[PORTAL-ISLAM.ID] Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, menerima gelar kehormatan Freedom of Oxford pada 1997 sebagai penghargaan atas 'perjuangannya yang tak kenal lelah untuk menegakkan demokrasi'.
Namun mosi yang didukung oleh Dewan Kota Oxford menilai bahwa ia tidak layak lagi menyandang gelar kehormatan tersebut.
Pejabat di Kota Oxford, Bob Price, mengatakan bukti-bukti yang disampaikan PBB membuat Aung San Suu Kyi tak lagi berhak menerima gelar Freedom of Oxford, penghargaan yang sebelumnya diberikan atas perjuangannya menegakkan demokrasi.
Gelar ini secara resmi akan dicabut bulan November namun para anggota dewan kota menegaskan bahwa keputusan pencabutan gelar bisa dibatalkan jika Aung San Suu Kyi melakukan tindakan untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine.
Oxford memiliki kedekatan dengan Aung San Suu Kyi karena di kota ini ia mengambil jurusan filsafat, politik dan ekonomi di Universitas Oxford pada 1964 hingga 1967.
Ia menikah dengan peneliti masalah Tibet dan Himalaya di Universitas Oxford, Michael Aris, pada 1972 dan tinggal di kota ini selama beberapa waktu bersama dua anaknya, Kim dan Alexander.
Aung San Suu Kyi dikecam karena dianggap gagal memerintahkan militer agar menghentikan kekerasan di Rakhine atau mengatasi krisis kemanusiaan Rohingya, yang mendorong petisi agar Hadiah Nobel Perdamaian untuk dirinya dibatalkan.
Pekan lalu Universitas Oxford menurunkan fotonya dan menggantinya dengan lukisan Jepang.
Lebih dari 500.000 warga minoritas Muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari gelombang kekerasan di Rakhine.
Krisis pecah ketika serangan oleh milisi Rohingya terhadap sejumlah pos keamanan pada 25 Agustus dibalas dengan operasi militer.
Aung San Suu Kyi selama bertahun-tahun menjalani tahanan rumah di Rangoon ketika Myanmar dipimpin oleh diktator militer.
Ia menjadi tokoh global dan dikenal sebagai pejuang kebebasan sebelum mengantarkan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memenangkan pemilu di Myanmar pada 2015.