[PORTAL-ISLAM.ID] Wakil Perdana Menteri Turki, Fikri Isik dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke Aceh, Jumat (12/10/2017).
Selain Wakil PM, dalam rombongan ikut juga Dubes Turki untuk RI, Mehmet Kadri Sander Gürbüz dan delegasi lainnya.
"Wakil Perdana Menteri Turki akan tiba di bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang, Aceh Besar sekitar pukul 11.00 WIB. Bersama beliau juga akan hadir beberapa pengusaha Turki dan kemungkinan akan membahas beberapa peluang investasi di Aceh," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Mulyadi Nurdin di Banda Aceh, Kamis, seperti dilansir Antara.
Dalam kunjungan tersebut, Fikri Isik akan dijemput langsung oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, kemudian menunaikan salat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman.
Setelah selesai shalat Jumat, Wakil Perdana Menteri Turki akan berbicara di hadapan jamaah.
Kunjungan Wakil Perdana Menteri Fikri Isik ke Aceh menjadi kunjungan bersejarah untuk membina kembali hubungan baik antara Turki dan Aceh.
Sebagai buah tangan, Pemerintah Aceh berencana untuk memberikan "lada sicupak" dan sebilah siwah, berupa pedang Aceh, kepada Fikri Isik. Lada sicupak merupakan meriam yang diberikan Turki Utsmani kepada Kerajaan Aceh saat melawan penjajah.
(“Lada Sicupak” Cannon which layered by silver. A gift from Turkey Kingdom to Aceh Sultanate. The replica of the cannon could be found in Aceh Museum)
Sejarah Hubungan Turki Utsmani - Aceh
Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 ketika Kesultanan Utsmaniyah berusaha mendukung Kesultanan Aceh dalam pertempurannya melawan Portugis di Malaka.
Ekspedisi dilancarkan setelah dikirimnya duta oleh Sultan Alauddin al-Qahhar (1539–1571) kepada Khalifah Turki Suleiman Agung pada tahun 1564.
(Handwriting letter written by Sultanate Alauddin Al-Qahar to Turkey Empire)
Persekutuan Aceh-Turki Utsmani secara tak resmi sudah ada sejak tahun 1530-an.
Sultan Alauddin al-Qahhar berkeinginan mengembangkan hubungan tersebut.
Kemudian untuk mencoba mengusir Portugis dari Malaka, dan memperluas kekuasaannya di Sumatera.
Menurut Fernão Mendes Pinto, Sultan Aceh merekrut 300 prajurit Utsmaniyah.
Setelah tahun 1562, Aceh nampaknya sudah menerima bala bantuan Turki yang memungkinkannya menaklukkan Kerajaan Arudan Johor pada tahun 1564.
Pengiriman duta ke Istanbul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Syah.
Dalam suratnya kepada Porte Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai Khalifah (penguasa) Islam.
Setelah mangkatnya Khalifah Suleiman pada tahun 1566, penggantinya Selim II memerintahkan pengiriman armada ke Aceh.
Sejumlah prajurit, pembuat senjata, dan insinyur diangkut oleh armada tersebut, bersama dengan pasokan senjata dan amunisi yang melimpah.
Pada tahun 1568, Aceh menyerang Malaka, meskipun Turki tak nampak ikut serta secara langsung.
Usmaniyah mengajari Aceh bagaimana membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi.
Dari awal abad ke-17, Aceh dapat berbangga akan meriam perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain seperti senapan putar bergagang dan arquebus.
Ekspedisi tersebut menyebabkan berkembangnya pertukaran antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang militer, perdagangan, budaya, dan keagamaan.
Penguasa Aceh berikutnya meneruskan pertukaran dengan Khilafah Turki Utsmani, dan kapal-kapal Aceh diizinkan mengibarkan bendera Utsmaniyah.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani menjadi ancaman besar bagi Portugis dan mencegah mereka mendirikan kedudukan dagang monopolistik di Samudera Hindia.
Aceh merupakan saingan dagang utama Portugis, kemungkinan mengendalikan perdagangan rempah-rempah lebih banyak daripada Portugis.
Portugis mencoba menghancurkan sumbu perdagangan Aceh-Turki-Venesia untuk keuntungan sendiri.
Bahkan Portugis berencana menyerang Laut Merah dan Aceh.
Namun gagal karena kurangnya tenaga manusia di Lautan Hindia.
Ketika diserang oleh Belanda pada tahun 1873, Aceh meminta perlindungan dengan persetujuannya yang sudah lebih dulu tercapai dengan Kesultanan Usmaniyah sebagai salah satu dependensinya.