[PORTAL-ISLAM.ID] Korupsi adalah sebuah tema yang senantiasa melekat dalam perbincangan rutin baik dalam kehidupan kita sehari-hari maupun dalam ruang lingkup interaksi sosial yang terbatas seperti di dunia maya. Perbincangan tentang korupsi kian hari semakin memanas terlebih ketika KPK yang dipimpin oleh komisioner jilid ketiga menjadi era kepemimpinan yang berhasil mencatatkan OTT sebanyak 17 (data per-tahun 2016) perkara sepanjang sejarah berdirinya KPK sekitar 15 tahun terakhir.
Dua perspektif yang mengemuka dari jumlah penindakan korupsi oleh KPK khususnya perkara OTT adalah KPK yang dipimpin oleh komisioner jilid ke-3 ini merupakan KPK paling sukses karena telah berhasil melumpuhkan para koruptor dengan jumlah perkara terbanyak dari OTT. Dari perspektif yang lain bisa dilihat bahwa tingginya angka perkara OTT merupakan kegagalan nyata rejim kekuasaan dalam mencegah terjadinya korupsi.
Keberhasilan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi tidak dinilai dari semakin banyaknya mereka melakukan penindakan praktek korupsi, melainkan dari angka Corruption Perception Index (CPI) yang semakin tinggi sebagai dampak positif dari akuntabilitas, tata kelola birokrasi dan kepuasan pelayanan publik yang kian membaik.
15 tahun KPK melakukan pemberantasan korupsi, hasil yang kita dapati teramat jauh dari ekspektasi. Kita membayangkan pada mereka berhasil menjadikan lembaga penegak hukum efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi melalui supervisi yang dilakukan oleh KPK. Kita dulu berharap KPK melakukan pencegahan sehingga angka korupsi turun drastis dan kita berharap KPK menindak megakorupsi yang telah menyedot keuangan negara dalam jumlah besar.
Menjadi menarik mengamati KPK ketika ranking negara kita bergerak sangat lamban dalam menaikan skor CPI yg tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Bahkan negara baru seperti Timor Leste yang pada awal berdirinya diketahui memiliki birokrasi yang sangat rusak mulai membayangi Indonesia dalam ranking ICP dunia.
KPK harus kembali kepada “khittah”-nya sebagai sebuah lembaga adhoc (non permanen) karena mengemban tugas khusus yang dibebankan yaitu memberantas korupsi. Sifat lembaga ini jelas limitatif karena tugas yang dibebankan UU kepada mereka harus diselesaikan.
Evaluasi mendalam, revisi UU KPK agar tugas dan kewenangan mereka dalam bekerja semakin kokoh dan legal serta membuat formulasi baru dalam politik pemberantasan KPK.
Robert Klitgaard dalam sebuah bukunya yg berjudul Controlling Corruption, seorang ekonom yang selama bertahun-tahun melakukan riset tentang korupsi di berbagai negara membuat sebuah formula pemberatanasan korupsi dengan cara merumuskan korupsi seperti tertuang dalam kalimat sederhana ini, “Corruption equals monopoly plus discretion minus accountability.”
jika dibuat rumus menjadi seperti ini: Corruption = Monopoly Power + Discretion – Accountability [ C=M+D-A ]
Klitgaard menguraikan rumus tersebut sebagai berikut;
Monopoli menyuburkan korupsi. Maka kompetisi akan menguranginya.
Diskresi memberi ruang untuk korupsi. Maka kontrol ketat melalui aturan formal, memperkecil ruang improvisasi aparat dengan aturan yang jelas akan mengurangi korupsi.
Akuntabilitas mengurangi korupsi. Maka memperbanyak pengawasan, memperbanyak check and balances akan semakin mengurangi korupsi
Membaca formulasi yang dibuat Klitgaard tersebut membuat hening seketika manakala lembaga pemberantas korupsi yang ada di negeri kita ini tercatat memiliki masalah dengan tiga hal dalam rumus tersebut.
Monopoli. KPK selama bekerja sebagai lembaga antirasuah dipersepsikan oleh halayak sebagai sumber kebenaran, brainwash dan indoktrinasi media tentang KPK sangat kuat sebagai lembaga superbody, ruang-ruang kewenangan dimasuki oleh KPK karena mereka dijadikan standard kebenaran. Persepsi ini mengganggu meski hanya monopoli kebenaran karena KPK kian hari kian merasa dirinya kuat dan permanen dan akan semakin sulit untuk diingatkan.
Diskresi. SOP-SOP yang dibuat oleh internal mereka adalah diskresi karena UU KPK tidak mengatur secara lengkap tugas dan kewenangan mereka dalam bekerja memberantas korupsi. Kekurangan atau kelemahan UU KPK dalam hal ini memberi ruang improvisasi para penegak hukum di KPK. Banyak catatan tentang ini seperti pengangkatan penyidik independen yg belakangan dimentahkan putusan hakim pada praperadilan Hadi Purnomo, OTT yang belakangan diketahui penuh kedustaan dalam praktiknya, perlindungan saksi dengan memanjakannya secara berlebihan dan lain sebagainya.
Akuntabilitas. Penyakit yang bertolak belakang dengan akuntabilitas juga mewabah di KPK. SOP-SOP tertutup, pertanggungjawaban yang rendah terhadap barang sitaan yang belakangan mengemuka, pertanggungjawaban terhadap penyadapan yang sejak 6 tahun terakhir tanpa audit dan lain-lain.
Dari beberapa catatan di atas, sekarang kita tahu bahwa KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi justru menjadi lembaga yang memungkinkan tumbuh dan suburnya korupsi di dalam tubuh mereka sendiri. Maka tak mengherankan jika ada rumor A1 seorang tersangka OTT sebuah perkara diperas senilai 1 juta $, ada gossip tersangka yang diperas sekian Miliar, isue seorang tersangka dan telah terpidana dijadikan sapi perah atau ATM oleh orang-orang KPK. Karena dari catatan tersebut KPK yang bersifat superbody memiliki semua ketentuan yang berseberangan dengan rumus pemberatasan korupsi di atas.
Terakhir, revisi UU KPK harus menjadi jalan untuk memperbaiki kinerja dan arah pemberantasan korupsi agar KPK semakin efektif bekerja dan mampu menyelesaikan tugas besarnya sebagai lembaga yang diberi tugas khusus memberantas korupsi di negeri ini. Perlawanan terhadap perbaikan KPK melalui penolakan revisi jangan lagi disuarakan karena perilaku seperti itu adalah kebodohan yang nyata, secara substansi tidak pro pada pemberantasan korupsi apalagi terhadap penegakan hukum.
Penulis: @dulatips