[PORTAL-ISLAM.ID] Menarik apa yang disampaikan Eep Saefulloh Fatah saat merilis hasil survei terbaru yang dilakukan lembaga surveinya Polmark Research Center terkait peta pertarungan Pilpres 2019.
Seperti dirilis Tirto.id, Direktur Polmark Research Center Eep Saefulloh Fatah mengatakan bahwa situasi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih cair. Menurutnya, meski survei nasional Polmark bertajuk "Referensi Calon Pemilih Menuju Pemilu 2019" menyatakan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto memperoleh elektabilitas tertinggi dari sekian tokoh politik nasional, perubahan peta politik dan munculnya calon alternatif masih mungkin terjadi.
Elektabilitas Jokowi berada di angka 41,2 persen, sedangkan Prabowo 21 persen. Gabungan elektabilitas dua rival di Pilpres 2014 itu mencapai 62,2 persen.
"Benar bahwa Jokowi nomor satu, tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut ada beberapa catatan. Pertama, ketika dibandingkan dengan pilihan responden kami pada 2014, ternyata Jokowi maupun Prabowo mengalami penurunan jumlah pemilih. Itu artinya pergeserannya bukan positif tetapi negatif," ujar Eep saat diwawancarai Tirto seusai pemaparan hasil survei nasional Polmark di Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Menurut survei yang digelar pada 9-20 September 2017 tersebut, dari 41,2 persen yang mengaku akan memilih Jokowi, hanya 26,6 persen yang mengaku mantap atau tidak akan mengubah pilihannya hingga pelaksanaan Pilpres. Angka tersebut juga berarti ada 14,6 persen calon pemilih yang berpotensi tidak mencoblos Jokowi kelak. Sementara itu, terdapat 10,6 persen dari 21 persen pemilih Prabowo yang menyatakan masih mungkin untuk mengubah pilihannya nanti.
"Ternyata jumlah pemilih yang belum mantap masih signifikan. Artinya, perpindahan mereka sebagai swing voters masih cukup terbuka. Kemudian masih ada variabel waktu, yakni 2019 masih lama. Yang harus hati-hati menurut saya adalah Jokowi dan Prabowo, karena sangat mungkin akan muncul calon alternatif," kata Eep.
Survei nasional Polmark juga menyebutkan, dari 67,5 persen responden yang mengaku puas dan sangat puas terhadap kinerja presiden Jokowi, sebanyak 23,2 persen di antaranya tidak ingin Jokowi menjadi presiden lagi.
"Ada jarak antara yang puas dan yang ingin memilih kembali. Seperti pada Pak Ahok dari 70 persen yang puas tapi hanya ada 40 persen yang ingin memilihnya kembali," ujar Eep yang pada Pilkada DKI 2017 kemarin menjadi konsultan politik Anies-Sandi.
Selain Jokowi dan Prabowo, menurut survei nasional Polmark, para tokoh lain hanya memperoleh elektabilitas di bawah 3 persen. Agus Harimurti Yudhoyono menduduki peringkat ketiga dengan 2,9 persen, diikuti Anies Baswedan (2,2 persen), Hary Tanoesoedibjo (2 persen), dan Gatot Nurmantyo (2 persen).
"Saya yakin kalau tidak ada presidential threshold, akan banyak sekali partai yang dengan senang hati mengajukan pimpinannya. Dan mungkin Pilpres kita akan ramai seperti pemilihan presiden Iran yang calonnya bisa sampai sepuluh atau belasan, atau Perancis," ujar Eep.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia secara politik "moody". Mereka-mereka ini akan menjadikan Pemilu sebagai alat untuk mengoreksi pemerintahan yang ada. Koreksi tersebut yang menurutnya akan memberikan peluang kepada tokoh-tokoh lain untuk mencalonkan diri.
"Kalau Jokowi memang masih on the top, itu bukan hal yang mengherankan karena tidak ada calon lain. Untuk petahana sekelas Jokowi yang luar biasa dalam hal pelantikan dan macam-macamnya itu, angka 40 persen ini gak nendang blas. Mestinya beliau ada di 80 persen, karena sesuai dengan keriuhan masyarakat menyambut pak Jokowi," ujar Zuhro.
Sumber: Tirto