[PORTAL-ISLAM.ID] Madame Maya Suharnoko ngirim link video rapat pertama Pemda. Alas, semua mudslinging, condemnation, insult, 14 fitnah dalam 14 hari yang dimainkan Kaum IQ 1-digit memperkosa fokus saya. Jadi lupa mengamati rapat perdana gubernur baru.
Anies-Sandi duet dengan Sekda Saefullah pimpin rapat. Dihadiri walikota dan kepala-kepala dinas. Mereka keliatan sangat tenang dan disiplin. Segera mencatat arahan-arahan dari Anies-Sandi. Nggak ada ketegangan. Jernih. Fokus. Terarah. Anies-Sandi memang hebat.
Beda jauh dengan rapat-rapat Ahok. Semua orang tegang. Mata Ahok nyalang. Seperti kucing hendak terkam mangsa. Gaya Ahok: one man show. Jarot nggak berfungsi. Bikin banyak birokrat gelisah. Gelisah, bukan takut dibongkar dosanya, tapi gelisah karena takut nggak ngerti omongan Ahok. Semua orang tampak menyiapkan diri jadi korban unexpected verbal abused Ahok. Insane banget. Rapat Pemda jadi catastrophic event. Disaster.
Di situ kelebihan Ahok daripada Anies: Too much words. Banyak omong. Banyak gaya. Pake gebrak meja segala. Saking banyak kata-kata yang disemburkan, setiap kali saya nonton videonya, saya selalu bingung: "Ngomong apa sih Koh Ahok?!"
Dalam 1 jam rapat, saya catat Anies bikin tertawa kecil dua kali. Tapi nggak ngelantur. Rapat tetap terarah.
Giliran Ahok guyon, dia malah jadi sinis. Ga lucu. Dia nyindir-nyindir. Gunakan Surah Al Maidah dan password kafir. Cuma Jarot yang tertawa. Alih-alih bikin cair suasana, dia malah dilaporkan ke polisi. Kacau banget Koh Ahok ini.
Ahok-Jarot dan Anies-Sandi beda secara diametris. Body language, gesture, kosa kata, intonasi dan konten. Mengutip apa kata Jane Austen dalam Novel "Pride and Prejudice" (1813): This is the diferrence between the superficial and the essential.
Ahok menjadikan rapat Pemda jadi drama stage. Sebuah panggung tempat dia mempertontonkan megalomaniac disease, narsistic behavior, dan arogansi.
Anies-Sandi mengembalikan kultur dan etika organis Pemda. Fokus pada big data analysis, kinerja, pencapaian target delta, problem shooting dan keberpihakan pada warga miskin.
Instead of ngomong soal dapet rumah dan makan di sorga, Anies beri arahan agar lahan-lahan kosong aset pemda dan tanah dalam sengketa bisa digunakan sebagai fasilitas umum atau dijadikan taman sementara untuk anak bermain.
Daripada bluffing dan sok ngajarin SKPD soal "iman", Anies beri solusi kepada Walikota Jakarta Utara menghadapi SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia).
Dalam laporannya, Walikota Utara menceritakan soal rembug yang gagal. SRMI dikatakan ditolak warga Rusun Marunda. Tapi ngotot hendak membela kepentingan rakyat seperti membebaskan tenant rumah susun dari iuran dan pinalti.
Anies kasih framework menyertakan 4 komponen dalam setiap dialog dengan warga. Mereka adalah warga, pemda, fasilitator dan pakar (bukan analis).
Keberpihakan Anies-Sandi kepada masyarakat semakin jelas ketika Walikota Jakarta Timur minta arahan soal eksekusi penertiban lingkungan. Ini bahasa keren yang bisa berarti gusuran dan pemberantasan K-5.
Anies nggak langsung beri instruksi "Go Ahead". Tapi dia minta rapat khusus setengah kamar membahas soal itu. Dia ingin dapet detail dan mengadakan dialog dengan warga sebagai kongkritisasi program partisipasi warga dalam menentukan arah pembangunan Jakarta.
Lastly, Anies-Sandi memperlihatkan kelasnya tersendiri dibanding Ahok-Jarot. Benar kata Bu Maya, mereka beda kelas.