Oleh: Ardi Winangun
(Associate Researcher LP3ES)
Bagi pengguna media sosial, bisa jadi mulai Kamis (28 September 2017) malam, tidak bisa lagi melihat unggahan status atau kicauan Jonru, seorang penggiat media sosial yang kritis terhadap Pemerintahan Joko Widodo dan pendukungnya. Ia tak bisa lagi mengunggah status di Facebook atau kicauan di Twitter sebab pihak kepolisian telah menetapkan dirinya sebagai tersangka atas tuduhan melakukan penyebaran ujaran kebencian.
Sebagai seorang penggiat media sosial, Jonru sudah malang melintang dalam dunia itu. Dalam setiap status atau kicauannya, selalu ditanggapi ribuan pengguna media sosial lain, baik yang pro dan kontra, bahkan statusnya itu dibagikan oleh yang lain mencapai ratusan kali.
Dalam status atau kicauan, Jonru mengkritisi pemerintah dan pendukung pemerintah yang membuat mereka panas di telinga dan perih di mata. Akibat yang demikian Jonru dikata-katain atau diumpat dengan beragam kalimat dan ungkapan bahkan penghuni kebun binatang disebut-sebut.
Meski demikian pihak yang selalu dikritisi tidak menanggapi apa yang selama ini diunggah atau dikicaukan oleh Jonru. Dalam sebuah kesempatan, Teten Masduki, kepala Kantor Staf Presiden, mengatakan Presiden Joko Widodo tak akan melaporkan Jonru ke polisi. Dikutip oleh media, Teten Masduki mengatakan, "Masa Presiden ngurusin Jonru? Masa Presiden nanggepin Jonru?"
Dengan ungkapan yang demikian, Jonru bisa jadi merasa senang sebab Presiden, seperti yang dikatakan Teten Masduki, tak menggubris Jonru. Jonru akhirnya tetap meluncurkan kekritisannya di media sosial. Namun, entah mengapa setelah dilaporkan oleh seseorang yang lain, Jonru diproses oleh polisi hingga dijadikan tersangka.
Dengan ditersangkakannya Jonru membuat masyarakat tahu ternyata Jonru itu ‘ada.’ Selama ini Presiden dan masyarakat yang lain membiarkan aktivitas Jonru di media sosial. Mereka tahu status dan kicauannya pedas dan kritis, tapi berusaha untuk tidak menggubris atau tak mau tahu.
Namun, dari waktu ke waktu rupanya status atau kicauan yang diunggah dirasa mengganggu oleh pihak-pihak tertentu. Status atau kicauannya dirasa akan membahayakan dan menurunkan kewibawaan pemerintah dan pendukungnya.
Agar Jonru tak menjadi-jadi maka seseorang melaporkan ulahnya kepada aparat hukum. Pihak yang melaporkan Jonru bisa jadi mempunyai pikiran, kalau ia dibiarkan bisa-bisa apa yang diunggah dan dikicaukan itu benar adanya sehingga membangun opini dan pandangan masyarakat seperti dalam unggahan atau kicauan itu.
Bahayanya Jonru rupanya tidak hanya di medan media sosial, tetapi di tengah keseharian di masyarakat, ada sekelompok masyarakat yang benar-benar tak suka sampai dirinya diusir. Ditulis di media, Jonru disebut diusir oleh warga saat berada di Sragen, Jawa Tengah; dan Maumere, Nusa Tenggara Timur.
Dijadikan tersangka dan dipublikasi di beragam media, pastinya semakin menenarkan Jonru kepada masyarakat. Meski puluhan juta masyarakat adalah pengguna media sosial, tapi tak semuanya mem-follow-nya. Ribuan orang yang mem-follow adalah yang mendukung atau ingin membantah status atau kicauannya. Yang tidak masuk dalam lingkaran itu adalah orang yang melihat dari yang lain yang membagikan status atau kicauan Jonru.
Bila Jonru dijadikan tersangka atas tuduhan melakukan ujaran kebencian, apakah yang demikian hanya dilakukan oleh Jonru? Tentu tidak. Media sosial yang fungsinya untuk bersenang-senang berubah menjadi sarana kampanye politik menjelang Pilpres 2014 dan pilkada terutama Pilkada Jakarta 2017. Dalam kampanye, status atau kicauan tak sekadar untuk mengajak memilih salah satu calon, tetapi juga sudah menjadi arena caci maki yang demikian memprihatinkan.
Dalam kelompok pendukung tentu masing-masing ada yang menjadi jago atau ujung tombak dalam membuat status. Lewat merekalah aksi saling lempar isu dilakukan dan pendukungnya akan me-like atau menanggapi status itu dengan bentuk dukungan. Dari sinilah maka ujung tombak atau jago-jago pembuat status tidak hanya satu orang, tidak hanya Jonru, masih ada sosok-sosok lain melakukan penyebaran ujaran kebencian.
Sosok-sosok itu ada berasal dari latar akademisi, dosen, wartawan senior, aktivis LSM, intelektual, budayawan, ngaku ustaz, dan profesi terhormat lainnya. Mereka dalam unggahan dan kicauan juga kritis dan pedas seperti Jonru meski yang dibela dan didukung beda. Bila Jonru disebut membikin keresahan, sosok-sosok itu juga membikin keresahan yang sama.
Bila banyak penggiat media sosial disebut melakukan penyebaran ujaran kebencian, tetapi mengapa yang dijadikan tersangka hanya Jonru? Apakah dalam hal ini aparat hukum subjektif atau memilih untuk menersangkakan orang.
Bila unggahan atau kicauan dirasa tidak ‘menggembosi’ pemerintah, penggiat media sosial itu tidak dijadikan tersangka bahkan diundang ke Istana. Namun, bila unggahan atau kicauan dirasa mengganggu pemerintahan, penggiat media sosial itu dengan mudah ditersangkakan.
Menyikapi hal yang demikian, seharusnya aparat hukum harus adil. Tak bisa pembuat keresahan yang satu ditahan, sedangkan yang lain dibiarkan bahkan dipelihara.***
*Sumber: ROL