[PORTAL-ISLAM.ID] Gedobrak-gedobrak! sekelompok orang menggedor-gedor pintu garasi mobil sebuah rumah di Jalan Besuki Nomor 19 Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965. Suaranya yang begitu keras membangunkan hampir seisi rumah yang ditempati oleh Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeprapto.
Ratna Purwati, sulung dari lima anak Soeprapto yang saat itu berusia 18 tahun, termasuk yang terbangun. Dari jendela kamarnya, dia mengintip ke arah garasi mobil di samping rumah yang pintunya digedor-gedor oleh prajurit Tjakrabirawa.
"Bunyi gedobrakan dari arah luar terdengar menyeramkan," kata Ratna seperti dikutip dari buku 'Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam'.
Mayjen Soeprapto, yang sudah terbangun, melangkah ke depan untuk membukakan pintu. Dia melarang istri dan anak-anaknya ikut.
"Ada apa pagi-pagi buta begini membangunkan saya?" kata Soeprapto kepada prajurit Tjakrabirawa.
"Siap, Pak, Bapak dipanggil untuk menghadap Presiden Sukarno sekarang juga," jawab salah satu prajurit.
Soeprapto sempat minta izin untuk berganti pakaian, namun prajurit Tjakrabirawa memaksa segera berangkat. Perwira tinggi TNI AD kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920, itu pun akhirnya menuruti kemauan para prajurit itu.
Namun hari itu Mayjen Prapto tak kembali ke rumah. Dia dibawa oleh prajurit Tjakrabirawa ke Lubang Buaya di kawasan Halim, Jakarta Timur. Di tempat itu Mayjen Soeprapto bersama lima jenderal dan satu perwira TNI AD dibunuh oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia. Jenazah mereka kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di Lubang Buaya dan baru ditemukan tiga hari kemudian.
Tepat ketika TNI merayakan hari lahirnya pada 5 Oktober 1965, jenazah Mayjen Soeprapto bersama lima jenderal dan satu perwira TNI AD dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sehari sebelum peristiwa penculikan, Ratna menangkap ada perilaku aneh dari sang ayah, Soeprapto. Ratna merasakan keanehan itu saat berbincang-bincang di ruang kerja sang ayah.
"Bapak menyodorkan sebuah pertanyaan yang terasa mengentak, 'Kamu sedih tidak kalau Bapak meninggal dunia?'" ujarnya.
Karena terkejut, Ratna tak menjawab pertanyaan tersebut. "Bapak omong apa, sih?" timpal Ratna singkat.
Dialog itu tak berlanjut. Ratna dan Soeprapto pun sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga akhirnya Jumat dini hari itu Soeprapto meninggalkan rumah, pergi untuk selamanya. Selain Ratna, empat anak Soeprapto adalah Sri Lestari, Pudjadi Setia Dharma, Asung Pambudi Budhidarma, dan Arif Prihadi Adjidharma.