negara besar yang memiliki seperangkat intelejen yang serba canggih. Namun, publik tentunya bertanya-tanya, ada masalah apa militer Indonesia dengan AS? Apakah soal isu senjata ilegal yang diungkapkan Jenderal Gatot? Rasa-rasanya, Panglima TNI sejauh ini tidak pernah menjadi sosok yang "dicurigai" oleh asing, apalagi Jenderal Gatot akan bertolak ke AS karena mendapat undangan sahabatnya, Jenderal Joseph Dunford.
Mungkin hingga hari ini, pihak Kedubes AS belum bisa merinci apa alasan ditolaknya Jenderal Gatot berkunjung ke AS, semakin membuat publik bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang menjadi keberatan pihak AS menerima kehadiran Jenderal TNI. Saya akhirnya hanya dapat menebak-nebak, soal kedekatan Jenderal Santri ini dengan banyak kalangan muslim yang justru menjadi alasan utama Negeri Paman Sam, berhak untuk menerima atau menolak kedatangan seseorang ke negaranya.
Walaupun pada kenyataannya, AS sebagai sebuah perwujudan negara liberal dengan mengacu kepada amandemen pertama undang-undang yang diterapkan di AS yang mengakui eksistensi kebebasan beragama, namun soal Islamofobia, AS sudah jauh-jauh hari memperketat aturannya. Pelarangan terhadap warga muslim dari 7 negara di Timur Tengah untuk masuk ke wilayah otoritas AS, jelas merupakan bentuk paling nyata dari sebuah paradigma Islamofobia.
Penolakan AS atas kehadiran Panglima TNI, justru disesalkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwono. Dirinya jelas mengkritik sikap otoritas AS soal pelarangan pejabat resmi RI yang diundang oleh mitranya, tetapi justru ditolak. Bahkan tanpa segan, pakar politik internasional ini beranggapan, jika memang kasus ini tak mendapat respon secara jelas dari pihak otoritas AS, bisa saja menjadi kesempatan pemerintah RI untuk mengusir diplomat AS. Lha wong pemerintah AS sendiri sudah "mengusir" pejabat negara kok, masa kita sendiri yang dilecehkan masih nyembah-nyembah berbaik hati pada negara yang sudah mengusir warga Indonesia, bahkan selevel Panglima TNI, pejabat resmi dan simbol negara RI.
Saya yakin, ada saja pihak-pihak yang merasa senang setelah AS menolak kehadiran pejabat negara RI yang bahkan last minute saja hendak melakukan perjalanan ke negeri liberal tersebut. Entah ketidaksenangannya apakah karena Jenderal Gatot dianggap sebagai "duri" di pemerintahan Jokowi yang dianggap dekat dengan kalangan Islam, seringkali membuat manuver yang menggegerkan publik atau membongkar berbagai informasi kerahasiaan yang seharusnya tidak untuk konsumsi publik.
Atau, justru ada sebagian orang merasa khawatir bahwa kans Jenderal Gatot untuk kontestasi politik di 2019 mendatang, bisa jadi sangat menguntungkan dan bisa saja akan "melibas" lawan-lawan politiknya sesama peserta kontestasi. Ah, semua spekulasi publik semacam ini akan lebih mudah menjadi isu hangat yang pada akhirnya menjadi pro-kontra yang tajam di masyarakat.
Bagi saya, jika alasan utama AS karena kedekatan Jenderal Gatot dengan kalangan muslim, yang dianggap mereka sebagai kalangan Islam "garis keras", sama dengan membuat sebuah kesimpulan yang sangat prematur dan simplistik. Saya kira, Presiden Jokowi juga sama memiliki kedekatan dengan kalangan Islam dari satu kalangan tertentu, yaitu NU, dan rasa-rasanya tak pernah ada kecurigaan berlebih dari otoritas AS kepada segenap pejabat resmi Indonesia, terkecuali Jenderal TNI yang disebut dekat dengan kalangan "santri", Gatot Nurmantyo.
Justru dengan ramainya pemberitaan soal larangan otoritas AS terhadap Panglima TNI, akan semakin menguak kecurigaan publik Indonesia terhadap berbagai kebijakan AS atas Islam. Hal ini, tidak saja akan lebih merugikan AS, tidak saja soal hubungan kerjasama ekonomi yang sejauh ini dianggap baik, tetapi, AS akan semakin disudutkan sebagai fenomena negara yang anti-Islam.
Tidak hanya itu, nama Jenderal Gatot akan semakin melejit dan populer sebagai sosok "Jenderal Santri" yang akan lebih mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat, karena pemberitaan soal dirinya yang ditolak otoritas AS hanya karena suatu hal yang belum jelas. Nama Gatot, lambat laun akan semakin moncer ditengah hiruk-pikuk kepolitikan yang lebih banyak diwarnai carut-marut akibat perebutan kekuasaan dan korupsi.
Saya malah semakin menguatkan asumsi, bahwa paradigma AS soal Islamofobia terlebih di bawah pemerintahan Donald Trump, jelas akan melarang siapapun---baik berasal dari negeri muslim atau bukan---jika keberadaan dirinya dekat atau terindikasi ada hubungan dengan kalangan "teroris" dalam perspektif mereka sendiri.
Kecenderungan besar terhadap Islamofobia AS yang menganggap Jenderal TNI ada kedekatan dengan pihak-pihak "radikalisme-ekstimisme" justru telah merugikan mereka sendiri, karena AS tidak melihat bahwa Gatot adalah Panglima TNI yang juga pejabat resmi negara RI. Jabatan resmi yang melekat pada diri Gatot barangkali luput dari pantauan otoritas AS, dan kemudian dengan sangat terburu-buru dan sembrono, menganggap sang Jenderal adalah salah satu ikon muslim "garis keras" yang sudah seharusnya dilarang memasuki wilayah otoritas AS.
Saya kira, walau bagaimanapun, pihak Kedubes AS di Indonesia sudah seharusnya secara cepat merespon dan mengklarifikasi ada apa di balik pelarangan Jenderal Gatot untuk berkunjung ke AS. Membuka alasan yang sebenarnya, tanpa ditutup-tutupi atau dibuat alasan-alasan lain yang terkesan "normatif" sekadar menutupi kelalaian yang lebih besar, justru sikap naif yang tidak mencerminkan sebagai sebuah negara demokratis yang dibanggakan dunia.
Meskipun banyak pihak yang menilai, jangan-jangan Jenderal Gatot dianggap memiliki kedekatan dengan kalangan muslim "garis keras" oleh AS, sehingga jatuhlah pelarangan atas dirinya. Lagi-lagi perlu ditegaskan, Indonesia bukanlah "negeri teroris" sebagaimana larangan ketat AS terhadap negara-negara lain yang dianggap mensponsori terorisme. Perlu kiranya AS melalui Kedubesnya di Jakarta, secara jelas menjelaskan kepada publik seterang-terangnya, jika tidak, berlaku seperti diungkapkan Hikmahanto, kemungkinan pengusiran atau persona non grata pada diplomat AS yang berada di Indonesia.
Penulis: Syahirul Alim